NGAJI MABADI FIKIH: FARDU—Kita Telah Tahu, masalahnya kita kurang memahami








Apa itu fardu?

Fardu itu perkara yang wajib dikerjakan; tatkala mengerjakan dapat pahala dan tatkala meninggalkan mendapatkan siksa.

Proses ‘pengalihan’ bahasa—atau menerjemahkan—dari bahasa asli ke bahasa indonesia, tentu ada sedikit tambahan dan sedikit perubahan, dalam hal ini, saya menggunakan pola pengalihan bahasa yang itu ditangkap mana. Ada kalanya orang mengalihkan bahasa yang itu sesuai dengan bahasa-aslinya, dan sesuai dengan teksnya, namun saya memilih mengambil tentang ‘pendapatan’ makna tatkala mengalihkan bahasa. Dengan itu juga, al-quran tetap menggunakan bahasa aslinya, yakni arab, sekali pun ditranslite, atau bertujuan ‘memahamkan’ pengguna, pada akhirnya, yang namanya al-quran adalah tetap menggunakan bahasa arab. sebab, tatkala al-quran boleh diterjemahkan, maka dengan ‘perlahan-lahan’ mampu bergeser makna dari asalnya.

Kembali ke fardu.

Di zaman ini, zaman ‘terbukanya’ pengetahuan, zaman berserakan ‘orang-orang pandai’ sudah tidak bisa disangkal, bahwa kita telah mengetahui dengan jelas dan gamblang, tentang diksi ‘fardu’ ini: apalagi buat ‘manusia’ yang mampu menggunakan ‘akalnya’, dewasa, tentu telah mengetahui kewajiban seorang muslim, dengan hukum fardu ini; hanya saja, kadang kita menerjang tentang pengetahuan yang kita miliki, kita ‘melawan’ pengetahuan yang dimiliki, dengan meninggalkan ‘suatu’ perkara yang telah diwajibkan tersebut. Gampangnya, shalat, misalnya.

Kita telah mengetahui bahwa shalat itu wajib, masihkah ditinggalkan? Masihkan kadang bolang-bolong? Tentu jawabnya, karena lagi males. Namun saya menyadari bahwa letak persoalannya bukan hal tersebut, yakni kenapa ‘muslim’ males mengerjakan shalat padahal shalat itu wajib?

Jawabnya, karena rasa iman mereka belum kuat, artinya rasa percayanya kurang ‘kuat’ bahwa mereka layak shalat, mereka layak menyembah, mereka layak mengadu kepada-Nya. Dan jika orang-orang meninggalkan, jangan ikut-ikutan. Tetaplah melakukan shalat. Tetapkanlah tunaikanlah tentang ‘kewajiban’ shalat—ingatlah, Allah itu maha mengawasi, Allah itu tidak tidur. Dan jangan lupa tetap ikatkan dirimu dengan gurumu, artinya tetaplah mengaji, sebab dengan itu, maka terpupuklah ‘pengetahuan’ di dalam diri. Kenalilah, dengan bertambahnya pengetahuan di dalam diri, maka semakin bertambah tentang ‘rasa keislaman’. Ringkas kata, pengetahuan itu menambahkan keimanan yang berefek pada keislaman, yakni praktek ibadah.

Jika kita sudah belajar dan menemukan rasa males, lalu solusinya bagaimana?

Jawabnya, rasa males itu wajar, rasa males itu memang rasa yang alami di dalam diri manusia, alasannya, karena merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Sebabnya, rasa ketakutan kepada tuhan itu kurang, wal hasil bisa males-malesan. Andaikata ia takut kepada tuhan, tentu secara otomatis akan meratap dan memohon ampun dengan apa yang menimpa dirinya. Sayangnya, keberadaan neraka itu memang harus ada yang mengisi: ringkas kata, mereka yang meninggalkan yang wajib, kelak masuk neraka. Begitu saja. Soal kalau dia bertaubat, tentu itu kabar gembira. Tapi lagi-lagi, apa-pun terserah kepada Allah. Allahlah yang mempunyai cerita. Allahlah yang merencanakan.

Sebenarnya, tentang fardu, kita telah tahu, hanya saja kita kurang memahami, dan tidak geregah untuk belajar memahami. Artinya, tawaran saya, tetaplah kita mengaji, supaya mendapatkan ‘pengetahuan’ yang selanjutnya bergeser kepada paham terhadap apa yang dikerjakan.

Begitu.

Rabbi zidni ilma warzukni fahma. Amin.

Belum ada Komentar untuk "NGAJI MABADI FIKIH: FARDU—Kita Telah Tahu, masalahnya kita kurang memahami"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel