Ibadah diri Bersama Diri-yang-lain





Ibadah memang pada dasarnya untuk diri sendiri, menyelamatkan diri, mendamaikan diri, namun ketahuilah, untuk ‘mengontrol’ kedirian, atau keakuan, tidak semudah yang kau bayangkan, tidak semudah dalam teks-teks atau dalam kata-kata, tidak semudah itu; dan musuh terbesar adalah dirimu sendiri, diri yang seperti apa? Yakni wujud dari kemanusiaanmu, yang mana sifat-sifat kemanusiaan itu menodai ‘kemurnian’ diri; dari itu engkau membutuhkan ‘teman’ untuk mensuport dirimu.

Dari itu, pertahankan ‘jamaahmu’, semampu dayamu.

Pertahankan ‘ibadah’ jamaahmu, hati-hati terperangkap ‘godaan’ kemanusiaan.

Ketahuilah, sesungguhnya yang aku bicarakan adalah sesuatu yang berada di dalam (esensi) bukan eksistens: kau mengetahui, eksistensi adalah sesuatu yang menampakann dan esensi yang berada di dalamnya, dan yang didalam bukanlah sesuatu yang mudah selayaknya esensi, apalagi berhubungan dengan keislaman-keimanan. Keduanya itu sangat mengikat dan itu bukanlah perkara yang ringan.

Kenanglah Kanjeng Nabi Muhammad, di saat beliau mempunyai ‘sahabat’ di saat itulah ‘eksistensi’ semakin nyata, sebelum itu, beliau mengokohkan tentang esensi, dan itu bukanlah perkara yang sebentar, keimanan bukanlah perkara yang sebenatar, melainkan ‘proses’ yang bergulat panjang.

Memang sekarang, zaman kesempurnaan pengetahuan, para manusia (umat muslim) bisa sekaligus mengetahui tabir-tabir pengetahuan islam, namun tetap saja, keimanan membutuhkan proses, keimanan atau rasa percaya membutuhkan proses untuk penguatan. Keimanan juga membutuhkan bantuan, keimanan juga membutuhkan dorongan, asupan, gizi, tenaga.

Bukankah yang kau inginkan adalah kekhusyukan tatkala ibadah sendiri, tapi itu masih berat.

Khusyukmu masih dalam lintasan jamaah.

Kenyatamanan ibadah masih dalam lintasan keumuman.

Lintasan ibadahamu masih dalam cengkaraman kemanusiaan;

Ada yang menilai, ada yang memuji, ada yang mengunggulkan.

Kataku, bukankah secara esensi ibadahmu-rusak, Fik, namun engkau mengetahui itu, engkau sangat ‘hapal’ bahwa ibadahmu-rusak, karena masih ada pengaruh tentang nilai yang itu dari manusia—padahal ibadah itu untuk menyelamatkan dirimu, untuk mendamaikan dirimu, untuk penghambaan dirimu.

Sekali lagi, kuatkan ‘keakuanmu’, sungguh keakuanmu belum benar-benar ‘matang’, perlu digodog sekali lagi, lebih lama—apakah keakuan adalah tanda kesombongan? Kataku, tepiskanlah ‘diksi’ itu, sisihkan ‘diksi’ itu.

Jika kesombongan ‘terpaku’ dalam dirimu, akuilah.

Jika kebesaran diri ‘terpaku’ dalam dirimu, akuilah.

Jika kelemahan diri ‘terpaku’ dalam hatimu, akuilah.

Jika kelembutan daya-pikirmu ‘majang’ dalam akalmu, akuilah.

Jika kebodohan akalmu ‘mesra’ dalam akalmu, akuilah.

Tak ada salahnya engkau mengaku, dan harusnya engkau berani mengaku, setidaknya, mengaku buat dirimu sendiri; penting mengakui buat dirimu sendiri. Pahamilah, engkau itu juga manusia, yang layak menilai tentang dirimu.

Bukankah engkau mampu menilai orang lain, mengapa engkau tidak mampu menilai dirimu?

Bukankah engkau mampu menunjuki orang lain, mengapa engkau tidak mampu menunjuki dirimu?

Bukankah engkau mampu mensuport orang lain, mengapa engkau tidak mampu mensuportmu?

Ayolah sekali lagi, tanamkan, ibadahmu adalah teruntuk dirimu sendiri, menyelamatkan dirimu, mendamaikan dirimu, menyelamatkanmu dari hari akhir, yang mana itu adalah tentang keimanan. Kenanglah, itu tentang hari akhir, Fik. Jika keimananmu telah mapan sungguh, maka bersamaan dengan itu, engkau akan mengerti tentang ibadahmu yang sesungguhnya. Jika sekarang, ibadahmu, masih compang-camping, akuilah: engkau adalah pelajar, yang berusaha untuk mengerti lagi memahami.

Kepada-Nyalah kita mengadu penuh. Kepada-Nyalah kita menyerahkan sungguh.

Belum ada Komentar untuk "Ibadah diri Bersama Diri-yang-lain "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel