Nasihat Jika Cinta itu Disandarkan Kepada-Nya, Maka Syahwat Adalah Kebutuhan Biologis Manusia
Selasa, 21 Februari 2017
Tambah Komentar
Jika cinta itu disandarkan kepada-Nya, maka syahwat-berahi adalah kebutuhan biologis manusia; kebutuhan yang itu tidak bisa diumbar dan dibiarkan, ingat, sebatas kebutuhan, oleh karenanya menjalin hubungan atau menikah, harus diketahui bahwa syahwat itu adalah sebagai kebutuhan biologis yang berada pada manusia, artinya, menikah tidak serta merta ukuran seksual, melainkan tetap bertujuan penghambaan kepada-Nya.
Jikalau nafsu-kemanusiaan itu dibiarkan, maka yang terjadi adalah manusia itu sibuk dengan nafsu kemanusiaannya dan lalai dengan penghambaan. Ketahuilah, penghambaan itu terus menerus lho, karena allah itu tetap selalu ada dan mengawasi yang tidak berkehenti, sebab Allah itu Kekal.
Nafsu-nafsu di dalam ‘diri’ manusia itu adalah kewajaran, oleh karenanya penting dicermati tentang tujuan ‘kehidupan’ ini sesungguhnya, penting dipasang baik-baik dalam cangkang-pemikiran, atau dalam hati, bahwa tujuan manusia itu kembali kepada-Nya. Bagaimana pun zamannya, bagaimana pun majunya zaman, tetap saja tujuan manusia itu kembali kepada-Nya—tawaran saya tentu, karena engkau beragama islam, yang harus percaya kepada Allah dan kitab-Nya.
Kalau kau menyangkal, bahwa tujuan manusia itu kembali kepada-Nya, berarti engkau menyangkal tentang kitab-Nya.
Dan selanjutnya, tujuan manusia di bumi itu adalah ibadah kepada-Nya; bersamaan dengan ibadah, atau penghambaan, tentu tidak melalaikan sesuatu tentang keduniaan, hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan, kebutuhan-kebutuhan dunia, di antaranya sandang, pangan, dan papan. Terlebih lagi, manusia itu dibekali dengan nafsu; nafsu itulah yang menjadikan manusia lebih-hidup, kalau manusia tidak mempunyai nafsu, maka manusia itu terasa hampa.
Nafsu itu tentu banyak macamnya, lebih-lebih, kalau kau mengkaji tentang tarikat: maka disana didedelkan tentang bagian-bagian nafsu, tapi saya tidak akan membicarakan tentang tariqot, melainkan secara keumuman. Bahwa kita mempunyai nafsu, dan yang paling ketara dan jelas adalah syahwat berahi, dan itu adalah kebutuhan biologis manusia.
Oleh karenanya, sebelum syahwat itu memuncak, pentinglah disibukkan dengan kajian demi kajian, tujuannya supaya hidupnya mapan, tatkala mapan, barulah menikah; kemapanan itu tidak harus melulu tentang kaya-harta dunia, melainkan setidaknya dirinya telah ‘mapan’ terhadap pekerjaan, atau sesuatu yang merasa ditemukan ‘jiwanya’ untuk bekerja, maka disitulah sebenanrya sudah siap untuk menikah:
Artinya, soal rezeki itu telah ditakdirkan oleh-Nya, dengan syarat tetap juga kita berupaya untuk mencari rezeki. Sekali pun telah ditakdirkan oleh-Nya, bukan berarti kita ongkang-ongkangan dan diam, tidak bekerja dan berharap kaya—bukan.
Kehendak akal, memaksa kita berpikir seperti itu, tapi ternyata kita tidak menghendaki untuk upaya menjadi kaya: itulah prinsip yang salah. Jika kehendak akal menghendaki kaya, maka tubuh pun harus berdaya untuk bekerja dan menjadi kaya.
Kaya secara materi adalah dia cukup untuk memenuhi kehidupannya sendiri, setidaknya itulah yang dikatakan kaya secara materi; namun kaya materi akan terasa kurang, kalau hatinya masih miskin. Kekuatan hati adalah sebagai pengerem dari ‘kepemilikan’ kekayaan materi; sebab, kaya-materi tanpa didasari dengan kaya-hati, yang terjadi masih merasa kurang, kurang dan kurang.
Sebab, dunia, kalau dituruti tidak akan pernah akan ada habisnya.
Dunia kalau dituruti, akan menemukan sesuatu yang baru, yang baru, dan yang baru.
Itulah dorongan nafsu-kemanusiaan, yang kemudian akan luntur bersamaan dengan lunturnya perusian. Sungguh, syahwat-kemanusiaan akan luntur bersamaan dengan ‘kendurnya’ usia-kemanusiaan. Manusia dipaksa, dan harus-menerima, bahwa ia tidak berdaya untuk melakukan sesuatu—begitulah kalau tua telah menimpa. Namun, nafsu tetap saja membajui, nafsu tetap saja mendorong untuk keluar dan berkata-kata, seperti nafsu terkenal, nafsu didengarkan, nafsu ingin dituruti, nafsu atas nama, begitulah ‘pertenggeran’ nafsu-kemanusiaan, yang harus dilatih, ditata, dan terus dijaga; syukur-syukur kalau telah tua, telah tiada nafsu-nafsu kemanusiaan kecuali menerima, dan multak menerima, bahwa apa-apa kembali pada-Nya. Apa-apa telah diseting oleh-Nya.
Dan tatkala muda, inilah masa dimana syahwat-kemanusiaan gencar dan bergejolak, sarannya: tetaplah waspada syahwat-kemanusiaanmu, tetap giringkan pada kebaikan, tetap luruskan pada kebajikan, supaya menjadi bekal di hari tuamu, menjadi bekal pada masa pertemuanmu dengan-Nya, yang pada-Nya engkau kembali.
2017
Belum ada Komentar untuk "Nasihat Jika Cinta itu Disandarkan Kepada-Nya, Maka Syahwat Adalah Kebutuhan Biologis Manusia"
Posting Komentar