NGAJI MABADI FIKIH: THAHARAH: Penting Dikonfirmasi Pengetahuan ‘Bersuci’ yang telah melekat dalam diri kita







Penting dikabarkan, tujuan saya mengkaji ulang kitab mabadi fikih ini, kitab yang dasar, berguna untuk mengonfirmasi ‘pengetahuan’ keislaman yang telah mendarah daging dalam diri kita—ya, seringkali kita melalaikan hal-hal yang sederhana atau hal-hal yang dasar, padahal bersamaan dengan hal yang dasar, akan mengembalikan tentang ‘pengetahuan’ yang telah acak-acakan bersinggah di dalam diri kita—

Zaman sekarang, kebanyakan orang lebih memilih mendengar pengajian yang bersifat ‘umum’ atau ‘pengajian’ ceramah, padahal kalau diamati lebih seksama, ceramah itu adalah ‘pengajian-umum’ yang temanya adalah sarat dengan jalinan ‘tema’ yang ditumpek-blekkan menjadi satu tema, yang kemudian menghibur hati atau membuat kita mengingat ulang tentang pentingnya agama. mengaji umum pun penting, namun saran saya, mengaji yang khusus, yang mana tersistematis, itu pun penting, tidak kalah pentingnya dengan mengaji yang umum.

Sandaran saya adalah kitab mabadi fikih madhab imam syafi’i, guna mengecek tentang pengetahuan yang telah mendarah daging dalam diri, dan kadang lalai untuk dihafalkan secara ‘redaksi’ yakni bahasa arab; maksudnya, harusnya kita mampu menghafalkan tentang kitab-kitab dasar keislaman, yang mana kitab-kitab dijalankan secara keumuman, sehingga tatkala bertemu, kita bisa membicarakan tentang ‘kitab-kitab’ yang melekat di dalam diri kita. namun, adakalanya, kita enggan untuk ‘menggunakan’ rasio kita, enggan mendayakan ‘pengetahuan’ yang menyerap dalam diri kita dengan cara menghafalkan data-data pengetahuan yang sebenarnya telah terserap dalam diri kita.

Sekarang ke kitab:

Apa itu sesuci?

Sesuci itu melakukan sesuatu untuk mengesahkan solat yakni menghilangkan najis dengan cara cebok, wudhu, mandi atau tayamum.

 
Kita telah tahu tentang sesuci, dan suci yang dimaksud tentu, suci dari hadas dan najis. Jika dikatakan, aku suci, tentu maksudnya suci dari hadas dan najis. Pengetahuan tentang diksi-diski ini, penting, jadi yang dimaksud dengan suci adalah suci dari hadas dan najis. Atau, janganlah kita sibukkan tentang diksi, tentang makna-makna dari ‘diksi’ seperti suci, thaharoh, atau shalat, yang sebenarnya kita telah mengetahui kegunaan kata itu. menurut saya, persoalan manusia-muslim sekarang, atau umat islam—yang sebenarnya saya membicarakan diri saya sendiri sebagai pelaku muslim—adalah kurang mengonfirmasi pengetahuan yang dimiliki, seakan-akan telah ‘tahu’ padahal tidak paham. Harusnya dengan mengonfirmasi maka yang ‘tertera’ dalam ‘pemikiran’ maka akan rimbun dengan data-data ‘pengetahuan’, menjadi pohon pengetahuan islam yang kokoh, yakni, mulai dari dasarnya, sampai kekinian.

Yang sebenarnya, keberadaan zaman informasi, zaman blak-blakan, zaman terang-terangan, adalah menekankan kita untuk pandai secara sekilas, menekankan pandai secara cepat. Maklum, zamannya percepatan, seakan-akan menuntut semuanya serba cepat, bahkan keilmuan islam, seakan harus dituntut serba cepat, kalau tidak sempurna ‘pengetahuan’ islamnya maka akan kurang. Padahal, dalam sejarahnya, perjalanan ‘keilmuan’ islam itu bertahap, yakni perkokohan iman yang kuat, dan selanjutnya adalah pembagusan tentang syariat (aturan keislaman) yakni kefikihan. Namun, zaman sekarang telah bersamaan dengan keduanya, wal-hasil, manusia muslim harus menerima dua itu sekaligus, dan mau tidak mau—karena zamannya cepat—dituntut untuk mengusai secara cepat. Padahal, saya berpikir, bahwa kapasitas otak pun tidak cepat-cepat sekali, alias, tidak mudah menangkap data pengetahuan secara cepat. Apalagi, berkaitan dengan ilmu islam, yang mana menekankan kesimbangan antara: ide dan laksana. Ide itu adalah keimanan, dan laksana itu adalah keislaman.

Oke kembali ke sesuci: kita telah tahu sesuci, selanjutnya:

Apa itu perantara dari sesuci?

Air, debu, batu, samak dan sabun


 
Alat atau objek bersuci, begitulah: air, debu, batu, samak dan ‘sabun’, dan kita, di indonesia yang sarat dengan air, negara yang ‘tidak-kekurangan’ air, maka orientasinya bersuci menggunakan air, karena air banyak dan melimpah. Namun, hal ini begitu memaksa orang bersuci selain dengan air, karena tawaran islam itu untuk mempermudahkan ‘manusia’ mensucikan diri. Mempermudahkan jangan diartikan dipermudahkan, tidak, namun begitulah, tidak harus dipaksakan menggunakan air, ada opsi pilihan lain, yakni debu, batu, samak. Dan tentu, kita telah mengetahui mengapa hal itu ditawarkan. Kalau tidak ada air, menggunakan debu. Begitu. Dan penting dikabarkan, sekali lagi, bahwa tujuan menuliskan ini, adalah mengulang apa yang telah kita ‘ketahui’, yang telah melekat dalam diri kita. Kemudian:

 
Apa saja air yang boleh untuk bersuci?

Setiap air yang turun dari langit atau air yang bersumber dari tanah, yang tidak najis dan tidak mustakmal.


 
Jadi, air yang turun dari langit, itulah suci. Apapun itu air yang turun dari langit, itulah air suci dan boleh digunakan untuk bersuci. Dan tentu, jangan diartikan ‘langit’ yang macem-macem; langit dalam hal ini adalah ‘sesuatu’ yang menghampar di atas kita, yang biasanya berwarna biru, ada awannya, kadang mendung, itulah langit. Jangan ribetkan tentang istilah langit yang bagaimana; langit adalah sesuatu yang mampu menurunkan hujan, itulah langit. Hujan adalah sesuatu yang turun dari langit, itulah hujan. Selanjutnya, air yang bersumber dari tanah, itu juga suci. Ingat, air yang bersumber dari tanah: lalu bagaimana dengan air sungai, air yang banyak? Eist, jangan dulu gegabah untuk bertanya tentang hal tersebut, karena nanti juga akan dibicarakan tentang bagaimana ukuran air untuk bersuci.

Ilm fikih itu adalah ilmu tentang kedetailan, yang sangat detail, sangking-sangking detailnya, apa-pun itu dibahaskan, apa-pun itu dirunut, supaya jelas dan gamblang, itu sebabnya, zaman sekarang, fikih itu sangat panjang dan ribet, sangat kompleks dan banyak, sebab tawaran zaman yang sungguh cepat, maka fikih pun bakal bergerak cepat. Begitulah ilmu fikih.

Apa itu air yang terkena najis?

Air yang sedikit yang dijatuhi najis.



Apa itu air mustamal?

Air yang sedikit yang telah digunakan untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan najis.



Apa itu air yang sedikit?

Air yang kurang dari dua kulah.



Apa itu air yang banyak?

Air yang lebih dari dua kulah maka itu banyak.



Apa itu dua kulah?

Dua kulah itu ibarat dari 148 ukoh yang dikira-kirakan karena wadah air yang bersegi empat atau tempat air itu satu dirok dan seperempat dirok atau setangan—satu lengan—itu seperti ¼ dirok.


Dalam kajian tentang ukuran tempat, saya tidak mempersibukkan tentang ukuran-ukuran tempat untuk bersuci, zaman sekarang itu telah maju, telah banyak orang pandai, telah banyak ulama-ulama yang dengan bijak menerangkan tentang proses-proses guna pelengkapan wudhu, termasuk tentang tempat wudhu. Di zaman dulu, orang-orang tatkala wudhu, menggunakan alat wudhu dengan gentong, atau padasan, yang itu tentu juga ukurannya setengah lengan orang dewasa, dan sebenarnya lagi, bab ini, nanti berkaitan erat dengan najis, tanda-tanda najis, sebab hal ini, fikih, itu berkaitan satu sama lain: thaharah berkaitan dengan najis. Najis berkaitan dengan thaharah. Berkaitan dengan shalat. Berkaitan dengan yang lain. Begitulah keilmuan islam, sarat akan jaringan atau hubungan, dan kita, mengetahui itu semua, secara keseluruhan mengetahuai ‘keilmuan’ islam secara keseluruhan, hanya saja kita kurang mengonfirmasi tentang pengetahuan yang telah mendarah daging di dalam diri kita. kurang mengonfirmasi tentu banyak alasan, bisa jadi, kita disibukkan oleh pekerjaan, dan kedua, kita memang lalai untuk mengonfirmasi pengetahuan, atau kita seringkali disuguhi tema-tema pada keseluruhan sesuai dengan bulan atau hari-harinya, tatkala di bulan ramadhan, maka kita akan diserbu pengetahuan ramadhan, tatkala di bulan syawal kita diserbu pengetahuan tentang bulan syawal. Karena memang, zaman sekarang begitu: informasi dimana-mana, pengetahuan dimana-mana, dan kita laksana objek yang harus mendengar dan mengonsumsi itu semua. Dan kita, kadang lalai bahwa kita sebenanrya bisa mengkaji, yang selanjutnya, dengan kajian individu itu dikonfirmasikan kepada guru. Yang pasti, ada guru realitas sebagai patokan untuk keilmuan. Begitu ya..

Rabbi zidni ilma warzukni fahma. Amin...

Belum ada Komentar untuk "NGAJI MABADI FIKIH: THAHARAH: Penting Dikonfirmasi Pengetahuan ‘Bersuci’ yang telah melekat dalam diri kita"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel