Ngaji Mabadi Fikih Juz 1: Fardu Wudhu: Kemudahan Wudhu Bagi Yang Mengetahui Hukum




Berapa fardunya wudhu?

Fardunya wudhu itu enam, pertama niat, kedua membasuh wajah, yang ketiga membasuh kedua tangan berserta sikut, keempat membasuh sebagian kepala, kelima membasuh kaki beserta mata-kaki, dan terakhir, keenam, tertib alias berurut.


Sudah berulang-kali saya katakan, bahwa tujuan mengaji kitab ini, untuk mengingatkan kita, mengingatkan kita kepada hal-hal dasar dari agama, artinya berusaha mengingat sekali lagi, tentang apa yang telah kita jalani. Sekali lagi, lebih memaknai tentang apa yang ‘telah’ kita kerjakan.

Kita telah mengerjakan fardunya wudhu, dan kita telah mengetahuai tentang fardhunya wudhu, namun, seringkali kita ‘lalai’ tentang esensi dari wudhu itu, oleh karenanya, dengan adanya mengaji ini, kita menjadi ‘ingat’ kembali tentang apa-apa yang kita kerjakan.

Selain itu, mungkin karena sekarang—secara realitas, secara nyata, saya sedang dibacakan kitab al-adzkarnya Imam Nawawi, oleh guru saya; tentu ini guru nyata, yang mana setiap hari, saya dibacakan paling banter 3 sampai 4 lembar, kenapa, sebab durasi waktu, lha ngajiku itu ba’da margib, isya sudah selesai—saya mengaji al-adzkar, maka saya secara tidak langsung disuruh untuk ‘mengingat-ingat’ tentang apa-apa yang saya lakukan, termasuk apa-pun itu harus ada ‘doanya’, harus disertai doa, karena dalam kitab al-azkar, membahas tentang seluruh aktifitas ada doanya. Pendek katanya begitu, terlebih lagi, mengingat tentang ‘keritualan’ peribadahan. Itulah yang saya tangkap dari kitab al-adzkar.

Kembali ke fardunya wudhu.

Fardunya wudhu, sekali pun zaman sekarang telah maju, canggih, tetap saja, wudhu seperti itu, selalu saja umat muslim di dunia seperti itu melaksanakan fardunya wudhu; ingat, seluruh umat muslim masih mengerjakan sesuatu yang itu berasal dari sekitaran tahun 600-700 Masehi (sekarang 2017 masehi lho), yakni di zaman Kanjeng Nabi Muhammad.

Perhatikan:

Iniloh yang ditawarkan tentang akhlaknya kanjeng nabi kepada kita, maksudnya, yang kita lakukan ini adalah seperti yang kanjeng nabi Muhammad lakukan—walau pun tidak sama persis—tapi setidaknya, kita meniru ‘apa-apa’ yang dilakukan kanjeng nabi, ini masih secara umum, oleh karenanya untuk meniru kanjeng nabi Muhammad secara keseluruhan, maka penting menjalankan apa yang kanjeng nabi Muhammad lakukan dan katakan—namun berat untuk zaman sekarang ini.

Apalagi di zaman jaringan, di zaman serba informasi, gegap-gempita ‘pengetahuan’ menyerbu kita, bahkan tentang wudhu pun menyerbu kita. Zaman sekarang, begitu banyak guru, guru-guru bergeyangan dimana-mana. Guru-guru menularkan ilmu di dunia-maya. Menawar-tawarkan pengetahuan yang beliau bawa. Dan kita yang menangkapnya, kadangkala payah, kadangkala mudah. Dan tetap kepada Allahlah kita menyerahkan diri—ingat, menyerah bukan berarti tidak mau berjuang. Menyerah bukan berarti malas-malasan. Menyerah bukan berarti sekedar nyadong dan berdoa tanpa ada upaya untuk bekerja--.

Kembali ke fardunya wudhu:

Penting diketahui, bahwasanya fardunya wudhu, itu seperti itu— enam butir yang ditawarkan itu—selain itu tentu bukan fardu. Pendek kata, wudhu itu tidak begitu payah, ringkas kok: niat, membasuh wajah, membasuh tangan, mengusap sebagian kepala, dan membasuh kaki, terakhir, tertib (yakni, urutannya pas) soal doa-doa yang menyeratainya, itu perkara yang lain—bukan fardu. Dan saya menawarkan, atau menjelaskan bahwasanya, itulah fardunya wudhua. Tiga kali atau dua kali, itu perkara lain—bukan fardu. Namun, adakalnya orang mengajarkan wudhu bercampur antara fardu dan sunah, terlebih lagi embel-embel sunah yang banyak, sehingga proses wudhu itu lama. Durasinya lama. Padahal, fardunya itu itu pendek. Ringkas kata, keberadaan itu tidak untuk memberatkan pelaku wudhu, melainkan untuk membersihkan si pelaku wudhu.

Apakah berarti saya menganjurkan: baiknya kalau wudhu itu menggunakan yang fardu saja, supaya tidak memberatkan dan lebih singkat waktunya?

Jawabku, saya menyampaikan tentang fardunya, tentang pokoknya wudhu, bila pun, orang tersebut, lebih dalam terhadap pengetahuan agama-islam, maka untuk menambahkan ‘kebersihan’ serta kekhusyukan dalam berwudhu, maka tentu, ia akan menjalankan hal-hal yang sunah, akan menjalankan tentang sesuatu yang lebih detail, syaratnya, ia tentu harus ‘berpengetahuan’ yang luas, setidaknya mengetahui.

Lha sekarang bagaimana dengan orang yang telah mengetahui sunah-sunah wudhu, apakah meninggalkan dan mengejerjakan yang fardu saja?

Jawabku, ketika seorang mengerti ‘hukum’ sesuatu yang dikenai hokum, maka orang dengan mudah memilih, apakah dia mau menggunakan fardu, ataukah menambah sunah. Monggo.

Agama itu, berfungsi, paling kuat utamanya adalah untuk individu itu sendiri. Kalau individu itu melakukan apa yang diketahuinya, tentu akan bertambah pengetahuannya. Jika individu itu tidak melakukan apa yang diketahuinya, tentu, bisa jadi, ilmunya ‘hilang’ dalam arti ‘ilmunya’ kabur dalam ‘pengetahuannya’, karena ilmunya tidak dipakai. Bukan berarti hilang sepenuhnya, melainkan ‘ilmunya’ diabaikan, sehingga ‘untuk’ lebih mengenal ilmu-ilmu yang lain tentang agama, berkurang.

Saya pribadi, semakin praktek terhadap ‘apa yang saya ketahui’ digandeng dengan upaya ‘penghafalan’ data, efek terkuatnya bagi saya: tentu saya perlahan-lahan, mulai bahagia dengan ‘keberadaan’ agama, sebab itu memang baik, memang bersih—kalau kita semakin lama, berwudhu. Bersih, bagus, itu untuk siapa? Tentu untuk si pemilik wudhu.

Terlebih lagi, kalau kita telah mengetahui, tentu wudhu bukan perkara yang berat, bukan perkara yagn lama, perkara yang membutuhkan waktu lama, sebab kita mengerti hokum. Dan siapa yang menjadi hakim kita: memangnya dalam kenyataan ada hakim yang nyata tentag praktek nyata? Guru, itu menegur. Guru, itu menyampaikan.

Wudhunya yang benar, katanya.

Wudhunya itu urutan, katanya.

Wudhunya jangan kecipak-kecipuk, katanya.

Namun siapakah yang menjadi hakim tentang peribadahan kita sesungguhnya? Kita sendiri, serta malaikat dan Allah yang maha mengetahui. Begitulah.

Mudahan-mudahan kita termasuk orang-orang yang soleh. Orang-orang yang menjalankan agamanya. mudah-mudahan kita tidak hanya pandai teori, tapi pandai melaksanakan teori yang telah diketahui. Amin.

Belum ada Komentar untuk "Ngaji Mabadi Fikih Juz 1: Fardu Wudhu: Kemudahan Wudhu Bagi Yang Mengetahui Hukum "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel