Nasihat Antara Sosialis dan Individualis








Tinjaulah dirimu, menggantungkan klaim sosialis padahal kau bertujuan individualis; padahal kau berdaya menyatakan individualis tapi kau dalam sangkar sosialis; dan bukankah dalam esensinya manusia memang begitu? Mahluk yang sosial sekaligus individual; bermakna ganda dalam menjalin hidupnya, tapi siapa yang paling memamahi tentang gerak-gerik pemikiran? Tentang sebuah keniatan; dan saat engkau mempercayai bahwa itu adalah karena mencari senangnya Tuhan, maka ibadahmu yang sosialis itu penting kau tancapkan kepada-Nya, jangan ada prasangka tentang individualis dengan alasan:

Aku belajar taat, dan sesungguhnya aku berupaya menaatkan diriku.

Tujuanku adalah diriku, dan aku ibadah-sosial karena aku membutuhkan.

Tujuanku adalah mengikatkan diri secara menyeluruh, karena aku sangat individualis.

Buanglah prasangka tersebut; buang jauh-jauh dari kantong pemikiranmu, sungguh, dengan begitu engkau malah menodai tentang tujuanmu; mengapa kau sertakan bahwa tujuanmu adalah dirimu sendiri? Singkirkan.

Tancapkan tujuanmu adalah karena mencari ridho Tuhanmu; lepaskan tentang embel-embel keakuan, tentang hiasan-hiasan sosial, karena itu menganggu niatmu untuk menghamba kepada-Nya. Tidakkah engkau ingat betapa pentingnya ‘niat’ dalam jalanmu; betapa pentingnya sebuah ‘niat’ yang bahkan, dalam rujuan ‘jalanmu’ dilerai cukup panjang dalam bab niat, dan itu sebabnya dalam kitab-kitab fikih standar layaknya mabadi fikih, misalnya, selalu ditancapkan tentang keniatan sebagai fardu, sebagai sesuatu yang diwajibkan:

Lilahita’ala itu penting. Penting sekali.

Dengan begitu, maka engkau membuang sesuatu yang bernama individualis dan sosialis.

Jika kau bertanya, lantas kau seperti apa? Apakah humanis atau kefanaan atau yang lainnya.

Jawablah, aku ibadah lilahita’ala.

Begitu sudah cukup, karena allah itu tidak terbatas, tidak bisa disamakan, sangat-sangat disucikan, jelas keberadaannya. Sebab, kata-kata yang kau ‘sandangkan’ dalam pemikiranmu, malah menjadikan dirimu ‘terkumuhkan’ akan kata-kata; pokoknya ibadah.

Masuklah pada kata ‘pokok’—apa kata orang, jawablah dengan keumuman. Dan orang-orang mengetahui itu kok. Orang-orang memahami hal tersebut. dan mereka, pastinya tidak akan mempertanyakan lebih tentang ‘makammu’ tentnag tujuanmu; apakah itu belajar atau tidak, apakah itu mengikatkan atau tidak, apakah belajar ibadah atau berdaya rajin ibadah.

Ringankan perjalanan agamamu, jangan diberatkan dalam cangkang pemikiranmu; jamaah itu penting, jika engkau ‘tidak’ mampu maka sendirilah, terapkanlah tentang hokum kefikihan tentang dasarnya kau beribadah; jika pikiranmu berfantasi, jika dirimu beibadah yang itu sarat dengan imajenasi—gunakanlah rumus kefikihan.

Sekarang, latihlah dirimu sendiri dalam beribadah, jangan gantung dan hokum dengan ‘harus’ berjamaah; jangan hokum ‘dirimu’ menjalankan ‘jamaah’; jamaah itu penting, tapi jangan hokum dirimu terhadap hal itu; ingat, realitasmu belum mengizinkan sepenuhnya engkau ‘melaksankan’ itu, pemikiranmu belum sepenuhnya tenang dan diam, pemikiranmu masih bergentayangan; jika kau dapati kediaman, ketenangan ‘pikiran’ saat menuanaikan ‘jamaah’, maka terimalah, dan dayakanlah untuk melakukan itu, yang pasti, jangan gunakan rumus ‘HARUS’ dalam mangkok pemikiranmu. Dengan begitu, engkau mampu ‘mengampuni’ dirimu tatkala tidak mengerjakan jamaah; ingatlah, bahwa ibadah pada dasarnya untuk ‘individu’ dan engkau penting menangkap tentang individu tersebut.

Sabarlah, berjalannya waktu, engkau akan tenang, kalau jasadmu tertenangkan dan ‘mendiami’ suatu tempat yang itu, engkau akan menetap; kenanglah, saat ini engkau bergentayangan, begitu juga dengan status dirimu, itu hokum pertama. Oleh karennay, jangan begitu dipaksakan untuk tidak ‘bergentayangan’; itulah makammu, itulah kedudukanmu. Mengapa engkau mencari sesuatu yang itu bukan pada kedudukanmu sementara engkau mengetahui tentang kedudukanmu?

Terakhir, tancaplah lilahita’ala; sungguh engkau mengetahui tentang rumah sesuatu atas nama ‘Allah.’ dan mengapa harus ‘Allah’? Ya, tanamkan kuat-kuat: lillahita’ala.

2017

Belum ada Komentar untuk "Nasihat Antara Sosialis dan Individualis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel