Saat Realitas Menugrub Pemikiranmu


Saat realitas menugrub pemikiranmu, mengajakmu bermain pada realitas yang sesungguhnya, tentang jalinan yang serba ‘penampakan’ dan sesuatu yang sarat dengan ‘kekurangan’ di saat itulah jiwamu melentur, pudar, dan kau berkata:

Mengapa dunia begitu sulit, padahal realitas adalah sekedar penampakan-penampakan yang seharusnya mudah? Bekerja, dapat uang, dan menjalin kehidupan dengan manusia lainnya. Sesungguhnya apa yang memuatku payah—dan mengapa ‘perkataan’ nyata lebih nyengat dan ganas; dan mulai menyadari bahwa dunia manusia, memang seperti itu:

Manusia pun adalah hewan yang berpikir; yang tentunya mempunyai sifat-sifat layaknya hewani, aku menimbang, bahwa diriku, mulai menjelma hewani: mengadu, mengeluh, mengincar, dan siap memangsa, bahkan orang-orang pun siap dimangsa, bukan untuk dimakan, melainkan ‘demi’ pertahananku diri sendiri—oh dunia ini, bagiku, ‘menjadi’ teramat aneh.

Aku layaknya ‘sahabat goa’ terjebak dalam goa dan kemudian melihat dunia telah menjadi seperti ini.

Aku terkejut-heran, tapi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti zaman.

Zaman telah terbuka, orang-orang bisa berpendapat! Orang-orang bebas berkomentar, orang-orang menujukan gelegat-gelegat hatinya, gelegat-gelegat pemikirannya.

Pemikiran menjadi komunitas-komunitas, yang diam, saya pun masuk atas nama komunitas. Oh betapa dunia-nyata, kita menjadi aneh, kata Filsuf Prancis, atau Sosisolog Prancis, Jean Baudrillard, dunia telah menjelma simulasi, telah menjadikan hiper-realitas, melampaui realitas.

Aku jadi mulai membaca tentang filsafat media, tentang sosiologi masa-kini, sociology kontemporer, dan aku membaca, pada realitas tetaplah realitas yang sebenarnya.

Orang-orang masih menjalankan ritual realitasnya.

Orang-orang bekerja untuk mencukupi kehidupannya.

Orang-orang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Dan kebutuhan sekarang mulai bertambah-tambah, bahkan ‘hiburan’ atau ‘alat-hiburan’ menjadi pelengkap buat keduniaan. oh sesungguhnya apa yang terjadi denganku?

Apa yang kuharapkan sungguh atas keduniaan ini?

Apa yang kuincar sungguh dengan jalinan waktuku?

Dengan pola-pola sejarahku? Oh sungguhlah aku ingin tahu:

Diriku ini hendak Engkau giringkan kemana Ya Allah?

Apa yang Engkau rencanakan kepadamu dengan pola-pola hidupku?

Beritahulah kepadaku apa arahku sungguh?

Jawabku, Taufik, janganlah engkau mengeluh terhadap keakuanmu, terimalah dunia yang menyertaimu, terimalah tugrupan realitas yang menderamu—semua itu memang telah direncanakan. Bersabarlah.

Jalanilah realitasmu dengan sabar dan tabah, ikhlas dan menerima—dan saya hanya bisa menyarankanmu seperti itu? andai kata, aku berikan uang kepadamu:

Apakah itu cukup untuk memuaskan dirimu? Sementara engkau telah terlahir dalam sarat keuangan.

Engkau terdidik bukan tentang kurangnya keuangan.

Kenaliah, yang engkau cari adalah ‘kepuasan’ diri terhadap apa-apa yang terjadi, dan ukuran puas, tidak bisa diukur dengan materi, sebab keberadaan puas bukan terletak pada materi, namun di dalam diri manusia.

Memang benar, materi adalah ukuran tentang rasa puas, namun kalau engkau menerima apa-apa yang menyertaimu, apa-apa yang menyelimutimu, dan engkau puas dengan apa-apa yang menyertaimu serta puas dengan apa-apa yang ditakdirkan untukmu, tentu, engkau akan merasa puas.

Saya terka, kalau engkau kaya-materi, engkau menjadi sombong karena mampu memberi.

Kalau engkau mempunyai ilmu lebih, engkau sombong karena mampu mengajari dan ingin dipuji.

Dan saya datang kepadamu, Taufik, bukan tentang kehebatanku, bukan tentang keilmuanku, namun kedatanganku, adalah teruntuk mengarimu bagaimana menerima dunia dan ikhlas berada di dunia. Ikhlas yang bagaimana? Yakni, terimalah takdirmu seperti yang telah terjadi.

Cercaan datang, bersabarlah.

Ejekan datang, bersabarlah.

Dapat rezeki, bersyukurlah.

Sehat badan, bersyukurlah.

Karena sekarang, engkau telah menyentuh-realitasmu, maka terimalah realitas yang terjadi. Apa kunci realitas? Sungguh soal itu, aku tetap percaya kepadamu, bahwa engkau mengetahui apa kunci relaitas, dan engkau adalah orang terpelajar, masak menjawab begitu tidak bisa.

Jika sekarang, engkau masih payah, menyelaraskan ‘realitas’ dan pemikiranmu: bersabarlah—sabar dan syukur memang menjadi diksi utama dalam ilmu keislaman, umumnya, dalam kehidupan. Dan saat realitas menugrub pemikiranmu, terimala dekapan realitas, sungguh dengan begitu, jalinan pengetahuanmu akan bertambah, sekali pun saat ini tubuhmu laksana moyak didekap realitas, bersabarlah; ini adalah zaman dimana engkau harus bersabar, maka pupuklah sabarmu dengan senantiasa mengingat-Nya.

Saat realitas memeluk pemikiranmu dan kau kewalahan—karena kau laksana ashabul kahfi—maka terima dan belajarlah, sabar dan sesuaikanlah, syukur dan ingatlah bahwa tiada ‘Tuhan’ selain Allah; dialah yang mengusai seluruh realitas, pokoknya, sentiasa percaya kepada-Nya, itu penting. Demikian.
2017

Belum ada Komentar untuk "Saat Realitas Menugrub Pemikiranmu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel