NGAJI MABADI FIKIH: Doa di antara dua sujud: Refleksi dari kompleksitas Kemanusiaan






Apa yang dibaca tatkala duduk diantara dua sujud?

Bacalah—yang artinya—Ya Allah, ampunilah saya, dan kasihanilah saya, dan cukupkanlah (tutuplah yang menjadi kekurangan kehidupan saya) saya, dan angkatlah –derajat-saya, dan berilah rezeki saya, dan kesehatan saya, dan maafkanlah saya.


Ini adalah sebuah permohonan dari sebuah kemanusiaan, ampunilah, ini bisa merembet pada sejarah-individu, pengalaman-individu, yang menerobos atau melanggar hokum yang telah ditetapkan: hokum itu, bisa jadi, hokum dari hokum yang dibuat manusia atau hokum yang dibuat Allah. Dan fakta kita menggunakan itu sekaligus. Kok bisa? Ya itu fakta, bahwasanya kadang-kala kita melanggar apa yang telah dijanjikan, kita melanggar apa yang telah disepakti: ringkas kata, permohonan ini, diserahkan kepada Allah, karena Allah adalah pemilik semesta raya, yang mengenggam setiap jiwa manusia, yang pastinya, menguasai tentang kemanusiaan. Ingat, Allah itu Maha Kuasa, yang menguasai seluruh semesta-raya dan didalam semesta itu: ada bumi, lalu manusia menompang di bumi, yang sebelumnya, kita belum ada, kemudian kita menjadi ada. Dan kita harus ingat, bahwa yang menciptakan langit, itu adalah Allah.

Selanjutnya, kasihanilah saya, kasihanilah kehidupan saya, kasihanilah terjalanan ekonomi saya, kasihanlah saya. Ini semacam kalau kita minta dikasihani.

Katamu, kasihlah saya, Pak.

Jawabku, baiklah. Dan bapak itu, menolong apa yang dibutuhkan olehmu. Begitu.

Sebelum kita menguraikan satu persatu kata tersebut, akan saya sampaikan, bahwa saya ini mengingatkan tentang apa yang telah kita ketahui dan apa yang telah kita kerjakan. Untuk makna, sebenarnya, kita bisa ‘menerka-terka’ sendiri. Apakah boleh? Jawabku, kalau kamu menerka, apakah itu dilarang? Siapa yang melarang ‘terkaan’ dari pemikiranmu? Bukankah pemikiran adalah milikimu? Dan siapa yang lebih berkuasa atas apa yang engkau pikirkan? Bukankah pada akhirnya adalah diri sendiri:

Bukankah di zaman yang ilmu-pengetahuan telah mbludak ini, bukankah dengan cepat bisa mencari makna dari apa yang kita kerjakan, dengan cara, membaca yang ‘ulama-ulama’ tuliskan. Bukankah tujuan ulama menulis adalah teruntuk dibaca? Lebih kalau dijalankan? Soal gampang dan tidak, payah dan tidak, itu terserah kepada individu, toh individu yang menjalankan.

Jika individu itu berbeda dengan ‘sosialnya’ maka si individu tentunya terkena hokum-sosial; apakah ada hokum sosial? Tentu ada, yakni hokum dimana lingkungan itu berada. Missal, kalau islammu atau praktek ibadahmu berbeda dengan yang lain atau yang umumnya, maka engkau akan mendapat teguran atau perbincangan dari lingkungamu, engkau akan disuruh berbicara dan menjelaskan kenapa engkau bersikap seperti itu.

Kita tahu, ilmu, bisa kita dapati siapa saja, entah itu ‘orang non-muslim’, muslim ecek-ecek, atau muslim jadi-jadian, atau orang tua, renta, anak-anak, bahkan bayi, kita bisa belajar dari siapa saja, dan saran saya, punyalah guru-realitas, yakni guru dimana realitasmu berada, tujuannya: supaya menjadi ‘bentengmu’, menjadi ‘perisaimu’, menjadi ‘tempat’ pengaduan ilmumu. Dan kalau engkau tidak mau menjadi ‘guru’ maka engkau harus menjadi ‘guru’: begitulah atuaran ilmu—siapa yang membuat aturan, yakni tentang realitas, tentang kenyataan, yang memang harus ‘menjalin’ kemanusiaan secara nyata.

Kembali ke kitab.

Kalau kita meresapi ‘doa’ dari dua sujud ini, maka, sebenarnya kita adalah curhat tentang kekomplekan sifat manusia; curhat yang berharap kepada Allah. Apakah boleh berharap? Katamu. Jawabku, memang tidak bolehkah berharap?

Namun ‘sejauh’ kesadaran-kemanusiaan kita aktif—yakni, berpengetahuan tentang makna dari teks—maka kita akan benar-benar meresapi tentang shalat. Oleh karenanya, kita sering mendengar, semakin orang itu berpengetahuan, semakin lama orang itu ibadah: karena pengetahuan tersebut membawakan ke jalinan pengetahuan-pengetahuan yang lain.

Begini maksudnya:

Kalau kamu mumpuni nahwu, shorof, tafsir, hadist, fikih, ilmu-kalam, maka shalat itu sarat dengan perenungan yang dalam, dan tujuannya adalah kepada-Nya, dan untuk-Nya. Yang pasti, saya ingatkan kembali, tatkala kita shalat, berupayah untuk mengetahui apa yang kita katakan dalam lafat-lafat shalat, kalau belum bisa, belajar, sinau, bacalah, dan yang lebih penting lagi: pertahankanlah tentang menjaga shalat. Ini kalimat sederhana, namun menjaga itu, tidak gampang lho. Apalagi sampai terus-menerus (istiqomah), namun kalau Allah mendukung dan memberi petunjuk, siapa yang mampu mencegahnya?

Allahumman a’inna dzirika wa syukrika wa husni ibadatik. Amin.

Belum ada Komentar untuk " NGAJI MABADI FIKIH: Doa di antara dua sujud: Refleksi dari kompleksitas Kemanusiaan "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel