NGAJI MABADI FIKIH: NAJIS: Kita Telah Tahu, ‘Kadang’ Melalaikan ‘Pengetahuan’ Yang Ditahu







Hari ini, zaman ini, apakah kita tidak tahu tentang kenajisan? Atau, sesuatu tentang najis? Saya pikir bukan itu masalah yang mendera pada diri kita di zaman sekarang ini; yakni membutuhkannya pengetahuan tentang najis. Jika dulu orang-orang diajari ‘agama’ supaya ‘tahu’ tentang agama, tapi sekarang, orang telah banyak mengetahui tentang agama, tapi kurang ‘menjalankan’ pengetahuannya. Banyak orang yang tahu tentang najis, tentang mensucikannya najis: tapi ya, dengan sengaja, mereka ‘melanggar’ yang diketahuinya. Bukankah begitu?

Bukankah kita sering melanggar apa yang telah kita ketahui, seakan-akan kita kalah dalam godaan, seakan-akan kita didorong untuk melakukan ‘pelanggaran’, padahal kita telah ‘mengetahui’ bahwasanya itu dilarang: masih juga, diterjang. Masih juga, dilakukan. Padahal, sudah sangat jelas, bahwa itu salah, masih juga kita melakukan kesalahan. Hehe masyallah… mudah-mudahan, setelah mengaji ini, kita menjadi sadar ini, guna menjalankan pengetahuan yang telah kita miliki; mengonfirmasi pengetahuan yang kita miliki, caranya, terus dengan belajar, belajar, dan belajar. caranya: wah, belajar di era post-modern ini—ini bahasa filsafat: yakni, suatu masa dimana, sebab terjadinya zaman modern, maka melahirkan aliran baru yakni postmodern—sangat beragam. Guru menjalin dimana. Guru bergentayangan dimana-mana. Namun, saran saya, tetaplah ikuti guru yang ada di kampungmu (maksudnya, yang ada disekitarmu) dengan begitu, akan tetap ‘fokus’ pada keilmuan yang ditawarkan gurumu.

Kembali ke kitab:

Apa itu najis

Najis itu darah, nanah, muntah—utah-utahan atau barang yang diutahkan—, arak, anjing, babi, susu hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, sesuatu yang keluar dari jalan-dua (kecuali mani, karena mani itu suci), bangkai, rambutnya (bulunya) bangkai, dan tulang bangkai (kecuali mayitnya manusia, ikan laut, dan belalang).

Kita telah mengetahui najis seperti itu: setiap keluar darah, maka najis. Setiap keluar nanah, maka najis. Setiap muntah atau utahannya, itu juga najis. Arak itu juga najis. Namanya sudah diklaim najis, apalagi memegangnya, sudah tentu, najis. Apalagi meminumnya, itu sudah haram. Anjing juga najis. Dan sekarang banyak orang muslim ‘memelihara’ anjing, padahal mereka tahu bahwasanya anjing itu ‘najis’; sekali pun berguna untuk mengawasi rumahnya, atau menjaga rumahnya, yang pasti anjing itu, najis. Lantas, bagaimana dengan pak polisi: pak polisi telah mengetahui, apalagi pak polisi yang islam, sudah tahu bahwasanya anjing itu najis, jika dia dipaksa untuk mengurusi anjing ‘maksudnya’ harus mengejar-ngejar ditemani anjing, kalau menyentuhnya, berarti terkena najis. Yang pasti, kalau terkena najid, tentu dikenai najis.

Lantas bagaimana kalau memelihara anjing, babi? Jawabannya, kalau kena ‘anjingnya’ atau ‘babinya’ tentu dikenai najis.

Mudah-mudahan kita bekerja di tempat kerja yang baik, yang terhindar dari hal-hal yang berkenajisan. Mudah-mudahan kita bekerja pada takaran nilai-nilai yang dihalalkan oleh allah, yakni yang direstui sesuai dengan hokum yang ditetapkan allah.

Selanjutnya, sesuatu yang keluar dari jalan dua; sebenarnya tidak telah tahu, maksud dari jalan dua, yakni dubur dan alat kelamin, dan kita mengetahui, bahwa itu adalah najis. Sudah, jangan diribetkan tentang hal ini: bukankah telah mengetahui bahwa setiap yang keluar dari jalan-dua ini adalah najis? Kita sangat mengetahui. Kembali saya ulangi: masalah kita di zaman sekarang ini, bukan tentang ‘tidak-tahunya’ tentang pengetahuan tersebut, melainkan, kita melalaikan apa yang telah kita ketahui, bahkan kita sering ‘menyangkal’ pengetahuan yang menyerap dalam diri kita, atau bahkan kita ‘menolak’ untuk menjalankan pengetahuan yang telah kita tahu, dan malah, kita ‘males’ melakukannya. Mudah-mudahan, dengan mengaji ini, kita teringatkan dan kita berusaha menjalankan ‘pengetahuan’ yang kita tahu; bagi saya, semakin pengetahuan itu dijalankan, maka semakin bertambah pengetahuan yang lain. Kalau tidak dijalankan, maka pengetahuan itu, senantiasa ‘angkrem’ dalam pikiran kita, dan bisa jadi, ‘buyar’ dalam ‘memori’ kenangan kita.

Selanjutnya:

Bagaimana menyucikan dari najis?

Yaitu dibasuh tempatnya najis dengan air yang suci juga menyucikan, sehingga hilang wangi, rupa, dan rasanya najis (kecuali najisnya anjing, babi, dan tulangnya bangkai)


Ada kata kunci dari najis, tiga: wanginya, rupanya, dan rasanya. Bisa jadi, setiap najis itu wangi. Hehe setiap najis itu berupa dan setiap najis itu berasa. Dengan begitu, umat-islam itu ditutut untuk bersih, dan kita sangat akrab dengan hadis kebersihan adalah sebagian dari iman, tapi ya kadang, kita jorok, kadang kita itu kemproh, padahal telah tahu bahwasanya islam itu sangat mengajurkan tentang kemanusiwiaan yang sangat manusiawi. kok bisa? Lha kita dituntut untuk bearoma yang bagus: sebab, kalau ditelisik, maka wangi-wangi najis seperti ini:

Darah itu, baunya anyir.

Nanah, itu baunya busuk.

Utahan, itu baunya campur-aduk.

Arak itu, baunya wangi yang gimana begitu.

Anjing, saya tidak tahu.

Babi, itu baunya menyengat—saya pernah mencium itu, waktu ada babi putih yang keluar dari truk karena truknya mengguling. Baunya, leng-lengan.

Bangkai—tadi saya belum menerangkan tentang bangkai, tapi sebenarnya kita mengerti kan bahwasaya bangkai, rambutnya bangkai, dan tulangnya bangkai itu najis, dan kita mengetahui itu; lagian, siapa yang mau dekat-dekat dengan bangkai, kalau kita normal saja, lha baunya saja sudah tidak karuan. Tapi, andai, ada bangkai di rumah, maka ingatlah:

Bahwa rambut dan tulangnya, bangkai itu adalah najis. Jadi, kalau setelah memegang itu, ya harus membuang najisnya. Caranya ya dibasuh. Biar hilang baunya bangkai. Sebab tanda dari najis itu kata kuncinya:

Bau, rupa, dan rasa.

Bau itu ada hidung.

Rupa itu ada pada mata.

Rasa itu ada pada lidah.

Namun penting diingat, bahwa ikan-asin atau ikan-laut, itu tidak najis lho… karena bisa di makan. Kalau nggak jorok, ya sudah jangan dibasuh, tapi yang penting diketahui: bahwa itu tidak dikenai najis, artinya bukan najis.

Kembali tentang kita dituntut untuk beraroma bagus.

Kalau kita mengerti ‘hukum’ islam, walaupun tentang najis, dan sedikit, pastilah kita akan awas terhadap keadaan, sebab setiap keadaan mempunyai tanda: wangi, rupa, dan rasa. Kalau kita sholat, dan kita mencium keadaan yang nggak enak; tentu, kita akan berpikir dan mencari, bau apa? Bau apa? Namun, kalau kita mencium keadaan yang wangi: tentu, kita juga akan berpikir dan bertanya: wanginya! Wanginya! Wanginya! Atau ‘wangi apa?’ ‘wangi apa?’ ‘Wangi apa?’ kalau kita jeli, maka kita akan bertanya-tanya:

Itu menggunakan parfuma apa ya?

Itu menggunakan wewangian apa ya?

Dari itulah banyak yang ‘menganjurkan’ untuk menggunakan wewangian yang itu lepas dari ‘arak’, dan biasanya arak itu identik dengan alcohol. Dan kadang, kita sibuk mengurusi: wangi-wangian itu, seakan-akan kita adalah seorang ahli hokum, padalah, hokum itu luas lho ya… tapi saran saya, kalau beribadah gunakanlah yang itu bukan alcohol, dibanding geger dengan hal kecil, maka lebih baik menggunakan yang non-alcohol, banyak kok. Itu lebih baik dibanding tidak menggunakan wewangian.

Bagaimana kalau kamu shalat didekatmu baunya apek dan amis? Pastilah akan bertanya-tanya dan mungkin, akan menutupi lubang hidungmu dengan cara, menahan untuk bernapas, karena bernapas mencium bau yang tidak enak. Dengan itulah, islam itu menjaga untuk wangi dan bersih; tujuannya, memuliakan manusia itu sendiri.

Memangnya, kalau kamu wangi saya bisa mencuri wangi yang melekat pada dirimu?

Memangnya, kalau kamu wangi saya bisa tukaran tubuh atau pakaian kepadamu?

Wangi! Itulah wangi dirimu. Dan orang akan memujimu.

Akhirnya, kalau bertanya cara: maka jawabnya, Cuma dibasuh. Di basuh. Tapi itu bukan mensucikan najisnya anjing, babi dan tulang bangkai.

Kembali ke kitab:

Bagaimana cara menyucikan najis anjing dan babi?

Dibasuh pada tempatnya dengan air 7 kali, dan salah satunya menggunakan tanah.


Tujuh kali itu adalah tujuh siraman; 6 siraman dan satu usapan tanah atau debu. Dan kita, sebenarnya telah mengetahui itu, ini adalah mengulang saja, ‘mengonfirmasi’ pengetahuan yang kita miliki.

Bagaimana cara mensucikan tulang bangkai?

Bisa suci kalau di samak.


Saya kurang tahu tentang hal ini, inilah kekurangan saya. Begitu ya, Pada juz dua ini tidak diterangkan, tentang cara menyucikannya, yang diterangkan adalah cara menghindarinya, yakni menggunakan dengan alas. Pendek kata, jangan disentuh oleh tangan. Jangan sampai kena pada tubuh. Kemungkinan, nanti pada juz selanjutnya akan diterangkan. Begitu ya…

Rabbi zidni ilma warzukni fahma. Amin.

Belum ada Komentar untuk " NGAJI MABADI FIKIH: NAJIS: Kita Telah Tahu, ‘Kadang’ Melalaikan ‘Pengetahuan’ Yang Ditahu "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel