KITAB SAFINATUN NAJAH: RUKUN IMAN: MARI ‘PERCAYA’ LAGI KEPADA RUKUN-IMAN
Jumat, 17 Februari 2017
Tambah Komentar
RUKUN IMAN ITU ENAM, PERTAMA IMAN ALLAH, MALAIKAT-NYA, KITAB-NYA, RASUL-NYA, HARI AKHIR DAN KEPASTIAN KEBAIKAN LAGI KEPASTIAN KEBURUKAN DARI ALLAH TA’ALA.
Begini, yang terakhir ini, redaksinya memang begitu: maksudnya percaya dengan kepastian yang allah berikan, yakni keburukan dan kebaikan itu dari allah ta’la.
Kembali ke rukun iman.
Tawaran saya adalah mengingatkan tentang rukun iman, secara keseluruhan, yang di zaman sekarang ini, kita telah lanyah dan hafal dengan hal tersebut, namun benarkah ‘pemikiran’ kita ‘kokoh’ terhadap keimanan tersebut; dan saya mengembalikan ini kepada individu-individu, bukan kepada kelompok atau organisasi-organisasi keislaman, melainkan: sudahkah individu menerapkan ulang tentang keimanannya?
Sudahkah individu ‘mengingat’ ulang tentang kajian keimanannya?
Kalaulah mengingat ulang tentang kajian keimanannya, maka si individu akan mengkaji ulang tentang rangkaian keimanan tersebut; yakni mengkaji tentang allah, tentang malaikat, tentang kitab, tentang rasul, tentang hari akhir, serta harus menyakini bahwasanya hidup itu telah ditentukan oleh-Nya—dan ini tentu yang dianut oleh madhab imam syafi’i.
Namun, secara keseluruhan keimanan dalam agama islam itu sama saja, umumnya, yang rata itu adalah lima, sementara qodo dan qodar itu kadangkala menjadi ‘polemik’ dalam teology, yang pasti, kita mempercayai kepastian dari allah: baik dan buruk telah ditetapkan oleh-Nya.
Jadi betapa tidak beruntung kalau kita digiringkan pada suatu ketetapan yang itu adalah ketetapan sebagai yang buruk, yang nantinya akan masuk pada neraka—dan kita harus percaya dengan neraka, karena neraka adalah bagian dari iman hari akhir, kalau tidak percaya adanya neraka, berarti menentang atau protes terhadap al-quran; di al-quran itu banyak lho yang membicarakan tentang kenerakaan.
Terlebih lagi, di zaman yang gegap-gempita informasi, kita bisa mengkaji atau membaca tentang banyak hal di internet: lho… jangan salahkan adanya intenet lho, jangan dulu ‘gegabah’ menolak adanya internet: zamannya itu memang sudah begitu, dan kita tidak bisa menghindar dari tawaran zaman yang memang telah menjadi seperti ini:
Orang mencari ilmu lewat internet
Orang membaca lewat internet.
Orang berguru, lewat internet.
Dunia kenyaataan, dialihkan kepada, dunia internet.
Namun, sekalipun maraknya internet, tetap saja, rukun iman ya seperti dahulu kala—seperti tatkala agama islam itu ada, masih seperti itu kok. Sekali pun zamannya maju, rukun iman juga masih seperti itu, dan itu adalah sebuah lingkaran yang tidak bisa dipotong satu-sama lain: kalau percaya allah, maka harus percaya kepada rasol, maka harus percaya dengan adanya malaikat, maka harus percaya adanya kitabnya, harus percaya dengan hari akhir.
Cobalah buka kembali kitab-kitab hadist—zaman sekarang, kalau mau membuka kitab hadist telah banyak di internet; download saja kitab yang mbelarah di internet, kalau kurang puas, maka belilah bentuk kitab asli-- namun, tetap saran saya: jangan lupakan harus adanya guru realitas, guru kenyataan, guru yang nyata, yang benar-benar nyata, sebagai manusia untuk mengomunikasikan pengetahuannya.
Apa saya punya? Tentu, lha saya itu jebulan pondok-pesantren, maka sudah pasti mempunyai guru yang nyata, yang diantaranya merekat dalam diri saya. Di antaranyalah yang mempengaruhi pemikiran saya. Bagaimana pemikiran saya, maka pemikiran saya adalah pemikiran dimana saya bertemu secara realitas kepada guru saya.
Kembali ke rukun iman:
Sudahkah kita beriman atau benar-benar percaya kepada Allah? yang mempunyai langit dan bumi, dan seluruh yang ada di semesta ini: sudahkah kita benar-benar pecaya? Jawabannya, sudah. Namun, dalam penerapannya, tidak segampang menjawab: sudah. Dalam kenyataannya, kita harus mengikat bahwasanya allah itu yang menguasai seluruh semesta, allah itu meliputi segala sesuatu, dan apa-pun telah digariskan oleh-Nya, dan kita harus ‘yakin’ dengan hal tersebut, bahwa apa-apa adalah kuasa-Nya.
Karena kita masih menggunakan rasio alias akal kita, maka kita penting untuk, percaya dengan kitab-Nya, percaya adengan rasul-Nya, pecaya dengan hari akhi akhir, serta ketetapan dari-Nya.
Sekarang, sudahkah kita percaya dengan keimanan tersebut? jawablah dalam hati atau dalam pikiranmu masing-masing. Sebab percaya itu gampang.
Bagaimana kita percaya? Katamu.
Jawabku, percaya tinggal percaya.
Memang percaya bagaimana? Katamu.
Jawabku, sejauh ini bagaimana kamu percaya kepada orang?
Begitulah proses percaya, gampang bukan. Percaya tinggal percaya. Sekarang, kalau kita benar-benar percaya, maka kita penting untuk menjalankan apa-apa yang kita percayai. Begitu.
Ringkasnya, jalankanlah pengetahuan islam yang kamu ketahui; dan tetaplah ingat, bahwasanya ada rukun iman. Ingat, ada rukun iman lho. Kamu harus percaya kepada Allah, percaya juga kepada malaikat-Nya, percaya juga kepada Kitab-Nya, percaya juga kepada Rasul-Nya, percaya juga pada hari akhir. Dan percaya juga pada ketetapan-Nya.
Jika kamu bertanya, lantas, bagaimana dengan kenyatanku?
Jawabku, kenyataan ya tetap sebagiamana mestinya. Percaya itu di dalam diri lho.
Akhir kata, kajian saya ini, sebenarnya mengingatkan ulang tentang apa-apa yang kita ketahui khususnya pintu keimanan. Mengingatkan bukan berarti saya yang paling ingat, namun tugas saya mengingatkan. Yang tentu, diri saya pribadi merasa teringatkan dengan pengetahuan yang saya dapatkan, dan mungkin saya lalaikan. Begitu.
Rabbi zidni ilma warzukni fahma. Amin.
Belum ada Komentar untuk "KITAB SAFINATUN NAJAH: RUKUN IMAN: MARI ‘PERCAYA’ LAGI KEPADA RUKUN-IMAN "
Posting Komentar