LASKAR PEMIMPIN





“Apakah kepala desamu adalah orang islam?”

“Iya,”

“Apakah dia sering ke masjid?”

“dia sering ke masjid.”

“Syukurlah. Tapi, apakah dia senantiasa ke masjid.”

“Insyallah ia.”

“Apakah kamu melihatnya?”

“Katanya si begitu. Kata orang-orang begitu. Banyak yang menyaksikan itu.”

“Jadi, kamu tidak bersaksi, begitu?”

Di negara yang mayoritas agama islam. Mestinya harus seperti itu, para pemimpin memberikan teladan yang baik kepada rakyatnya. Tidak harus berjiwa islami tulen. Jangan hanya, bakal menjadi karakter islami, kalau sedang ingin mencalon kepala desa. Berfoto bak islami: berpeci dan berjas yang mentereng.

Aku tidak menginginkan untuk kental dengan nuansa islami. Tidak. Pokoknya, lurah harus rajin ke masjid. Harus rajin ibadah di masjid. Salatnya di masjid. Kalau dia pinter, ya, kemungkinan bakal disuruh menjadi imam. Kalau tidak, menjadi makmum. Karna, syarat menjadi imam tentu harus pandai dalam beragama. Apakah setiap kepala desa pandai dalam beragama? Tidak bukan.

“Kepala desa mesti jalan kaki supaya mengetahui rakyatnya.”

“Wah, jadi pemimpin itu berat, Ya.”

“Memang. Menjadi pemimpin itu berat.”

“Tapi, mengapa harus berjalan kaki, bukankah serang era modern?”

“Ya tadi, supaya mengetahui bagaimana rakyatnya. Kalau capek, minta antar anaknya.”

“Anaknya? Apakah anaknya juga penting untuk jamaah.”

“Alangkah baiknya juga iya. Bukannya anak-anak dari rakyatnya termasuk anak-anaknya?”

“Maksudnya?”

“Menjadi kepala desa itu harus mencintai rakyatnya. Dan anak-anak itu juga termasuk rakyatnya. Tidakkah kamu ingat Rasulallah meninggal menyebutnya apa? Umatku. Umatku. Umatku.”

Kau mengagguk agukan kepala. Tanda sepakat.

“Tapi ‘kan kepala desa tidak semuanya pandai beragama.”

“Memangnya Paman membicarakan pandai beragama?”

“Lha itu buktinya, harus jamaah.”

“Orang jamaah itu tidak harus pandai beragama. Tinggal berangkat saja. intinya, salat jamaah.”

“Memang gunanya salat berjamaah itu apa?”

“Intinya, supaya rukun bersama. Bukannya inti dari jamaah adalah belajar menyelaraskan kebersamaan?”

Kau hanya di buat mantuk-mantuk.

“Lagi, seorang pemimpin itu harus adil kepada rakyatnya. Selalu seperti itu yang rakyat inginkan. Bukannya seperti itu?”

Kau hanya mengaggukan kepala, “Maksudnya?”

“Jamaah tidak hanya sekedar di masjid yang sama.”

“Maksudnya?”

“Intinya tempat ibadah senantiasa kerap di kunjungi. Diupayakan juga jalan kaki.”

“Jalan kaki. Ini era-modern lho, Paman.”

“Aku tahu, tapi itulah cara supaya lebih akrab dengan rakyat. Gerakan tubuh kepala desa adalah puisi yang indah. Selain itu, dia bakal mengerti tentang rakyatnya lebih. Kalau capek, ya minta diantar rakyatnya.”

“Tapi kepala desa tidak pandai beragama.”

“Jamaah tidak harus pandai beragama. Intinya, mau jamaah. Kalau kepala-desa wira-wiri di kampungnya, maka secara otomatis mengetahui bagaimana dengan rakyatnya. Secara otomatis dia perhatian dengan rakyatnya. itulah yang diharapkan paman.”

“Jadi, setiap waktu harus jamaah.”

“Ya... islam itu telah mencapai kemenangan. Era-modern mendukung sekali. Mengapa orang-orang malah tidak sergep jamaahnya? Hayo kenapa?”

“Kurangnya sebuah cermin nyata.”

Aku menganggukan kepala. Teringat tentang orang-orang ahli agama. Yang ndekem saja di rumah. Tidak menjalankan tentang pengetahuannya. Menyimpan saja, mereka bagai orang-orang ‘munafik’ terhadap ilmunya. Mereka sukanya mengemborkan khutbah dengan kata-kata. Tidak dengan tubuhnya. Padahal, mereka juga mengetahui, bahwa teori itu mudah, tapi praktiknya susah.

Mereka senantiasa meninggi-tinggikan tentang teori. Mencari-cari seluk beluk teori. Padahal, teori terus saja berkembang. Tapi gerakan tubuhnya. Laksana cahaya yang mati. Sebenarnya, mereka tahu tentang fungsi agama. Mereka mengerti tentang fungsi salat. Salat adalah tiang agama.

Mereka mengetahui, kebaikan dari salat: adalah menciptkan tentang hubungan saling-menyaling antara manusia. Menimbulkan sebuah interaksi sosial yang tinggi. Mereka mengetahui, sayangnya, mereka selalu menyibukkan diri. Tidak meluangkan waktu sejenak untuk salat bersama. Bisa dibayangkan: shalat itu tidak lama.

Intinya, kalau membicarakan tentang islam. Hampir kebayakan kurang digunakan tentang ‘salat sebagai tiang agama.’ Mereka sukanya bermegah-megahan terhadap acara islami. Bangga sekali dengan hal seperti itu. Kalau ada acara mauludan, acara-acara yang serba islami: mereka berdandan layaknya Kiai. Tapi mengapa tidak menjalankan dirinya salat berjamaah setiap hari.

“Realitas mengatakan bahwa tidak kebanyakan kita salat jamaah, mentok-mentok, magrib dan isya. Menurut paman pemecahannya bagaimana?”

“Orang-orang bekerja, pendidikan, dan lain sebagainya, sebenarnya telah memperhitungkan tentang hal tersebut. Orang-orangnya saja yang males tentang islam, agama layaknya topeng belaka.”

“Waduh, agaknya Paman mulai geram.”

“Bagaimana tidak geram. Islam telah hadir ribuan tahun yang lalu. Sekarang, islam berkembang pesat. Tapi islam sebagai topeng belaka: apakah kamu melihat realita islam sebenarnya?”

“Jadi, yang Paman inginkan?”

“Salat berjamaah. Setiap kepala desa penting untuk salat berjamaah. Dan harus berhijrah, dari tempat ke tempat lain: supaya mengerti bagaimana rakyatnya. Intinya, jamaah.”

“Apakah kepala desa kemana pun akan pergi, tetap harus salat jamaah?”

“Harus.”

“Waw ribet sekali menjadi pemimpin.”

“Memang berat menjadi pemimpin.”

“Alasan apa kepala desa harus jamaah. Sekali pun di tempat lain.”

“Supaya mengerti rakyat.”

“Mengerti rakyat! Bukannya di lain tempat bukanlah rakyatnya?”

“Memangnya mereka pergi mau kemana dan alasan apa?”

“Ya, taruklah pergi ke tempat saudaranya. Ada acara pernikahan, atau kumpulan keluarga.”

“Sejauh pengetahuan paman. Kalau dia sudah terbiasa jamaah, maka akan jamaah.”

“Kalau tidak!”

“Bagai ada yang kurang dengan shalatnya. Kemudian, kalau para kepala desa sedang mengadakan rapat, alangkah baiknya tetap menjalankan salat jamaah bersama-sama. Bisakah dibayangkan, para kepala desa salat bersama, dengan rakyat yang kebetulan desanya di buat tempat rapat?”

“Oh betapa mengharukan...”

“Itulah tujuannya. Rakyat hanya akan dibuat takjub dengan pemerintahan yang taat beragama.”

“Kalau waktu rapat melampaui waktu salat fardu bagaimana?”

“Melampaui...” kataku dengan suara lirih, “Yang namanya melampaui tentu tidak baik.”

Memang orang-orang bakal menduga, orang-orang yang taat salat berjamaah kerap di cap dia ‘alim’. Sunguh bukanlah itu yang kau inginkan. Tapi, bagaimana mengetahui tentang bagaimana dengan rakyatmu. Bukannya seorang pemimpin, tidak hanya berfokus pada agama. Tapi juga masalah yang lainnya. Urusannya bukan sekedar agama, tapi juga pasar, sawah, ladang, dan seterusnya?

“Pemimpin yang dlusupan?”

“Tidak! Karena memang seharusnya begitulah pemimpin.”

Ketika mentari di jantung siang. Tatkala pemimpin yang baik, maka akan berupaya menghentikan rakyatnya dari berkerja. Sejenak untuk salat bersama. Untuk menikmati bahwa dunia bukan sekedar untuk bekerja. Bukannya kalau rakyat sakit, pemimpin ikutan sakit? Itulah semestinya pemimpin. Merasakan apa yang rakyat rasakan. Tidak sekedar mendapati gelar yang ditinggikan, kalau duduk mejeng di depan. kalau berjalan orang-orang menyapa. Akan tetapi, kalau pemimpin itu sangat mencintai rakyatnya, maka dengan sendirinya rakyat akan meninggikan gelarnya, akan menyilahkan duduk di depan, ketika berjalan akan disapa dengan nada-nada yang indah.

“Kalau kelak kamu menjadi pemimpin, anakku, laksanakanlah.”

“Insyallah.”

“Sederhana bukan?”

Kau hanya menunduk menyenyumkan diri.

Ditulis 2014 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk "LASKAR PEMIMPIN "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel