SUAT BUAT GURU: KETIKA ENGKAU (GURU) DICACI, AKU HANYA DIAM, MENERIMA.






Ketika orang mencibirmu, dan aku mendengar itu, aku hanya mampu terdiam, tidak bisa menjawab, tidak bisa komentar, sekali pun sesungguhnya hatiku tidak menerima. Apalah daya, mereka berkata yang itu menurut anggapan mereka, dan mereka melihat secara realitas tentangmu; mereka mengkritik, mereka menghujat, mereka mengorek tentang sejarahmu, mereka mengorek tentang dirimu; dan aku mengetahui itu, aku mendengar itu: aku hanya terdiam, tidak bisa berkomentar, tidak bisa menyanggah, enggah menyela, enggah berkata apa-apa. Begitulah realitasmu, Pak Guru.

Tapi ketahuilah, semakin aku mendengar engkau dicibir, semakin mendengar engkau dihujat, semakin itu aku ingin mendekat, semakin itu aku ingin berharap; menjumpaimu ‘memecahkan’ relung-relung ‘rindu’ku—rindu yang ganjil, rindu yang entah-berantah. Hanya ‘sekedar’ mendengarmu, sekedar mendengar perkataanmu:

Sungguh! Tidak akan aku debat, tidak akan aku diskusikan.

Tidak akan aku protes, tidak akan aku katakan.

Marilah mengalir kepada suatu tempat yang itu menyejukkan hatiku, menyejukkan pikiranmu, dan kita diajari oleh kitab, di ajari oleh apa-apa yang dikatakan kitab, terlebih lagi, aku memecahkan ‘rindu’ yang menggumpal dalam diriku, menghiburi deraan ‘kenyataan’ yang menugrubku, menghiburi cibiran ‘kenyataan’ yang menghinamu. Kali ini, menghinamu, mencibirmu, kelak, mereka bisa jadi menghinaku, mencibirku, menghardikku, menentangku, memprotesku; segala yang kau terima, bisa jadi, akan saya terima.

Kau telah lihat bagaimana realitasku—yang memang layak dicaci, diejek; kenapa engkau menulis, apa buktinya engkau menulis? Apa hasilnya engkau menulis? Apa yang engkau cari dengan menulis? Sungguh, menulis tidak ada hasilnya, dan kau berada di dunia kenyataan, Fik. Di dunia yang sarat dengan nilai-nilai materialistic, Fik.

Kau tentu boleh menulis, asalkan engkau juga bekerja dan menghasilkan uang. sebenarnya, tidak ada yang salah dengan aktifitasmu ‘menulis’ itu, Fik; asalkan engkau berorientasi dengan uang, Fik. Hidup tanpa adanya uang itu juga payah, Fik.

Sayangnya, engkau baru menyadari bahwa ‘sesungguhnya’ sejauh ini, engkau menulis bukan untuk demi uang: engkau menulis demi ‘jiwamu’, demi pencarian dirimu: kau korek-korek dirimu, kau cari-cari dirimu, sementara realitas tetap saja berjalan maju, dan kau lalai, bahwa realitas membutuhkan alat untuk mempertahankan dunia, yakni dengan alat, uang.

Dari itu, wajarlah engkau diejek, dicaci, dihina; lha keilmuan islammu tidak begitu mapan, Fik, bahkan ceramah pun kamu tidak pernah. Bayangkan, telah lama bermukim di pondok, tapi belum pernah ceramah: bukankah engkau bisa ceramah? Bukankah engkau telah berpengetahuan? Jika engkau melihat ‘kekurangan’ dalam ilmu, sungguh itu sangat wajar, Fik. Sangat wajar.

Setiap manusia itu dibekali dengan ‘kesanggupannya’ masing-masing, dan ditakdirkan untuk ‘pandai’ yang masing-masing. Dan engkau mengetahui ‘kemampuanmu’ engkau mengetahui ‘kekuranganmu’, dan saat orang mencibir, atau menghina, berarti dia mengetahui kekuranganmu.

Oleh karenanya, tetaplah engkau bersyukur, karena mendengar hujatan dari orang-orang, yang itu ‘mengingatkanmu’ tentang kemanusiaanmu, tentang kekuranganmu.

Kau kau tidak bisa marah ‘kan? jika pun kau marah, seberapa sanggup engkau membungkam ‘pemikiran’ orang-orang tentangmu? Jika pun mereka diam, bukan berarti dia diam, Fik.

Jika engkau mendengar gurumu dicaci, dihujat, wajar, Fik. Gurumu itu juga manusia, yang mempunyai titik lemah, yang mempunyai sisi-kekurangan, dan dengan kekurangan tersebut, karena diberitahu, maka akan menyempurnakan kekurangan tersebut; itulah yang harus engkau lakukan juga, Fik. Timbali sesuatu yang menjadikan dirimu merasa ‘kekurangan’, sungguh, ilmu semakin dicari, tidak akan ada habisnya: kenanglah, Kanjeng Nabi, saat al-quran telah sempurna, disitulah detik-detik ending dari kewafatan kanjeng nabi. Tandanya, ilmu itu tidak akan-sempurna sebelum ajal tiba, saat ajal tiba, begitulah ‘kesempurnaan’ ilmu yang dimilikinya.

Jika engkau mendengar gurumu dihujat, dihina, berarti engkau diajarkan untuk ‘sabar’ dan ‘menerima’, bukankah yang terjadi, engkau berusaha menghelak dan menolak, yakni keserakahan ‘kemauanmu’, yang harapanmu, gurumu itu adalah ‘sempurna’; kenanglah, Kanjeng Nabi itu juga dihina dan dihujat lho: tukang syair, tukang sihir, tukang cerita.

Dan ketika orang mencibirmu, menghinamu dan aku yang jadi sasaran pendengar itu, aku hanya terdiam, tenggorakan payah menelan ludah, kerongkonganku kering, dan hatiku bergejolak tidak menerima; bersamaan dengan itu, aku belajar: bagaimana bersikap ‘menerima’ dan ‘damai’, dan selain itu, malah semakin membumbung ‘berharap’ segera berjumpa denganmu, mendengar suaramu, tanpa protes, tanpa helakan, tanpa apa-apa: sekedar menerima. Hanya itu.


2017

Belum ada Komentar untuk "SUAT BUAT GURU: KETIKA ENGKAU (GURU) DICACI, AKU HANYA DIAM, MENERIMA."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel