Pengaruh Ibnu Khaldun
Selasa, 20 November 2018
Tambah Komentar
Pengaruh Ibnu Khaldun: Kau sering mengatakan terpengaruh pemikiran Syeikh Ibnu Khaldun. Kataku, ‘itu suatu kewajaran, Taufik.’
Sebabnya, ya kau ingin tahu mengapa itu terjadi kan? aku katakan. Sebabnya kau mendapatkan teks itu: disengaja atau tidak. Dan saya pikir, saat kau membeli buku muqadimah itu tidaklah sengaja, namun saya tidak akan menghakimi bahwa kejadian itu tidaklah-sengaja, melainkan suatu kebetulan bahwa dirimu harus terpengaruh dengan ibnu khaldun.
Alasannya: saat itu, keadaan waktu itu (pemikiranmu) masih terdorong akan sesuatu pencarian yang tidak pasti: antara mencari dan tidak, tapi kehendak pemikiran memaksamu untuk mencari hal tersebut, alasannya karena engkau mulai suka membaca, dalam artian adalah teks. dilalahnya juga, gaya syeikh ibnu khaldun persis seperti dialog, maka disaat itulah kau merasa gembira membaca itu: laksana berdialog dengan syeikh ibnu khaldun. Malah bukan berdialog, melainkan diceramahi, diberi petuah oleh syeikh ibnu khaldun: begitu kan?
Sebabnya daya pemikiranmu, waktu itu, belum secerlang seperti sekarang ini, daya pemikiranmu untuk menangkap ‘teks-teks’ yang ditawarkan syeikh ibnu khaldun belum siap. Sebabnya, syiekh ibnu khaldun berkata (berujar, ngomong, ngendiko) perihal totalitas keberadaan yang itu dikonsentrasikan (yang dilalahnya; mekah dengan ashabiyanya) pada gelegat orang timur-tengah, yakni jazirah arab: dan perbandingannya adalah orang-orang yang memutuskan tradisi kekeluargaan, atua tradisi keterputusan tradisi kekeluargaan, disebabkan tidak menjaga ‘moral’ dari kemanusiaannya itu sendiri: apakah bisa dimengerti?
Namun kebersamaanmu dengan teks atau pangendikan syeikh ibnu khaldun laksan mengantarkanmu untuk membaca banyak hal, hingga kemudian kau mengenal pola-pola structural (dan kini, saat kau mengkaji filsafat, kau semakin mengerti perihal pola structural itu), yang kemudian di dalam batinmu memaksa berkata:
“Ternyata, saya terpengaruh dengan orang-orang di nusantara yang itu terpengaruh dengan Ibnu Khaldun. Dan ternyata, orang-orang nusantara itu, terpengaruh dengan ‘gerakan’ kaum pemikir modern yang terpengaruh juga dengan Ibnu Khaldun. Dan alasan-alasan orang-orang nusantara terpengaruh dengan ibnu khaldun, karena di nusantara juga terdapat ikatan demi ikatan kekeluargaan. Walau tidak sesempurna seperti halnya di jazirah Arab, khususnya di mekah.
Terlebih lagi, di saat islam di nusantara berdiri, maka disanalah jalinan keterikatan keluarga semakin menjadi. Kiai menjodohkan anaknya kepada putera kiai lainnya. Dan tradisi perjodohan itu di kala itu, memanglah suatu kewajaran, sebab ‘cinta kepada manusia’ di era itu, bukanlah seperti keadaan cinta di era sekarang ini, yang kesannya memburu ‘cinta sesaat’ dan ‘ambisi memiliki sesuatu’.
Yang lama-lama, ketika kemerdekaan di nusantara terjadi, di era keperdamaian itu, maka orang-orang semakin sibuk dengan pemikiran atau sesuatu yang ada di dalam, begitu juga yang terjadi pada pemikir-pemikir islam di jazirah arab. pemikir yang mengarah pada pembaruan, yang mengarah menuju ‘fakta-fakta’ sosial. Hingga kemudian, orang-orang nusantara yang sinau dengan para pembaru itu, tentu saja terpengaruh dengan apa yang gurunya lakukan itu; apa yang gurunya pikirkan itu. maka efeknya, untuk menguatkan hal tersebut adalah pengulangan apa yang gurunya sebutkan itu, termasuk mengulang-ulang diksi ‘syeikh Ibnu Khaldun’ dan akhirnya diterjemahkan dan diamati atau diteliti untuk memahami maksud dari syiek ibnu khaldun.
Yang kemudian hari, ketika teks-teks itu ada, maka satu persatu orang mulai membaca teks tersebut, dan lama-lama jalin menjalin dan terpengaruh dengannya, hal itu juga terjadi kepadaku. Karena adanya teks, maka saya terpengaruh dengan teks. lebih-lebih sebelum itu, saya telah terpengaruh dengan teks yang lain, yakni kitab-kitab keislaman yang diajarkan oleh guru-guru di lingkungan. Maka suatu hal yang semestinya bukan kebetulan kalau saya pada akhirnya menjumpai pemikiran ‘syeik ibnu khaldun.’”
Terlebih lagi, keadaan di desamu, syarat dengan keperkeluargaan, maka disaat itulah pemikiranmu laksana didekatkan untuk memahami pola-pola yang ditawarkan Syeikh Ibnu Khaldun. Bukankah sebelum itu, kau belum mengerti perihal ‘ashabiyah’ itu? dan ketika kau semakin mulai mengerti Syeikh ibnu khaldun barulah kau semakin mengerti perihal ashabiyah. Sebabnya hal itu menyentuh dinding realitasmu; menyentuh fakta-fakta panca inderamu.
Namun, tetaplah: jangan kau banggakan dengan apa yang terjadi kepadamu, Taufik? Ini suatu kewajaran, Taufik. jangan sombong dengan apa yang terjadi keapadamu, Taufik? Ini suatu kewajaran, Taufik.
Apalagi di zaman logosentris dan keterikatan pola sturktural, bahkan pada sekte pendidikan. Maka yang menjadi kebanggan adalah mereka yang bergelar-gelar itu; mereka yang mempunyai penelitian demi penelitan (Secara tekstual, terssistem, tersusun secara rapi dan jeli) dan mempunyai nama di antara orang-orang yang mempunyai nama (maka kenanglah kajian filsafat structural itu. Kenanglah yang dimaksud structural itu: sungguh, itulah pemikir-pemikir filsuf di zamannya, Taufik). Terlebih lagi, saat kau melihat dirimu, di antara fakta-fakta, entah itu fakta akademisi, dirimu itu tidak-tepat, persis menjadi pembeda, sementara itu kejadian fakta menginginkan mengikuti pola-pola strukural (entah salah atau benar; pola structural menghendaki berbentuk struktur) dan kau masih dalam ikatan structural. Namun, sekarang saya agak gembira, bahwa kau mempunyai tujuan. Dan lebih memilih desa (mungkin ini masih bersifat, temporal, Taufik) menjadi sasaran utama untuk mengaplikasikan perihal keilmuanmu menjadi fakta. Huff.. Begitu ya…
Sebabnya, ya kau ingin tahu mengapa itu terjadi kan? aku katakan. Sebabnya kau mendapatkan teks itu: disengaja atau tidak. Dan saya pikir, saat kau membeli buku muqadimah itu tidaklah sengaja, namun saya tidak akan menghakimi bahwa kejadian itu tidaklah-sengaja, melainkan suatu kebetulan bahwa dirimu harus terpengaruh dengan ibnu khaldun.
Alasannya: saat itu, keadaan waktu itu (pemikiranmu) masih terdorong akan sesuatu pencarian yang tidak pasti: antara mencari dan tidak, tapi kehendak pemikiran memaksamu untuk mencari hal tersebut, alasannya karena engkau mulai suka membaca, dalam artian adalah teks. dilalahnya juga, gaya syeikh ibnu khaldun persis seperti dialog, maka disaat itulah kau merasa gembira membaca itu: laksana berdialog dengan syeikh ibnu khaldun. Malah bukan berdialog, melainkan diceramahi, diberi petuah oleh syeikh ibnu khaldun: begitu kan?
Sebabnya daya pemikiranmu, waktu itu, belum secerlang seperti sekarang ini, daya pemikiranmu untuk menangkap ‘teks-teks’ yang ditawarkan syeikh ibnu khaldun belum siap. Sebabnya, syiekh ibnu khaldun berkata (berujar, ngomong, ngendiko) perihal totalitas keberadaan yang itu dikonsentrasikan (yang dilalahnya; mekah dengan ashabiyanya) pada gelegat orang timur-tengah, yakni jazirah arab: dan perbandingannya adalah orang-orang yang memutuskan tradisi kekeluargaan, atua tradisi keterputusan tradisi kekeluargaan, disebabkan tidak menjaga ‘moral’ dari kemanusiaannya itu sendiri: apakah bisa dimengerti?
Namun kebersamaanmu dengan teks atau pangendikan syeikh ibnu khaldun laksan mengantarkanmu untuk membaca banyak hal, hingga kemudian kau mengenal pola-pola structural (dan kini, saat kau mengkaji filsafat, kau semakin mengerti perihal pola structural itu), yang kemudian di dalam batinmu memaksa berkata:
“Ternyata, saya terpengaruh dengan orang-orang di nusantara yang itu terpengaruh dengan Ibnu Khaldun. Dan ternyata, orang-orang nusantara itu, terpengaruh dengan ‘gerakan’ kaum pemikir modern yang terpengaruh juga dengan Ibnu Khaldun. Dan alasan-alasan orang-orang nusantara terpengaruh dengan ibnu khaldun, karena di nusantara juga terdapat ikatan demi ikatan kekeluargaan. Walau tidak sesempurna seperti halnya di jazirah Arab, khususnya di mekah.
Terlebih lagi, di saat islam di nusantara berdiri, maka disanalah jalinan keterikatan keluarga semakin menjadi. Kiai menjodohkan anaknya kepada putera kiai lainnya. Dan tradisi perjodohan itu di kala itu, memanglah suatu kewajaran, sebab ‘cinta kepada manusia’ di era itu, bukanlah seperti keadaan cinta di era sekarang ini, yang kesannya memburu ‘cinta sesaat’ dan ‘ambisi memiliki sesuatu’.
Yang lama-lama, ketika kemerdekaan di nusantara terjadi, di era keperdamaian itu, maka orang-orang semakin sibuk dengan pemikiran atau sesuatu yang ada di dalam, begitu juga yang terjadi pada pemikir-pemikir islam di jazirah arab. pemikir yang mengarah pada pembaruan, yang mengarah menuju ‘fakta-fakta’ sosial. Hingga kemudian, orang-orang nusantara yang sinau dengan para pembaru itu, tentu saja terpengaruh dengan apa yang gurunya lakukan itu; apa yang gurunya pikirkan itu. maka efeknya, untuk menguatkan hal tersebut adalah pengulangan apa yang gurunya sebutkan itu, termasuk mengulang-ulang diksi ‘syeikh Ibnu Khaldun’ dan akhirnya diterjemahkan dan diamati atau diteliti untuk memahami maksud dari syiek ibnu khaldun.
Yang kemudian hari, ketika teks-teks itu ada, maka satu persatu orang mulai membaca teks tersebut, dan lama-lama jalin menjalin dan terpengaruh dengannya, hal itu juga terjadi kepadaku. Karena adanya teks, maka saya terpengaruh dengan teks. lebih-lebih sebelum itu, saya telah terpengaruh dengan teks yang lain, yakni kitab-kitab keislaman yang diajarkan oleh guru-guru di lingkungan. Maka suatu hal yang semestinya bukan kebetulan kalau saya pada akhirnya menjumpai pemikiran ‘syeik ibnu khaldun.’”
Terlebih lagi, keadaan di desamu, syarat dengan keperkeluargaan, maka disaat itulah pemikiranmu laksana didekatkan untuk memahami pola-pola yang ditawarkan Syeikh Ibnu Khaldun. Bukankah sebelum itu, kau belum mengerti perihal ‘ashabiyah’ itu? dan ketika kau semakin mulai mengerti Syeikh ibnu khaldun barulah kau semakin mengerti perihal ashabiyah. Sebabnya hal itu menyentuh dinding realitasmu; menyentuh fakta-fakta panca inderamu.
Namun, tetaplah: jangan kau banggakan dengan apa yang terjadi kepadamu, Taufik? Ini suatu kewajaran, Taufik. jangan sombong dengan apa yang terjadi keapadamu, Taufik? Ini suatu kewajaran, Taufik.
Apalagi di zaman logosentris dan keterikatan pola sturktural, bahkan pada sekte pendidikan. Maka yang menjadi kebanggan adalah mereka yang bergelar-gelar itu; mereka yang mempunyai penelitian demi penelitan (Secara tekstual, terssistem, tersusun secara rapi dan jeli) dan mempunyai nama di antara orang-orang yang mempunyai nama (maka kenanglah kajian filsafat structural itu. Kenanglah yang dimaksud structural itu: sungguh, itulah pemikir-pemikir filsuf di zamannya, Taufik). Terlebih lagi, saat kau melihat dirimu, di antara fakta-fakta, entah itu fakta akademisi, dirimu itu tidak-tepat, persis menjadi pembeda, sementara itu kejadian fakta menginginkan mengikuti pola-pola strukural (entah salah atau benar; pola structural menghendaki berbentuk struktur) dan kau masih dalam ikatan structural. Namun, sekarang saya agak gembira, bahwa kau mempunyai tujuan. Dan lebih memilih desa (mungkin ini masih bersifat, temporal, Taufik) menjadi sasaran utama untuk mengaplikasikan perihal keilmuanmu menjadi fakta. Huff.. Begitu ya…
Belum ada Komentar untuk " Pengaruh Ibnu Khaldun"
Posting Komentar