Percikan Nasihat Dari Pembacaan Buku Renungan Sufi Syeh Abdul Qadir Jaelani

Percikan Nasihat Dari Pembacaan Buku Renungan Sufi Syeh Abdul Qadir Jaelani - Membaca suatu karya, maka setidaknya adalah mengerti tentang pembuatnya. Aku pernah teringat tentang perkataan yang katanya, “Kalau ingin mengerti Allah, bacalah Quran,” aku juga meneguhkan diri, “Kalau ingin mengerti diriku, bacalah catatanku,” aku gunakan itu kepada Syekh Abdul Qodir Jailani, “Kalau ingin mengerti beliau, bacalah ceramahnya.” Setidanya sesimpel itu.

Aku memang merasakan bahwa buku itu, garis besarnya bukan untuk diriku, tapi untuk orang-orang yang usianya agak tua, dan dia adalah dekat dengan ibadah, lebih lanyah terhadap ibadah, dan setidaknya mempunyai kedudukan dunia. Tapi kali ini, pembacaanku lebih minim dan tidak menelan semua apa yang dikatakan, tapi aku pungut apa-apa yang itu sekiranya menjadi milikku. Yakni, akulah pemuda. Maka disana, beliau pun menyapa tentang para pemuda, termasuk diriku:

"Wahai pemuda! Khalwatmu busuk, najis, tidak tersucikan lagi tak terbersihkan. Lalu apa yang bisa kuperbuat padamu, sementara hatimu tidak cukup suci untuk ditempati tauhid dan keikhlasan."

Begitulah awal aku memerahi bukuku. Aku tersenyum saja. Khalwat adalah pengasingan diri: sementara beberapa waktu ini, aku masih berusaha mengasingkan diriku, maksudnya hatinya. dari itu, aku mulai betah memerahi bukuku. Tenggelam bersama bukuku. Dan quran adalah seakan-akan melintas-lintas dalam diriku. Sementara diriku terkejarkan untuk melanyahkan jamaah. Juga menuliskan cerita. juga ketertarikan membacanya, terus dan terus.

"Wahai pemuda! Kembalilah pada Allah ‘Azza Wa Jalla dengan sepenuh hatimu. Orang yang bertaubat pada Allah adalah orang-orang yang kembali pada-Nya."


Percikan Nasihat Dari Pembacaan Buku Renungan Sufi Syeh Abdul Qadir Jaelani 

Aku memang tidak layak menjawab apa yang dikatakannya. Faktanya, ketika aku membaca, aku diam belaka, aku mengikuti saja apa yang dikatakan apa yang dia terangkan. Sembari membaca batinku mengukur tentang kemanusiaanku, “Aku kembali menurut kemampuanku: berupaya lebih giat jamaah, senantiasa mengkaji quran, belajar, dan belajar, mendekatkan diri pada-Nya yang tunggal.”

"Wahai pemuda! Perbuatanmu tidak memiliki dasar apa pun. Islam tidak sah bagimu. Islam adalah pondasi yang dibangun oleh syahadat (persaksian). Engkau tidak sempurna mengucap, “Tiada tuhan selain Allah.” Engkau hanya berdusta. Di hatimu ada sejumlah tuhan. Ketakutanmu pada sultan-sultanmu dan penguasa tempat tinggalmu adalah tuhan-tuhan bagimu. Sandaranmu pada usaha, laba, kekuatan dan kemampuanmu, pendengaran, dan pukulanmu adalah tuhan-tuhan bagimu. Banyak manusia yang menyandarkan diri pada hal-hal ini dengan segenap hatinya, namun mereka berlagak menyandarkan diri pada al-Haqq ‘Azza wa Jalla. Zikir mereka pada al-Haqq ‘Azza wa Jalla menjadi sebuah tradisi yang terucap di bibir saja, bukan dengan segenap hati, dan ketika mereka disinggung dengan masalah ini, mereka pun langsung berang dan mengatakan, “Bagaimana kami bisa dikatakan begitu. Bukankah kami ini orang muslim?” besok (di Hari Kiamat) akan terungkap segala skandal dan kebobrokan."

Aku terus diam. Mengikuti aliran kata-katanya. Tidak ada penghelakan. Tidak ada protes. Menerima belaka. Sembari tersenyum karena apa-apa yang telah kuperbuat. Dan kubatinkan, “Begitulah kebenarannya.” Semakin aku membacanya, aku dibuai gembira dan kadang tersentak kepayahan. Bagaimana aku tidak bahagia sedangkan Beliau menyapa:

"Wahai pemuda! Mengamalkan Al-Quran akan menuntunmu menuju tempat-Nya. Mengamalkan Sunnah akan menuntunmu pada Rasul, Nabi Muhammad Saw, yang tidak akan pernah pergi dengan hati dan himmah-Nya dari sekeliling hati kaum (saleh). Ia adalah pengharum dan dupa bagi hati-hati mereka. Pemurni nurani-nurani mereka dan penghiasnya. Ia adalah pembuka pintu kedekatan bagi hati mereka. Ia adalah sanggul hati, duta, antara hati dan nurani dengan Tuhan mereka ‘Azza wa Jalla. Setiap langkah hati yang bergerak menuju-Nya, maka ia bertambah gembira lantaran anugerah ini, dan memang sudah menjadi keharusan baginya untuk bersyukur dan betambah ketaatannya. Adapun kegembiraan yang bukan berasal dari perolehan kondisi ini adalah kegilaan. Orang yang bodoh besuka cita mendapatkan dunia, sementara orang yang alim mencelanya. Orang bodoh mempermasalahkan takdir dan menentangnya, sementara orang alim menyetujui dan menerimanya. Sungguh kasihan dirimu! Jangan permasalahkan tadir, apalagi menentangnya, niscaya engkau menerima bulat-bulat segala tindakan (af’al) Allah ‘Azza wa Jalla, dan mengeluarkan hatimu dari makhluk, untuk kemudian melemparkannya pada Tuhan makhluk. Terimalah takdir dengan segenap hati, nurani, dan esensimu."

Aku memang sedang dilanda takjub tentang apa-apa yang ada disekitarku. Seakan-akan orang yang baru saja hidup kembali. Layaknya bayi yang baru menghirup dunia ini—aku teringat, ketika kemarin aku tidur di kamar ibu sendirian. Aku layaknya seorang bayi yang terkurung ingin dilindungi dari nyamuk. Sekali pun orang-orang menganggapku dewasa atau remaja, atau malah ada yang menganggapku tua, tapi faktanya, malam ini, aku kembali tidur di kamar ibu. Sendirian, menuliskan sajak tentang kebayian.

Hal itu semakin terang karena belum lama aku menjadi paman baru. Ketika sore itu aku mendatangi saudariku dan menjenguk keponakan yang baru. Aku katakan:

“Lihatlah, aku meledek untuk diriku. Menertawakan untuk menertawakanku. Dan kamu, wahai, Ahmad Muri, adalah sebagai alat bahwa aku tidak menghibur diriku, tapi aku menghiburmu.”

Suadariku hanya tersenyum mendengar yang terucap dari mulutku.

“Kamu diam. Orang-orang berusaha tersenyum untukmu. Kamu diam: orang-orang ingin melihat sedikit gerakan dari raut wajahmu. Entah itu mulutmu atau apa-apa yang ada wajahmu.”

Aku hanya tersenyum mengenang kejadian sore itu. Terlebih lagi, barusan, aku mendengar, tetanggaku, yang juga mempunyai anak bayi. Dia, ayahnya, mengiburnya, tertawa, juga berkata-kata kepada anaknya. Dan aku tidak mendengar apa yang dikatakan si bayi—yang semakin terang adalah aku mendengar, sang ayah sedang dialog dengan dirinya sendiri. karena si bayi memang belum bisa bicara; belum layak mengeluarkan suara kecuali tangisan untuk didekati para manusia.

"Wahai pemuda! Kulihat engkau kurang mengetahui makrifat tentang Allah ‘Azza wa Jall dan Rasul-Nya, juga kurang mengetahui tentang para wali-Nya, abdal (pengganti) nabi-nabi-Nya, dan khalifah (wakil)-Nya dalam mengurusi manusia."

Aku mengaggukan kepala. Tersenyum dan mengudarkaan pujian kepada rabbi.

"Engkau kosong dari substansi, sangkar tanpa burung, rumah kosong yang rusak, pohon yang telah mengering dan berjatuhan daun-daunnya. Keramaian hati seorang hamba hanya bisa diraih dengan islam, untuk kemudian merealisasikan hakikatnya, yaitu istislam (kepasrahan). Maka, pasrahkanlah dirimu pada Allah sepenuhnya, niscaya nafsu dan orang selainmu akan tunduk kepadamu. Keluarlah dari dirimu dan juga mereka dengan segenap hatimu. berdirilah di hadapan Allah dengan telanjang, tanpa dirimu dan tanpa mereka. Jika Allah berkenan, Dia sendiri yang akan memakaikanmu busana dan mengembalikanmu pada manusia, hingga amr-Nya terimplementasi di dalam dirimu dan mereka atas ridha Rasul Saw. Kemudian berdirilah menanti apa yang Dia perintahkan sambil menyetujui segala hal yang Dia tentukan atasmu. Setiap orang yang melepaskan diri dari segala selain al-Haqq ‘Azza wa Jalla dan berdiri di hadapan-Nya di atas jejak kaki-kaki hati dan nuraninya, maka ia berbicara dengan lisan al-hal (menurut kondisi) sebagaimana ucapan Musa: “Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).”

Aku buka sekali lagi buku tersebut. Aku ingin tuliskan kembali apa yang ingin dia sampaikan. Menulis adalah dua cara untuk pembacaakan, berlipat-lipat untuk lebih memahami maksud dan tujuannya. Terlebih lagi, diriku yang agak bebal terhadap bagaimana menghafal—dan kepada-Nya kuserahkan diriku.

"Wahai pemuda! Janganlah tertipu dengan ketaatanmu dan berbangga hati dengannya. Mintalah selalu pada Allah ‘Azza wa Jalla agar berkenan menerimanya. Hati-hati dan takutlah, jika Dia memindahkanmu pada selainnya. Apa jadinya dirimu jikalau dititahkan pada ketaatanmu, “Jadilah maksiat!” dan pada kemurnianmu, “Jadilah kotoran!” barangsiapa mengenal Allah, maka ia tidak akan terpaku pada sesuatu, apalagi tertipu dengan sesuatu. Ia tidak pernah merasa tentram sebelum ia keluar dari dunia adalam keadaan selamat agamanya serta terpelihara segala sesuatu yang terjalin antara ia dan Allah ‘Azza wa Jalla."

Aku berlindung kepada Allah atas kemanusiaanku: yang hatinya berdesak-desakan, silih berganti mencintai, dan mudah disinggahi gelora cinta melalui keindraan yang nyata. Ya, demikian godaan terberat dariku, yakni kebersan cinta yang kumiliki ketika menangkap sesuatu: seakan-akan mudah sekali jatuh cinta dan cintanya adalah luar biasa mudahnya. Kerap diserang rindu yang mendadak dan mengabukan diriku menerima keinginan tersebut. Dan seluruh hal tersebut aku serahkan pada-Nya yang menguasai seluruhnya.

Kemarin, aku dibuai rindu kepada Ali Haidar. Ketika lumayan surut, sekarang merindukan Pak Muhdi, untuk sekedar tukar kata-kata belaka. Untuk sekedar berbicara tentang kemanusiaanku. Entahlah, angin berhembus untukku sedang diarahkan kemana Ya Allah?

"Wahai pemuda! Tidak ada kebahagiaan mencintai dunia. "

Sungguh aku menyakini itu, sehingga tubuhku benar-benar terlunta dan dikoyak payah menanggapi dunia, karena rupanya diriku juga masih mencintai dunia: faktanya, aku masih mengasihi orang-orang walau hatiku geram terhadap orang-orang. Faktanya, aku menampilkan wajah ceria, walau pada dasarnya hatiku begitu moyak jelek sekali. Ngenes saja, mengapa orang-orang laksana benar-benar mencintai akhirat, padahal mereka mencintai dunia. Itu juga yang kualami, bagaimana aku bisa melepasnya—pada-Nya kuserahkan segala kata.

"Wahai pemuda! Engkau harus tulus ikhlas dalam beramal. Angkatlah pandanganmu dari amalmu dan tendensi mendapat kompensasi dari manusia serta Sang Maha Pencipta. Beramallah demi Allah semata, dan jangan karena nikmat-nikmat-Nya. Jadilah seperti orang-orang yang hanya menginginkan Wajah-Nya. Mintalah terus Wajah-Nya hingga Dia memberimu. Jika Dia telah memberimu hal itu, maka engkau telah memperoleh surga di dunia dan akhirat: surga di dunia, yaitu dengan bisa memandang-Nya sembari menikmati balasan yang dijanjikan-Nya.

Wahai pemuda! Pasarahkanlah dirimu pada takdir, ketentuan, dan qadha-Nya. Serahkanlah apa yang dibeli pada pembeli. Kelak Dia akan memberimu laba."

Demikian..

Belum ada Komentar untuk "Percikan Nasihat Dari Pembacaan Buku Renungan Sufi Syeh Abdul Qadir Jaelani "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel