KITAB MABADI FIKIH: Doa setelah azan: Masalahnya, kita tahu tapi tidak mau ‘Berdoa’






 

Artinya—Ya allah, Tuhan yang memiliki ini panggilan yang sempurna dan yang memiliki shalat yang dididikan. Berilah kepada junjungan kami Nabi Muhammad, wasilah, keutamaan, kemuliaan serta derjata yang tinggi, dan angkatlah ia ke tempat yang terpuji sebgai mana Engkau janjikan; sesungguhnya Engkau ya Allah dzat yang tidak akan mengubah janji.

Begitulah doa dari setelah azan, yang paling sering dan kerap diluncurkan oleh kita. Karena terpengerahui oleh media-media televise, yang seringnya mentok sampai itu. Namun, dalam tawaran kitab mabadi ini, ada tambah, tidak hanya samapi pada—innaka latuflihul mi’ad. Ada lanjutnya, yang artinya:

Ya allah, saya minta kepada-Mu, permafaan dan kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah maafkanlah kedua orang tuaku dan kasihalah saya dan kasihalah orang tua saya, sebagaimana orangtua mengasihi saya waktu kecil, dan semoga allah member rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya kesejahteraan.
Untuk doanya, yang pasti dengan bahasa arab. Namun, menurut saya, permasalah sekarang itu, bukan tentang tidak tahunya, tapi tidak mau menjalankan. Itulah masalah. Kita tahu, tapi tidak menjalankan yang kita tahu. Lebih-lebih, kita mau berusaha untuk lebih ‘memahami’ apa yang kita tahu.

Apalagi di zaman sekarang, orang pinter atau orang pandai, menawarkan sendiri kepandaiannya, membagi-bagikan tentang kepandaianya, mengobral tentang kepandaiinya. Klik saja esensi doa setelah azan, atau tafsir doa setelah azan, atau makna terdalam dari doa setelah azan, atau… atau… atau… zaman sekarang, memang zaman ‘klik’, pengetahuan, pengethuan yang diklik, terlebih lagi pengethuan islam, pengethuan yang sejak dulu-masih seperti itu, jika pun ada pembaharuan, pasti ada, tapi tetap saja, sebagian dari ilmu islam, masih seperti dulu.

Contoh, sejak dulu, rukun islam yang selalu seperti itu, rukun shalat ya selalu seperti itu, rukun haji begitu, wudhu begitu, doanya begitu, keimannya begitu. masalahnya, kita mau menjalankan atau memperkatekkannya apa tidak?

Jadi, untuk menjadi sifat yang mulia, itu sebenarnya ‘gampang’ kalau kita mau menjalankan. Lha kadang kita malah yang lain, malah gampang tidak berdoa, pinginnya terburu-buru, tidak melaksanakan apa yang ditahu, tidak menjalankan apa yang diketahui, malah meninggalkan. Malah mengabaikan. Heleh. Itu sifat dari manusia, yang inginnya bebas merdeka, tidak ada aturan, bebas, bas, bas, bas. Males dijeret. Males diikat. Males berpikit kuat. Inginnya bebas merdeka, tidak ada aturan, selain itu, penginnya damai, sejahtera, bahagia, padahal kalau menuruti ‘apa yang kita mau’ maka sesungguhnya itulah nafsu.

Kok bisa? Lha kita kan maunya: kaya.

Maunya, pandai.

Maunya, terkenal.

Maunya, wah-wahan.

Maunya, super-star.

Maunya, pengatur.

Maunya, memimpin.

Dan itu sifat yang memang ada di dalam diri manusia. Itu tidak bisa dihelak, tidak bisa di tolak, tapi bisa dikendalikan, bisa didudukan, bisa control: lha sekarang, maukah kita menjalankan keilmuan yang telah kita ketahui tentang islam, misalnya yang gampang saja: doa setiap saat, setiap melakukan apa-pun. Bukankah kita tahu, bahwa dari pagi sampai fajar, ada saja doanya. Mau nggak menjalankan? Hehe kalau menjawab, gampang, yang berat, praktekknya dan membiasakan. Tapi, apa-pun itu, kalau kita berusaha dan berjuang untuk praktek, mudah-mudah Allah meridhoi apa yang kita lakukan, dan Allah menolong kita tentang kita yang melakukan apa yang akan kita lakukan.

Allhumma a’inna dzikrika wasyukrika wa husni ibadatik. Amin.

Belum ada Komentar untuk " KITAB MABADI FIKIH: Doa setelah azan: Masalahnya, kita tahu tapi tidak mau ‘Berdoa’"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel