Mata Jamaah


Awalnya, kau melangkahkan kaki menuju masjid. Intinya kau gemar salat jamaah di masjid. Lama ke lamaan, kau semakin liar akan permasjidanmu. Tidak hanya masjid sentral kau datangi. Tapi mushola demi muhhola lama-lama kau singgahi. Sehingga, perjalananmu sekarang bagai berkitar-kitar kampung. Matamu yang tenang, dengan sendirinya memandang rumah-rumah kampung. Memandang para pemilik rumah. Matamu memandangi tentang kejadian-kejadian yang tak terduga.

Kau tidak mencari sesuatu, tapi sesuatu itu memang ada untuk dipandangi.

Kau benar-benar memahami makna, kalau pulang maka baiknya tidak pada jalan yang sama. sehingga, ketika kau berangkat dari gang A maka pulang lewat gang B. Wal-hasil, keberadaan tubuhmu, sering dipertanyakan orang-orang. Awalnya memang sederhana.

“Dia itu siapa?”

“Aku tidak tahu.”

Kau tidak banyak kata dalam perjalananmu. Tapi bibirmu senantiasa nyedet kalau bertemu manusia. Raut wajahmu memang gembira. Datar. Tidak sombong: menyenyumi siapa yang dijumpai. Prinsipmu simpel.

“Mereka sama-sama manusia: apa bedanya?”

Ketika sepeda motormu melaju. Maka terpancarlah bagaimana pesonamu. Santai yang serius, tapi ketika berhadapan maka terlihat senyummu. Tepatnya, tersenyum. Perjalanan santai: periang tersebutlah, yang kian kencar menjadi sebuah pertanyaan. Kau memang bergaya modern: tapi tujuanmu adalah masjid.

Intinya, orang-orang masjid perlahan-lahan mulai hapal denganmu.

“Oh... jadi dia ke masjid,” kata yang lain, terharu.

Kau memang karakter kuat sebagai pemimpin, pemimpin yang akrab dengan dunia keislaman. Terlebih lagi, kau adalah bagian dari ngaji.

“Konon, dia sekarang masih kerap mengaji.”

“Benarkah?”

“Dia itu calon Kiai. Lihatlah gayanya, begitu periang dan menyenangkan.”

Sesungguhnya, wira-wiri tubuhmu laksana puisi yang menampar para ulama. Kau memang penyair, sehingga tubuhmu benar-benar laksana puisi. Tubuhmu lebih kental berbicara. Sebabnya, acapkali kau nyeletuk dengan santainya. Kata-katamu simpel, tapi rupanya orang-orang ketika mendengarkan bakal kelabekan terhadap apa yang didengar. Dibuai takjub menjawab pertanyaan. Atau terharu mendengar pertanyaan.

Wira-wiri tersebut benar-benar menampar orang islam yang mengaku kuat-iman, kau uji dengan berlalu lalang tubuhmu. Agak tepat di depan mata orang yang mengaku. Prinsipmu simpel.

“Padamulanya aku tidak tahu bahwa gerak tubuhku laksana puisi. Rupanya, ketika kuaku akulah penyair—maka kuyakin, tubuhku benar-benar laksana puisi.”

Dengan sendirinya, orang-orang yang diaku ulama. yang diaku Kiai oleh orang-orang masyakat sekitar, risih dengan gerak tubuhmu. Apalagi kadang kata-katanya benar-benar menggunakan semi-majas---sindiran yang menyentak tapi juga tidak menyindir.

“Ayolah kita jamaah, aku pun belajar jamaah,” katamu kepada anak kecil. Tapi nadamu agak keras. Supaya orang-orang yang mengaku Kiai telinganya bagai di sambar angin sindirian.

“Jamaah itu tidak wajib ‘kan?”

“Iya,” jawabmu, simpel, “Tapi salat katanya tiangnya agama ‘kan?”

Tiang agama memang menjadi acuanmu berjamaah. Sebenarnya tidak juga: konon, awal-mulanya, kau memang tidak khusuk kalau salat sendirian. Khusuk kalau bersama-sama. terlebih lagi, khusuk saat menjadi imam.

Ketika orang semakin mengertimu maka sudah yakin mereka akan mendekte.

“Dia layak menjadi pemimpin kita.”

Tidak ada daya kecuali Dia yang mendayakan.

“Langkahan tubuhnya adalah perhatian tehadap yang dipimpin.”

Dia telah menakdirkan beginilah karakter jiwa.

“Perlahan-lahan dia semakin liar dengan gayanya. Semakin teguh terhadap karakter pemimpinnya.”

Allahlah menakdirkan jalan cerita.

**

Sekarang, kampungmu, masjid, mushola menjadi ramai adanya. Selalu ditekankan tentang prinsip jamaah— orang-orang telah disuguhi sebuah kalimat klise.

“Rajinlah salat jamaah, kami tidak menuntut rajin ibadah.”

Sebuah klise yang lebih ringan. Agama di sini memang benar-benar ringan bagai angin. Tidak terasa menakutkan dengan ancaman neraka. Seakan-akan negeri akhirat adalah bagai tidak ada: mereka fokus terhadap keduniaan, walau pada dasarnya, mereka kental sekali nuansa keakhiratan.

Maklum: disini telah dibeberkan tentang kamus-kamus islam yang begitu indah. Seperti istilah-istilah—Allah itu maha segalanya, kalau kamu percaya itu, berarti kamu adalah bagiannya, intinya kamu tidak bisa mengaku bahwa kamu Allah. Jikalau kamu mengaku, silahkan untuk diri sendiri: supaya kamu mengerti bagaimana kamu menjadi Allah.

Juga di teguhkan.

“Membaca al-quran bagi orang-orang arab adalah laksana dia berkata-kata. Seperti kita bercakap-cakap sendiri. Oleh karenanya, kita harus mengerti bahasa Al-quran, bahasa arab. supaya kita seperti sedang bercakap-cakap sendiri: apakah hal ini di kira gila?

Sejauh kamu dapati jawaban, maka kamu akan selalu mendengar, hal itu adalah mendapatkan pahala. Tanda-tanda menuju surga. Sebab, kamu berkata-kata dengan bahasa Tuhan.



Dan kamu juga perlu mengetahui, mengapa di gunakan bahasa arab: supaya menyatukan persepsi—bisakah dibayangkan, berapa nama Tuhan dari kalau setiap negara mempunyai istilah untuk tuhan? Tuhan menjadi banyak ‘kan?

Penting diketahui juga, bahwa tujuan islam adalah menjadi satu. Menjadi satu. Apakah kita tidak mau kalau kita bersatu, wahai rakyatku?”

Kau, analisismu memang tajam. Gaya menerangkannya jelas. Jelas sekali. Sehingga orang-orang mendengarnya kadang terharu kadang juga ingin tertawa, tapi juga ingin sedih mendengarnya.

Kata-katamu yang diterima menjadi makna ambigu. Antara tertawa yang menangis. Begitulah yang kerap terjadi. Karena memang penjelasnya kerap menyentak untuk berpikir dan merenung.

“Segalanya memang takdir-Nya, kalau begitu, tak usahlah kalian makan. Maka terimalah takdir Allah. Agaknya simpel, tapi proses ketika kamu lapar itulah yang sulit dimengerti secara nalar kita. Antara takdir dan kehendak manusia.”

Kata-kata semacam itu, kerap keluar dari mulutmu. Orang-orang yang mendengarnya banyak yang menertawakan diri sendiri. Mereka gembira. Tapi entah hatinya.

Sesungguhnya kedisiplinanmu perlahan-lahan mengajak orang-orang alim-ulama untuk lebih eksis terhadap salat jamaah. Kau memang pemberani. Tepatnya, pelajar yang berani.

Kau memang kerap bertanya, tapi pertanyaanmu kerap mengulirkan yang ditanya. Maksudnya, pertanyaanmu adalah sesuatu yang membuat penjawab kelabekan. Karena, kerapnya kau bertanya tentang realitas.

Ya, adalah betapa indah memang kalau indah bertanya non-realitas. Tapi ketika bertanya realitas, apalagi tentang keislaman. Maka setiap guru adalah tertuntut mengerjakan apa yang dikerjakan. Terlebih lagi, gayamu adalah selalu belajar.

Karena memang, secara fakta kau masih belajar.

Sedikit demi sedikit kau meneguhkan orang-orang yang sekitarmu ingin ditambahkan api kecintaan. Ya, kau sangat menyadari bahwa dirimu berkarakter api bagi yang didatangi. Ketika kau ingin belajar, maka orang tersebut begitu berapi dibuatmu. Mungkin secara langsung perapian tersebut tidak terasa. Sayangnya, mereka mulai terbakar panasnya.



Kau mulai mengikat orang-orang menuju ibadah. Lebih mengingatkan. Lebih menekankan keislaman secara nyata. Salat adalah aplikasinya. Kau memang pelajar dan tidak malu mengakui kebodohanmu, termasuk memulai dengan pertanyaanmu. Tapi dari itu, timbullah pemompaan kecintaan.

Wal-hasil, kampungmu, para alim-ulama mulai mengabarkan tentang kealimannya. Mereka menampakan diri. mereka melepas apa itu riya’, apa itu berlebihan—mereka kian menyadari: telah datang kemenangan, berarti ini zaman kemenangan—mereka kian memahami apa itu ahlu sunnah wal-jamaah.

Dan ketika alim-ulama, Kiai berjalan. Para kaumnya, rakyat sekitar, baru dibuai kagum dengan hal tersebut. Ya, para alim-ulam berjalan dengan santainya. Mereka mulai mengabarkan tentang jurus jitu islam, ‘Khutbah terbaik adalah diam’ dan para mata tak bisa menghindar dari keberadaan para Kiai saat melangkahkan kaki. Tak bisa lepas dari desas-desus yang terjadi. Masih desas-desus. Kau tersenyum: ingin mendengar bagaimana esok Para Kiai berbicara tentang umatnya? Kau diam. Masih belajar kepada beliau-beliau.



Di tulis 2014 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk "Mata Jamaah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel