NGAJI MABADI FIKIH: Wudhu: Menyayangi Realitas Kemanusiaan dari Manusia


 
Apa yang diwajibkan sebelum shalat?

Sebelum shalat wajib wudhu.


Sebelumnya telah saya terangkan, tentang shalat, shalatnya orang islam adalah berkeadaan gerak-gerik, seperti yang telah kita ketahui, sekali pun secara bahasa shalat adalah doa. Yang selanjutnya, dalam islam, sebelum berdoa di anjurkan untuk berwudhu.

Sesungguhnya, kita telah mengetahui kan, bahwa wudhu adalah untuk sesuci, artinya mensucikan diri secara dhohir dan batin, yang sesuatu yang kita basuhi itu diartikan suci. Ringkas kata, tatkala kita berwudhu, mengartikan untuk bersuci. Suci dari apa-apa yang ditentukan ‘hal-hal’ yang tidak suci—nanti pada bab, yang membatalkan wudhu atau shalat, insyaallah: kali ini kita membahas wudhu--.

Saya sering berbicara kepada teman-teman, atau dalam lingkup keluargaku, bahwasanya ‘keunggulan’—jangan diartikan muluk-muluk, pengunggulan di sini adalah yang membedakan agama islam dengan agama selain islam—agama islam terletak pada dua ini: wudhu dan shalat.

Sebelum berdoa pun harus wudhu.

Bentuk dari wudhu pun, kita telah mengetahui, bisa jadi kita telah hapal dengan rutinitas perwuduan. Kita telah sangat hapal.

Sekali lagi, saya sampaikan:

Sesungguhnya yang kita kaji ini adalah tentang mengingatkan apa yang telah kita ketahui, sekedar mengingatkan, tidak lebih. Toh, di zaman serba canggih ini, orang-orang bisa mencari data tentang wudhu, kitab-kitab bertebaran di internet, teks-teks tentang wudhu melimpah di internet, dan yang saya tawarkan ini adalah mengingatkan ulang tentang apa yang telah kalian dapatkan, sekaligus, mengingatkan saya tentang hal-hal dasar, bahwa dasaran itu sangat penting, penting sekali.

Bayangkan, saya kuliah filsafat—sekali pun dulu pernah mondok—yang membahas tentang pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh hebat, mentereng, kelas dunia, karyanya dikaji banyak orang, yang mengkaji adalah orang-orang yang hebat, namun ‘galau’ saya tetap satu: tentang agama, karena ‘memang’ konsentrasi filsafat adalah kepada agama, yang lebih condong terhadap keilmuan islam, maka sudah sangat wajar kalau saya semakin cinta dengan agama islam, terlebih lagi, itu adalah backgrone saya. Setelah berproses kuliah, saya digiringkan kepada hal-hal dasar, bersamaan dengan itulah, saya mulai menyukai, dan mencintai hal-hal dasar, yakni semacam kitab mabadi fikih ini, tidak hanya kitab mabadi, namun kitab-kitab dasar lainnya, yang telah ‘menumpuk’ di lemariku, mulai dari kitab-kitab saudaraku tertua sampai denganku: yang jelas, kitab-kitab dasar, sulamun taufik, safinatun najah, jawahirul kalamiah, bidayatu sibyan, taklimu taklim, aqidatul awwam—kitab-kitab yang sebenarnya adalah dasar-dasar, mendadak, bagi pola-pemikiranku adalah kitab-kitab yang special, karena bahasanya lugas dan tepat sasaran. Akhirnya, kajian filsafat saya agak tersisihkan, dan saya lebih cenderung kepada kajian keislaman dasaran ini, dan saya sungguh menikmati, kitab dasaran ini: menjadikan hidupku lebih berarti, dan lebih berisi.

Ah sudah. Kembali ke ngaji: Wudhu.

Dalam kitab tersebut dianjurkan sebelum shalat adalah wudhu. Seringkas itu—dan umumnya, kita pun menjalankan itu; sebelum shalat, maka berwudhu—sebenarnya yang menjadi kendala itu bukan tentang wudhu, namun yang berat adalah melaksanakan shalat.

Realitasnya, kita sering melihat orang muslim tidak menunaikan shalat, tentu saja dia tidak berwudhu. Jika Allah ‘pas’ menakdirkan ia tobat, maka sebelum menunaikan shalat, tentunya dia akan berwudhu. Dan dia mengetahui bagaimana caranya berwudhu, karena lingkungan kita adalah lingkungan yang kaum muslimnya terbanyak di dunia, secara otomatis dia mengetahui tentang bagaimana berwudhu.

Dia mengetahui bahwasanya tujuan dari wudhu. Dia juga mengetahui kalau tidak melakukan shalat itu tidak baik. Oleh karenanya, kita (mudah-mudahan, ditetapkan menjadi golongan yang taat kepada-Nya) harus memahami sekali setiap gerak-gerik pewudhuan, bahasa lainnya, luruskan niat wudhu, lilahita’ala, untuk mensucikan diri, lalu ‘berdoa’ kepada Allah. Bukankah esensi shalat adalah bahwa kita berdoa kepada allah? Dan sebelum doa, kita harus berwudhu, itulah syaratnya.

Dan mengapa itu menjadi syarat sebelum melakukan doa. Ketahuilah, tatkala wudhu maka manusia akan terlihat setidaknya bersih, setidaknya segar, karena bagian penting-penting organ tubuh yang dicium matahari dibasuhi air: bukankah titik tekan yang kita wudhui adalah bagian-bagian yang paling cepat dicumbu matahari?

Bahasa lainnya, wudhu itu adalah upaya untuk menyegarkan tubuh, yakni gantinya mandi. Bukankah kita akan terberatkan kalau sehari harus mandi lima kali? Dan wudhu, dilakukan supaya kita perhatian dengan diri kita, dengan kesegaran diri, dengan kebersihan diri: bayangkan tatkala sebenarnya itu untuk kepentingan kita, di saat kita ikhlas melakukan, maka kita mendapatkan pahala. Timbanglah. Ayo ikhlaskan wudhunya.

Akhir kata, yang saya tawarkan adalah ayo dipikirkan ulang tentang wudhunya, jangan cepak-cepik, sah. Resapilah tatkala wudhu. Kenanglah, tatkala kita wudhu, yang nantinya adalah untuk berdoa, doa untuk kesejahteraan-individu, doa untuk kepentingan sendiri, doa untuk keselamatan sendiri, lalu mendapatkan pahala: ikhlaskanlah ibadahmu lilahita’ala.

Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepada kami. Amin

Belum ada Komentar untuk " NGAJI MABADI FIKIH: Wudhu: Menyayangi Realitas Kemanusiaan dari Manusia "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel