Tentang Mencari-Nya dan Orang Yang Ditinggalkannya



“Aku ingin mencari-Nya.”

“Mencarinya?”

“Benar.”

Dengan keyakinan kuat kau meninggalkan kenanganmu. Meninggalkan orang-orang yang mengasuhmu. “Aku tak tahu apa yang dipikirkanmu…” rintihmu sambil menghapus airmatanya, “Mengapa kau begitu cepat meninggalkanku. Dan rela meninggalkanku.” Imbuhmu seketika. “Sungguh, aku sangat menyayanginya,” tutupmu sambil menutupkan wajahmu.

Dan tangismu yang kian menderu. Saudaramu terharu mendengar kata-katamu. Mereka merangkulmu. Sangat erat sambil jemarinya mengelus-elus punggungmu.

Ruangan hening kata-kata, yang ada adalah tangisan di antara mereka. Yang mendadak bagai meledak tatkala kau berkata,

“Padahal baru semalam kuceritakan lebih banyak tentangnya. Tentang masa kecilnya. Sekarang, dia telah pergi meninggalkanku.”

“Sabar. Sabar. Dia pasti kembali untukmu. Sabar. Ingatlah, Allah bersama orang-orang yang sabar,” Ucapnya, dengan tegas. Walau nyatanya air matanya melelah, tapi suaranya bening, tidak ada tanda-tanda bahwa bersedih. Padahal hatinya juga terpukul akan kepergiannya. Itulah kamu, terkenal dengan keteguhan hatimu. Dialah pengasuh tertua, selang lima tahun lebih tua darimu.

“Dia itu anak yang pandai. Tapi mengapa dia memilih untuk…”

Airmatamu telah menjawab kata-kata lanjutannya. Ya, kau sudah tidak tahan meneruskan. Kepergiannya benar-benar meledakkan hatimu. Bahkan matamu telah sembab, karena dari semalam terus mengeluarkan airmata. Dari semalam berdoa untukku.

“Anak itu titipan Allah. Kita tidak kuasa mencegah bila Dia memanggilnya,” Tegasnya sambil airmatanya meleleh tidak dihapusnya, menderai sampai jilbabmu. Tapi kau malah kian menjerit.

“Istigfar, Bu… Istigfar…” kata yang lain.

“Aku tidak bisa.” katamu sambil mengeleng-gelangkan kepala. “Tidak bisa..” imbuhmu dengan pelan sekali.

Dengan cepat kamu melepas pelukanmu. Berpindah menggenggam keduanya.

“ Lihatlah mataku. Pergilah, wahai setan yang menyusup ke jiwamu. Sungguh setan telah menghancurkan keimananmu pada-Nya. Bukannya engkau adalah seorang muslimah?

Tidakkah engkau melihat dari mataku. Bahwa tidak engkau seorang yang menyukainya, yang menaruk harap padanya, yang…” kata-katanya sudah tidak sanggup keluar dari mulutnya. Dengan cepat, kamu pergi meninggalkannya. Berlari menuju kamarmu.

Kau terbengong menjadi saksi diantaranya. Kepergiannya membuatmu semakin terharu, yang rupanya, dia adalah yang membuat menarik hati untuk disukai, untuk disayangi.

“Aku harus bagaimana?” batinmu, bimbang.

Tidak lama kemudian dari kamarmu terdengar lantunan Al-Quran. Kau melantunkannya dengan nada Nahawan, sehingga terdengar dengan jelas bagaimana rintihannya. Kau menangis dalam Al-Qur’an. Sementara yang lain, semakin bertambah tangisnya tatkala mendengar tangisanmu dalam bahasa Qur’an. Dan aku berada dipangkuanmu yang sarat dengan tangisan dan aku genggam jemarimu.

Sebenarnya, dalam batinku telah mengetahui bahwa, “Sekali pun menangis sampai berdarah-darah, dia tidak akan kembali. Tidak akan kembali. Kecuali Allah mengehendaki untuk kembali. Kecuali Dia mengembalikan pada kami. Pada akhirnya, pada-Nya semua dikembalikan.”

Perlahan-lahan, kau bersuara.

“Bukannya di sini banyak anak,”

“Benar di sini banyak anak,” jawabmu sambil menghisap air hidungmu. “Tapi, dia itu berbeda dengan yang lainnya. Dia itu..” imbuhmu tidak kuasa meneruskan. Kenangan bersamanya begitu mengerat di hati. Yang mendadak teringat banyak tentangnya, tawa, sedih, bergurau, dan pertama kali bertemu. Pertama kali menghibur hatinya.

“Ingatlah. Anak itu titipan Allah. Kita tidak kuasa mencegah bila Dia memanggilnya.”

Kau melapas jariku yang erat dengan tanganmu. Meraupkan wajahmu, kian sendu isakmu. Terdengarlah samar-samar kau berkata,

“Waktu pemulung mengantarnya. Dia menangis keras. Namun dia berhenti seketika tatkala melihatku. Dia memainkan jemarinya, aku yakin itu untukku. Aku tersenyum seketika menyaksikan itu. Hilangnya kepedihanku atas meninggalnya putraku, satu-satunya.

Ya, belum hilang sembab mataku, mendadak dia menghapus seluruhnya. Kesedihanku bagai diterpa angin yang kencang. Sangat kencang. Dan sekarang, dia meninggalkanku. Terakhir, dia memandangku tepat seperti pertama kali bertemu. Pandangannya itu seperti 22 tahun yang lalu. Senyumannya mendadak mengingatkan tentang senyuman masa lalu. Aku tak tahu, kalau rupanya pandangan dan senyuman itu adalah senyuman terakhir aku melihatnya. Aku tidak pernah tahu. Tidak pernah tahu.”

Kau sandarkan lehermu pada kursi kayu. Terlihat seperti seorang putus asa dalam hidupmu.

“Masih ada anak-anakmu, Bu. Masih ada cucu-cucumu yang menghibur, Bu.”

Kau hanya menyedetkan bibirmu lalu kembali seperti biasa dan berkata, “Harus kujelaskan bagaimana kepadamu, Nduk, tentang yang ada di dalam dadaku. Mungkin, Allah dan para malaikatnya yang mengetahui tentang apa yang ada padaku, Nduk. Semoga allah meridahi kepergiannya, ” Jawabmu, pasrah. Benar-benar pasrah. Yang kemudian angin dari jendela menghempaskan jilbabmu. Menegoklah kau ke arah jendela dengan tatapan yang curiga.

“Ada apa?” tanyaku, ingin tahu. “Ini adalah rasa arua anginnya. Dia kembali.”

Mendengarmu, aku tersentuh, hatiku, melelehlah airmataku.

“Ya. Ini adalah anginnya. Aku merasakan benar. Ya, aku merasakan benar dia akan kembali,” katamu.

Aku kian terharu, berduka mendengarmu.

Kau berteriak, memanggil-panggil yang lain, “Dia bakal kembali.”

“Dia telah pergi, Bu… ingatlah, dia telah pergi,” kataku, menjawab.

“Firasatku dia akan kembali. Pasti kembali,” jawabmu, “Sungguh, dia akan kembali. Rasakanlah angin yang berhembus. Ini seperti kejadian tatkala dia datang kepada kita.” teriakmu.

Dan kau hanya bisa berteriak. Kakimu telah lumpuh karena kepergiannya. Kepergiannya telah memporak-porandakan mereka. Aku yang bimbang dengan keadaan, kau terus menangis dalam bahasa quran, dan dia yang terus mengada-adakan, dia yang telah tiada.

Tiba-tiba, pintu dari ruangan mereka ada yang mengetuk. Tiga kali ketukan, ruang menjadi hening seketika. Tiga kali ketukan lagi, mereka bertiga berlari menghampiri pintu.

Sekali lagi, kau membukakan pintu. Seorang pemulung mengulurkan anak berkeadaan tidur dalam kardus. Mereka saling bertatapan. Kemudian menatap sang bayi. Terbukalah matanya, dan merapatlah jari sang bayi di antara dadanya—seperti permohonan maaf, yang kemudian tersenyum. Mereka pun tersenyum. Seperti dia, dalam lehernya ada sebuah nama yang melekat, yakni ‘Tohir (Bersih)’.

Sangking gembiranya. Lupalah dia, yang ada adalah Tohir (bersih). Tohir adalah anak kesayangan dari sepersekian banyak anak yang tinggal. Tohir adalah titik pusat pengasawan mereka. Mereka begitu gembira dengan tingkahnya. Mereka mengurus Tohir, bukan Zafir. Tapi dalam diri Tohir adalah Zafir. Segalanya hampir sepadan dengan Zafir, tapi itu adalah Tohir. Wajahnya sama seperti Zafir, tapi itu Tohir. Tohir kecil adalah Zafir kecil, bahkan tingkah dan perkembangannya tidak berbeda dengan Zafir. Mereka begitu gembira seperti sedia-kala.

**

Tujuh tahun kemudian. Seorang tukang post mengantarkan surat buat mereka. Tertulis diwajah amplop bernama, Zafir, Mekah alamatnya. Dengan cemas mereka ingin membuka. Tapi kau berkata, “Biar Tohir yang cerdas dan patuh saja yang membuka sekaligus membacakan untuk kita.”

Kau bergegas dari tempat duduknya. Dengan mudah menemukan Tohir. Dengan tenang dan penuh keyakinan, Tohir membaca suratnya.

“Bismilahirahmanirahim, buat para bunda yang mengasihi, yang mencintai sepenuh hati.

Di sini, saya masih mencarinya, Bu. Belum ada rasa puas sebelum bersamanya. Dunia adalah teka-teki yang membolak-balikan hati. Meski sekarang di rumah-Nya, masih juga belum bertemu dengannya. Aku masih menunggunya. Menunggunya.

Sebab suratku telah sampai padamu.

Doakan saya menemui-Nya: ditunjukan jalan menuju-Nya, bersama-Nya. Sungguh, aku telah bosan berada di hamparan bumi-Nya, yang bila datang kebahagian, kemudian didatangkan lagi kedukaan. Maka, doakan saya bersama-Nya. Mudah-mudahan kita bertemu di tempat-Nya yang mulia.

Wassalamualaikum, Zafir”

“Bu,” kata Tohir, “Bolehkah saya mengetahui, sebenarnya siapa Zafir?”

Dengan cepat kau berkata, “Dia adalah anak kami yang telah pergi mencari Tuhannya. Bercita-cita menemui-Nya.” Dan aku berkata dalam hati, “Apakah kelak kamu akan meninggalkanku seperti Zafir meninggalkan mereka?”

Ditulis 2013 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk " Tentang Mencari-Nya dan Orang Yang Ditinggalkannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel