Nasihat Jangan Urusi Atas Nama ‘Umat’, dirimu itu bagian ‘Umat’: Urusilah







Jangan urusi atas nama umat, dirimu itu bagian dari ‘umat’, uruslah dirimu sendiri, sibuklah dengan apa yang menjadi tugasmu, menjadi tanggung-jawabmu: tidakkah engkau mempunyai tanggung jawab individu sehingga engkau ‘sibuk’ mengurusi umat? Memangnya tugasmu adalah mengurusi ‘umat’ sehingga engkau galau atas nama umat?

Ingatlah, pikiranmu ‘tatkala’ sibuk mengatas-namakan ‘umat’ itu tidak dibayar, sementara orang-orang yang memang layak mengurusi ‘umat’ dia itu dibayar. Dia itu mendapatkan upah. Selain itu, ‘pemikiran’ mereka memang layak untuk mengurusi umat. Kenalilah, kalau ‘pemikiranmu’ telah matang untuk ‘umat’, maka pastilah engkau dapat upah dari apa yang kau urusi tersebut. Ini memang bukan soal tentang upahnya, yang pasti, kadar-kualitas dan ada kemaun untuk mengurusi umat.

Kalau kau memang ada kemauan mengurusi umat, harusnya engkau mengikuti lembaga-lembaga yang memang menyandarkan atas-nama umat, bersamaan dengan itu, maka engkau boleh berkata tentang ‘keumatan’—jadi, penting kan kau mengurus dirimu. Setidaknya, kalau engkau ingin sibuk membicarakan umat, maka giringlah tubuhmu, nyemplunglah tentang ‘lembaga’ yang mengatas namakan umat, maka secara otomatis engkau akan mengurusi umat. Umat yang mana? Tentu umat yang kau ditugaskan itu.

Sekarang, saya tanyakan keapadamu: sebenarnya engkau umatnya siapa? Kalau engkau mengaku umatnya kanjeng nabi, maka belajarlah tentang Kanjeng Nabi, belajarlah bagaimana sifat-sifat nabi. Saran saya tidak muluk-muluk, yakni tunaikanlah sifat nabi semampumu, yakni Sidiq, amanat, tablig, fatonah.

Kencangkan keempat tersebut. Jujur adalah kunci utama. Dalam satu hari, sudahkah engkau berbohong? Koreksilah.

Jika kanjeng Nabi itu kelasnya terlalu tinggi, maka kamu sekarang umatnya siapa? Kalau engkau mengaku umatnya Kiai Kampung, ikutilah apa yang diajarkan kiai kampung. Bukankah ulama adalah pewaris para nabi? Jika kiai kampuang itu, adalah orang yang sidiq, amanah, tablig, fatonah, maka ikuti dia. Namun tetap, yang menjadi patokan adalah kanjeng nabi, caranya: bacalah tentang hadist-hadist. Sunguh, semakin engkau membaca, sekali lagi, lebih lama, lebih matang, tentang hadist, maka engkau akan melihat: begitulah sifat-sifat kanjeng nabi.

Begitulah kata-kata yang keluar dari kanjeng nabi

Begitulah keputusan yang keluar dari kanjeng nabi.

Begitulah perilaku yang kanjeng nabi lakukan.

Sudahkah engkau menjalankan yang apa kanjeng nabi kerjakan? Setidaknya, menurut penangkapanmu: kalau engkau tidak tahu, maka hapalkan, kalau sulit menghapalkan, ambillah esensi dari apa yang Kanjeng Nabi kerjakaan.

Urusilah dirimu. Jangan sibuk dengan atas nama ‘umat’: memangnya umatmu siapa kok ‘lagak’ mengurusi umat? Ketahuilah, kalau engkau menjalankan setiap doa-doa yang ditawarkan kanjeng nabi—bukankah engkau mengetahui bahwa apa-apa ada doanya—maka, bisa jadi, engkau menjadi cermin buat orang. Menjadi cermin itu tidak harus lidahmu berkata dan berkoar: ayolah lihat aku. Ayolah pandang aku. Ayolah bercermin padaku. Namun engkau akan memancarkan dan orang-orang akan takjub sendiri melihatmu. Semakin engkau lanyah mengamalkan tentang pengetahuan dari hadist-hadist, secara otomatis, orang yang berpengetahuan hadist, mengenali gerak-gerikmu. Begitu.

Sudah. Jangan urusi atau sibuk memikirkan atas nama ‘umat’, tapi umatkanlah dirimu, kencangkanlah pengetahuan islammu, talilah dirimu dengan tali islam. Tetap jalinlah dengan gurumu. Tetap jalankanlah pengetahuan islammu: jika zaman semakin maju, tidak apa: itu memang zamannya. Dan kamu, harus lebih ‘maju’ artinya, lebih ‘cepat’ untuk menjalankan apa-apa yang ada dalam ilmu islam. maka secara otomatis engkau menjadi bagian dari umat. Sudah, seringkas itu saja: kamu menjadi bagian dari umat.

Umat apa? Umat islam.

Islam apa? Islam ya islam.

Ketahuilah, kalau ilmumu telah ‘matang’ dengan sendirinya, engkau akan digiring menuju pembicaraan tentang atas nama islam: bersabarlah. Untuk itu, rajinlah belajar. Caranya? Banyak membaca. caranya? Banyak menulis. Caranya? Tetap ikatlah dengan gurumu. Dan kau tahu, tatkala engkau mengikatkan diri kepada gurumu dan itu semakin kencang, maka secara otomatis orang akan memandangmu dengan memandang gurumu. Akhir kata, uruslah dirimu sebagai ‘umat’, kokohkan dirimu sebagai ‘umat’, jangan gegabah membicarakan ‘umat’, jika sudah masanya engkau membicarakan ‘umat’, atau dipasrahi mengurusi umat, barulah engkau memikirkan tentang bagaimana umat. Demikian.

Belum ada Komentar untuk "Nasihat Jangan Urusi Atas Nama ‘Umat’, dirimu itu bagian ‘Umat’: Urusilah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel