Nasihat Latihlah Dirimu Sekali Lagi Dengan ‘Berbahasa’—dengan ‘Boso’





Berbahasa atau boso, tetapkanlah menjadi laku perjalananmu, jika engkau kurang ‘mengerti’, belajarlah sekali lagi tentang berbahasa, caranya bukalah kembali kitab-kitab yang beraksara jawa; kitab gondrong, sungguh engkau telah mengetahui bahwa etika jawa, atau manusia jawa, terkenal dengan kelembutan dan tata krama: kamu tahu, arti dari toto kromo, yaitu menata supaya suci, bersih, maka bersihkanlah khususnya buatmu, sungguh ‘keberbahasaan’ itu pada akhirnya kembali kepada dirimu, kembali kepada drajatmu. Semakin engkau menggunakan ‘boso’ maka semakin engkau ‘menjaga’ kesadaranmu atas pengetahuan dan control pengetahuan.

Ringkas kata, ‘boso’ itu bukanlah perkara yang mudah, agak payah, karena ‘harus’ mengontrol tentang perilaku dan pengetahuan; inilah ilmu lelaku, Fik. Caranya, tiada cara yang lebih sempurna kecuali ‘membaca’ kitab gondrong dan mempraktekan berbahasa. Sungguh, berbahasa jawa itu bukanlah perkara yang mudah, ringan, dan gampang, namun optimislah menggunakan hal itu. pertahankanlah menggunakan ‘boso’, kepada siapa? Kepada siapa-pun yang itu adalah orang jawa!

Jika mereka membatah, teguhkan pada hatimu, ‘biarkan mereka membatah, tetaplah engkau menggunakan ‘boso’, sungguh dengan itu, mereka dengan sendirinya akan menjaga ‘jarak’ berbicara denganmu. Bukankah di era informasi, di era gegap-gempita semacam ini; akhlak semakin menurun, oleh karenanya, jagalah aklakmu. Jika orang-orang lain mengumbar dengan bahasa selain boso, tetaplah engkau menggunakan ‘boso’, tujuan utama adalah tentang realitasmu. Tentang kenyataanmu.’

Jika mereka membatah, yakinkan pada dirimu, ‘biarkan mereka membatah, saya berusaha ‘menghormati’ diriku, ilmuku, dan ketakdimanku tentang akhlak yang mulia. Akhlak yang menjaga.’

Sekali pun di media sosial, tetaplah engkau gunakan boso, jika kau berkomunikasi dengan orang-jawa, percayalah dengan etika-jawa, unggah-ungguh orang jawa, yang sungguh sangat lembut. Kenanglah, film-film kerajaan orang-orang jawa, penghormatan kepada rajanya, bahkan tiapan langkah penuh dengan penghormatan. Itulah yang penting kau ingatkan. Jangan tergiur dengan ‘mudahnya’ berkomunikasi, mudahnya ‘interaksi’, sungguh ‘percikan’ kata-kata, adalah penyebab dari kerusakan dan geger tentang persepi, serta berkaitan dengan keterburu-buruan, laksana ‘kehidupan’ adalah serba cepat dan gesit.

Zaman sekarang memang serba cepat dan gesit; jarak menjadi rekat, yang jauh menjadi yang dekat, namun engkau mengetahui, bahwa realitas tetaplah berjalan sebagaimana realitas, realitas adalah sesuatu yang nyata dan benar-benar nyata. zaman sekarang, dalam kajian filsafat, engkau mengetahui, sekarang adalah zamannya hiperrealitas, yakni melampaui realitas. Dan itu memang zamannya.

Kalau engkau tidak menggunakan fasilitas yang mendukung tentang zamannya, maka engkau ‘diklaim’ adalah orang yang terlambat dengan zamannya. Padahal, bersama dengan ‘pendukungan’ zaman, belum tentu semuanya baik—engkau harus pandai-pandai menyaringnya. Saringannya; iman kepada-Nya, Taufik.

Dan terakhir, tetaplah gunakan tentang ‘boso’, jangan malu menggunakan itu: sungguh, tatkala engkau menggunakan itu, untuk menjagamu, menjaga dari ‘bualan kata-kata realitas’: apa itu bualan realitas? Yakni kata-kata yang meluncur dari keluargamu, tetanggamu, seluruh desamu, yang mana realitas itu ada pada cengkramanmu. Setidaknya, dengan mengunakan ‘boso’ maka engkau akan mengohormati tentang dirimu, supaya, jangan terburu-buru, berpengetahuan dan bertata krama.

Jangan tergoda dengan isu-nasional, yang harus berkomunikasi secara nasional, dan menyampaikan sesautu tentang kenasionalan, sungguh, nasional itu jangkauannya luas, luas sekali, sementara yang mengawasimu, belum tentu manusia senasional. Pendeknya, gunakanlah bahasa pada tempatnya. Jika engkau menulis skripsi, tentu menggunakan bahasa nasional ‘kan? jika engkau bertemu dengan orang selain dengan suku-jawa, tentu menggunkan diksi nasional ‘kan? atau engkau bisa saja menjawab dengan ‘nggih’ atau ‘mboten’ atau diksi-diksi ringan dari boso yang itu menyertakan kelembutan etika-jawa.

Etika jawa adalah sarat dengan kelembutan. Tarian jawa adalah tarian tentang kelembutan dan perasaan. Ilmu kanuragan adalah ilmu tentang kelembutan yang bahkan lebih dalam dari sesuatu yang lembut yakni ghoib atau mistik; jawa, identik dengan mistik. Jawa, menaruk kerisnya di belakang. Jawa lenggak-lenggok jaipong, keroncong, sendrat tari, perwayangan, sarat dengan ‘kelembutan’, oleh karenanya, tetaplah menggunakan bahasa ‘boso’.

Ketahuilah, di zaman postmodern, yakni zaman yang sekarang berlaku ini (maraknya tentang hal-hal kemodernen) ditandai dengan: kepentingan individu-individu, menjadi komunitas-komunitas, maka jangan khawatir tatkala di klaim: idealis karena tetap menggunakan bahasa ‘boso’, sungguh, pada dasarnya manusia adalah idealis, yang egois. Buktinya:

setiap manusia tatkala melihat foto bersama, yang diincar utama adalah foto tentang dirinya.

Setiap manusia tatkala ingin mudah, maka berusaha memiliki kendaran-kendaraan pribadi.

Setiap manusia menentukan seleranya masing-masing, bahkan tentang music, lagu, pakaian dst.

Oleh karenanya, tetaplah pertahakankan tentang kebahasaanmu, boso; tujuan utama, tentu untuk dirimu, karena itu berkaitan dengan pengetahuan tentang pengedalian ‘pikiranmu’ terhadap kata-kata yang telah menyusup dalam memori kenanganmu.

Berjuanglah…

Belum ada Komentar untuk " Nasihat Latihlah Dirimu Sekali Lagi Dengan ‘Berbahasa’—dengan ‘Boso’ "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel