NASIHAT KESADARAN MENULIS
Selasa, 21 Februari 2017
Tambah Komentar
Engkau masih terngiang, dan teringat apa yang diluncurkannya olehmu, Fik: apakah kau sadar tatkala menulis? Jawabmu, sadar. Dan saat dia bercerita tentang Ibnu Arabi, tentang kesadarannya, tentang kepenulisanmu, kau tergoyah dengan apa yang kau gelontarkan, sejak saat itu, kau mematai ulang apa-apa yang kau tuliskan melalui jari-jarimu, dan kau belum mampu menjawab secara detail tentang apa yang menimpamu.
Engkau lalai menyampaikan kepadanya, bahwa engkau pernah bermimpi didatangi gurumu, lalu gurumu merasuki jasadmu dan kau menulis dengan lancarnya—merantaikan kata-kata dan sarat dengan jalinan kata; dan dalam prose situ, tatkala kau ditanyakan, apakah engkau menyadari apa yang kau tulis? Jawabnya, kau sadar, dan engkau mampu menjelaskan dan menguraikan, namun, jika suatu saat engkau ditanyakan tentang apa yang ‘pernah’ engkau tulis, sungguh ‘akalmu’ tidak akan sanggup menyatakan apa yang pernah engkau tulis, karena memang dalam menulis engkau tidak ‘sebenar-benarnya’ sadar.
Dan tahukah kamu, fik, mengapa beliau bertanya seperti itu? jawabnya, karena tatkala membaca tulisanmu, beliau mendapatkan sesuatu yang itu bukan dari dirimu, bukan asli kedirianmu, namun ada jiwa yang bertengger dalam pemikiranmu, dan dia tidak begitu tahu, siapa sosok yang ‘merasuki’ pola pikirmu? Karena sejauh itu, engkau juga menyembunyikan gurumu, engkau idam-idamkan gurumu di dalam hatimu, kau kenang-kenangkan gurumu di dalam kenanganmu.
Sekarang, engkau telah menyadari benar, adakalah engkau menulis yang itu sarat dengan kesadaran rasiomu, dan selanjutnya, engkau menulis yang itu bukan pada sarat rasionmu, oleh karenanya, kadangkala engkau harus membaca ulang apa yang ‘pernah’ tercurahkan pada tulisanmu, apa yang pernah menjadi rangkaian kata-katamu.
Ingatlah, kau meminta kepadaku, deretan nasihat, yang kau berharap, mendapatkan itu layaknya buku ayyuhal walladnya Imam Ghazali, kataku, hanya menggiyakan saja, namun tidak ada bukti, kecuali lewat jari-jemarimu. Ketahuilah, kau bukanlah murinya imam ghazali, Fik. Kau adalah muridku. Kapasitasmu, lingkunganmu, berbeda dengan imam ghozali, Fik; perjalanan waktumu, dan durasi keilmuanmu, berbeda dengan murinya imam Ghazali, Fik. Kau adalah muridku, dan tentu aku adalah doktermu, lebih lagi, aku paham benar dengan penyakitmu: bagaimana mungkin aku menyembuhkan lukamu yang itu menurut nafsumu? Aku mengobatimu menurut apa yang kau dera, fik. Ingat, aku mengobatimu menurut kesakitanmu.
Sekarang, kau boleh kabarkan kepadanya, yang mempertanyakan kesadaranmu tatkala menulis, dengan pertanyaan yang sedikit menggelitik, dan dulu engkau pun pernah bertanya tentang sedikit proses beliau menterjemahkan, dan katanya, dia menghadiahi fatihah berulang-kali kepada si empunya kitab, sekarang, katakanlah kepadanya, fik: Apakah engkau sadar tatkala meterjemahkan? Pikirku, engkau sangat sadar tatkala menterjemahkan, sebab saat saya membaca apa yang engkau terjemahkan, laksana saya dihadapkan dengan sosok si pengarang; rangkaian kata, halus lembut tutur katanya, sarat lanyah berbicara, sangat lanyah berkata-kata.
Dan tatkala melihat wujudmu. Mendengar deratan kata-katamu. Kata-kata yang keluar dari bibirmu, jauh dari apa-apa yang engkau terjemahkan: memangnya, apakah tatkala menterjemahkan engkau sadar diri?
Katakan padaku, apa yang kau maksud dengan ‘sadar’ yang kau lontarkan kepadaku. Jawabku, sekarang,sebagian aku memang sadar dan memahami apa yang kutuliskan, namun selanjutnya, sebagian saya tidak menyadari apa yang saya tuliskan dan karena itu, saya penting sekali lagi untuk membaca apa yang pernah saya tuliskan.
Dan tentu, karena kalimatmu, saya sangat berterima kasih, sebab saya semakin ‘mengetahui’ tentang diriku ini. selain itu kalimat apa yang layak diucapkan kecuali: alhamdulilahirabbil alamin.
2017
Belum ada Komentar untuk "NASIHAT KESADARAN MENULIS"
Posting Komentar