Kiai Haji Munir
Kamis, 27 September 2018
Tambah Komentar
Hari ini saya berkunjung ke tempat Pak Fat, dia adalah putera dari Kiai Kaji Munir, dan sekarang mengajar juga di MTS dan MA Nurul Iman Sidodadi: disana saya mengambil daftar riwayat hidup dan fotokopy ijazah, tentu saja ada lanjutan obrolan, sebelumnya pun saya telah mengobrol lama—dhopok ngalur ngidul tentang banyak hal, mulai dari keakuan, tentang mimpi, dan bahkan tentang kerpribadian: diantaranya, mengobrol tentang sejarah, sasaran utamanya adalah Kiai Kaji Munir, karena sebelumnya saya membicarakan perihal Mbah Ibnu Qosim, yang mana beliau adalah bersaudara.
Sebelumnya, saya telah membicarakan perihal penglihatan saya terhadap kitabnya Mbah Ibnu Qosim (Mbah Kiai Kaji Ibnu Qosim. Secara fakta beliau dikenal Mbah Benu. Namun karena ala-ala tulisan, maka terkonfirmasi menjadi Mbah Kiai Kaji Ibnu Qosim), yakni kitab beliau yang ditaruk di pondok pesantren Darussalam Wargomulyo. Sepenglihatan bola-mata saya, saya dapati dua bundel kitab, di atasnya ada yang berjudul 5 kitab. Dan yang lainnya, tersusun-susun kitab-kitab yang lain yang kemudian dibundel. Maklum kitab kuning itu ‘tipis’ dan tulisannya kecil-kecil[1]. Namun hal itu dilakukan bertahun-tahun, sebab proses ‘mengaji’ (atau bahkans esuatu yang disebut mengaji itu) bukanlah perkara waktu yang cepat, melainkan berwaktu-waktu.
Lalu ada kitab Hidayatus Salikin, yakni karangan oh saya lupa, yang jelas, kitab ini adalah uraian dari ulama nusantara, malah bahkan kalau kajian tasawuf adalah ulama tasawuf, kayaknya orang- sumateraan; Palembang. Saya lupa ketepatan namanya imam al-ghozali, ah kayaknya begitu. kalian bisa searching sendiri di internet perihal ketepatan kitab ini; dan sejenak saya baca tentang kitab ini. alasan pembacaan dan memegang kitab, karena: saya pernah mendengar dari Mbah Kaji Tumbali yang menceritakan kepada saya beliau mengaji kitab Hidayatus Sholihin oleh Mbah Ibnu Qosim di masjid.
Bersamaan dengan pedahuluan itu, mendadak beliau, Pak Fat, puteranya Mbah Kaji Munir ini, mengambil kitab yang asli punya Mbah Kaji Munir (maksudnya asli adalah kitab ini yang punya adalah Mbah Kiai Kaji Munir), dan di antaranya ada kitab Ihya Ulumuddin.
Kitab-kitab yang dikeluarkan itu, menumpuk di depan saya. Beliau lalu menceritakan bahwa yang intinya Mbah Kiai Kaji Munir itu kalau setiap bulan, saat gajian, membeli kitab. Paling anak-anaknya dibelikan permen. Dan dia memang suka sekali dengan kajian-kajian dan membeli kitab.
Kataku, “Wajarlah karena Mbah Munir itu orang yang mengurusi pendidikan, kepalanya malah.”
Dan kemudian saya diceritakan tentang sejarah Mbah Kiai Kaji Munir. Diceritakan bahwa dahulu kala, Mbah kiai Kaji Munir itu telah mapan secara ekonomi di Bandung, telah menjadi direktur Kayu (apalah namanya, saya lupa) kemudian diminta Mbah Kiai Kaji Ibnu Qosim untuk datang ke Desa Wargomulyo, tentu saja mengurusi keagamaan di kampung sekolahan (sido dadi).
“Jadi,” kataku, “Beliau telah mapan secara materi sebelumnya. Sebagaimana Mbah Benu Qosim.”
Dia mengangguk.
“Tujuanku mengatakan itu adalah menegaskan ulang, bahwa menjadi kiai atau penyampai agama tidak harus sibuk secara materi, namun memberi penegasan secara moral, atau menjadi teladan yang baik,” intinya saya berkata seperti itu. soal redaksi faktanya, tidak sekomplit itu.
Bersamaan dengan itu, maka Pak Fat menceritakan tentang perjuangan Mbah Munir berada di sana. Katanya, di tempatnya dulu, kiai-kiai banyak yang tidak betah. Telah ada lima kiai yang pergi dari tempat tersebut, berbeda dengan di Wargomulyo pusat (yakni sekitaran pasar; yang kesannya memang kiai tidak ada perlawanan. Kiai tidak ada halangan, kecuali menjadi orang yang disuruh konsentrasi pada kekiaian, alasannya karena di desa wargomulyo pusat, dengan dengan aparat pemerintahan, dekat dengan si lurah. yang tujuan utama datang ke wargomulyo adalah untuk haji. Maka tugas si kiai, mbah benu, adalah memberi dukungan secara pengetahuan dan akhlak kepada orang-orang untuk melengkapi pengetahuan yang itu sampai kepada hajinya), namun beliau menghadapi itu dengan tenang dan santai.
Aku katakan, “karena memang dirinya berwatak seperti itu.” kira-kira itulah yang saya katakan. Sebab saya juga mengatakan, “Saat mengamati anak-anaknya, seperti tidak ada masalah, seperti halnya Buk Far dan njenenang. Agaknya Mbah Munir pastilah tidak jauh berbeda seperti itu. sekali pun saya tidak melihatnya secara langsung. Tapi besar kemungkinan bakal seperti itu, sebab anak adalah cerminan dari orangtuanya. Karena anak itu adalah milik orang tuanya,” kira-kira begitulah yang aku sampaikan.
Apalagi berkaitan dengan keislaman. hubungan semacam ini, penting sekali. Kemarin kita melihat ada Mbah Hamid Bustami al-Hafid, beliau masih saudara. Saya harap, dengan lebih mengenal tentang keakuan, maka lebih mengakar dan berpinak-pinak perihal sejarah. Jika faktanya, ketika membuka ulang tentang sejarah, maka bakal berkaitan dengan kebaikan dan keburukan, kepicikan dan kelicikan, pelanggaran dan rekayasa, maka begitulah: namun harapan saya, kita hidup bukan untuk sejarah, namun sejarah untuk melihat potensi kita yang sesungguhnya, menuju masa depan yang lebih-cerlang.
Memang, untuk saat ini, masih penting dikabarkan perihal kesejarahan: karena kasusnya orang hampir luntur terhadap kesejarahan, malah bahkan, generasi sekarang, lalai dengan kesejarahan. Apalagi pada sector keislaman: orang-orang terburu ingin langsung sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad, namun lalai kepada Kiai yang ada di dekatnya, lalai terhadap realitasnya,” kira-kira begitulah yang saya sampaikan, tapi tidak seperti itu ketepatannya. Pembicaraan fakta lebih praktis. Selain itu, saya juga tidak merekam lewat media perekam. Tulisan ini pola perekaman pemikiran. Tentu saja agak subjektif.
Mbah Kaji Kiai Munir adalah guru ngaji, tentunya. Yang kini perjuangan beliau diteruskan kepada puternya, salah satu diantaranya menjadi pengasuh, Kiai Mahbub, dan tentu saja dibantu oleh kerabat-kerabatnya, termasuk Pak Fat ini (semestinya tertulis Ustad Fat atau Kiai Fad. Sayangnya, saya memanggilnya Pak Fat. Dan orang-orang juga sering memanggilnya begitu: alasannya, karena beliau ngajar.). itu dulu yang bisa saya tuliskan.
[1] Tradisi kitab kuning memang kesannya tipis-tipis dan tulisannya kecil-kecil, dan biasanya santri itu mendengarkan dari gurunya sedikit demi sedikit, sebab si guru biasanya membacakan kitab tersebut yang diartikan menuju bahasa jawa.
Awal kitab adalah bahasa arab, lalu diartikan menuju bahasa jawa: itulah pembacaan kiai. Yang kadang kala, si kiai juga menjelaskan lagi. Artinya, kitab itu telah urai oleh si pengurai lalu diuraikan lagi. Sebagai contoh kitab arbain Nawawi, kitab itu diterjemahkan dari bahasa arab menuju bahasa jawa, oleh Mbah Kiai Bisri Mustofa Rembang, lalu Kiai Bisri mustofa memberi penjelasan terhadap hadist tersebut, kemudian si orang yang membacakan itu, member penjelasan lagi menurut teks-yang-telah diuraikan dari Kiai Bisri Mustofa.
Sebelumnya, saya telah membicarakan perihal penglihatan saya terhadap kitabnya Mbah Ibnu Qosim (Mbah Kiai Kaji Ibnu Qosim. Secara fakta beliau dikenal Mbah Benu. Namun karena ala-ala tulisan, maka terkonfirmasi menjadi Mbah Kiai Kaji Ibnu Qosim), yakni kitab beliau yang ditaruk di pondok pesantren Darussalam Wargomulyo. Sepenglihatan bola-mata saya, saya dapati dua bundel kitab, di atasnya ada yang berjudul 5 kitab. Dan yang lainnya, tersusun-susun kitab-kitab yang lain yang kemudian dibundel. Maklum kitab kuning itu ‘tipis’ dan tulisannya kecil-kecil[1]. Namun hal itu dilakukan bertahun-tahun, sebab proses ‘mengaji’ (atau bahkans esuatu yang disebut mengaji itu) bukanlah perkara waktu yang cepat, melainkan berwaktu-waktu.
Lalu ada kitab Hidayatus Salikin, yakni karangan oh saya lupa, yang jelas, kitab ini adalah uraian dari ulama nusantara, malah bahkan kalau kajian tasawuf adalah ulama tasawuf, kayaknya orang- sumateraan; Palembang. Saya lupa ketepatan namanya imam al-ghozali, ah kayaknya begitu. kalian bisa searching sendiri di internet perihal ketepatan kitab ini; dan sejenak saya baca tentang kitab ini. alasan pembacaan dan memegang kitab, karena: saya pernah mendengar dari Mbah Kaji Tumbali yang menceritakan kepada saya beliau mengaji kitab Hidayatus Sholihin oleh Mbah Ibnu Qosim di masjid.
Bersamaan dengan pedahuluan itu, mendadak beliau, Pak Fat, puteranya Mbah Kaji Munir ini, mengambil kitab yang asli punya Mbah Kaji Munir (maksudnya asli adalah kitab ini yang punya adalah Mbah Kiai Kaji Munir), dan di antaranya ada kitab Ihya Ulumuddin.
Kitab-kitab yang dikeluarkan itu, menumpuk di depan saya. Beliau lalu menceritakan bahwa yang intinya Mbah Kiai Kaji Munir itu kalau setiap bulan, saat gajian, membeli kitab. Paling anak-anaknya dibelikan permen. Dan dia memang suka sekali dengan kajian-kajian dan membeli kitab.
Kataku, “Wajarlah karena Mbah Munir itu orang yang mengurusi pendidikan, kepalanya malah.”
Dan kemudian saya diceritakan tentang sejarah Mbah Kiai Kaji Munir. Diceritakan bahwa dahulu kala, Mbah kiai Kaji Munir itu telah mapan secara ekonomi di Bandung, telah menjadi direktur Kayu (apalah namanya, saya lupa) kemudian diminta Mbah Kiai Kaji Ibnu Qosim untuk datang ke Desa Wargomulyo, tentu saja mengurusi keagamaan di kampung sekolahan (sido dadi).
“Jadi,” kataku, “Beliau telah mapan secara materi sebelumnya. Sebagaimana Mbah Benu Qosim.”
Dia mengangguk.
“Tujuanku mengatakan itu adalah menegaskan ulang, bahwa menjadi kiai atau penyampai agama tidak harus sibuk secara materi, namun memberi penegasan secara moral, atau menjadi teladan yang baik,” intinya saya berkata seperti itu. soal redaksi faktanya, tidak sekomplit itu.
Bersamaan dengan itu, maka Pak Fat menceritakan tentang perjuangan Mbah Munir berada di sana. Katanya, di tempatnya dulu, kiai-kiai banyak yang tidak betah. Telah ada lima kiai yang pergi dari tempat tersebut, berbeda dengan di Wargomulyo pusat (yakni sekitaran pasar; yang kesannya memang kiai tidak ada perlawanan. Kiai tidak ada halangan, kecuali menjadi orang yang disuruh konsentrasi pada kekiaian, alasannya karena di desa wargomulyo pusat, dengan dengan aparat pemerintahan, dekat dengan si lurah. yang tujuan utama datang ke wargomulyo adalah untuk haji. Maka tugas si kiai, mbah benu, adalah memberi dukungan secara pengetahuan dan akhlak kepada orang-orang untuk melengkapi pengetahuan yang itu sampai kepada hajinya), namun beliau menghadapi itu dengan tenang dan santai.
Aku katakan, “karena memang dirinya berwatak seperti itu.” kira-kira itulah yang saya katakan. Sebab saya juga mengatakan, “Saat mengamati anak-anaknya, seperti tidak ada masalah, seperti halnya Buk Far dan njenenang. Agaknya Mbah Munir pastilah tidak jauh berbeda seperti itu. sekali pun saya tidak melihatnya secara langsung. Tapi besar kemungkinan bakal seperti itu, sebab anak adalah cerminan dari orangtuanya. Karena anak itu adalah milik orang tuanya,” kira-kira begitulah yang aku sampaikan.
Mbah Kaji Kiai Munir
Selain itu, saya juga berkata, “Tujuan saya membuka-buka sejarah adalah supaya orang mengerti tentang orang-orang sebelumnya. Orang-orang menghormati sebelumnya. Dan tidak melupakan perjuangan orang-orang sebelumnya. Sebab, akhir-akhir ini, manusia, menurut saya, kelalaian akan sejarahnya. Saat saya melihat kitabnya, maka disana disertakan rangkaian sanad kekeluargaan. Yang dengan itu, maksudku, kalau kita kurang tenaga atau kurang sesuatu, maka bisa meminta bantuan kepada sanad-sanad keluarga itu yang lebih mapan.Apalagi berkaitan dengan keislaman. hubungan semacam ini, penting sekali. Kemarin kita melihat ada Mbah Hamid Bustami al-Hafid, beliau masih saudara. Saya harap, dengan lebih mengenal tentang keakuan, maka lebih mengakar dan berpinak-pinak perihal sejarah. Jika faktanya, ketika membuka ulang tentang sejarah, maka bakal berkaitan dengan kebaikan dan keburukan, kepicikan dan kelicikan, pelanggaran dan rekayasa, maka begitulah: namun harapan saya, kita hidup bukan untuk sejarah, namun sejarah untuk melihat potensi kita yang sesungguhnya, menuju masa depan yang lebih-cerlang.
Memang, untuk saat ini, masih penting dikabarkan perihal kesejarahan: karena kasusnya orang hampir luntur terhadap kesejarahan, malah bahkan, generasi sekarang, lalai dengan kesejarahan. Apalagi pada sector keislaman: orang-orang terburu ingin langsung sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad, namun lalai kepada Kiai yang ada di dekatnya, lalai terhadap realitasnya,” kira-kira begitulah yang saya sampaikan, tapi tidak seperti itu ketepatannya. Pembicaraan fakta lebih praktis. Selain itu, saya juga tidak merekam lewat media perekam. Tulisan ini pola perekaman pemikiran. Tentu saja agak subjektif.
Mbah Kaji Kiai Munir adalah guru ngaji, tentunya. Yang kini perjuangan beliau diteruskan kepada puternya, salah satu diantaranya menjadi pengasuh, Kiai Mahbub, dan tentu saja dibantu oleh kerabat-kerabatnya, termasuk Pak Fat ini (semestinya tertulis Ustad Fat atau Kiai Fad. Sayangnya, saya memanggilnya Pak Fat. Dan orang-orang juga sering memanggilnya begitu: alasannya, karena beliau ngajar.). itu dulu yang bisa saya tuliskan.
[1] Tradisi kitab kuning memang kesannya tipis-tipis dan tulisannya kecil-kecil, dan biasanya santri itu mendengarkan dari gurunya sedikit demi sedikit, sebab si guru biasanya membacakan kitab tersebut yang diartikan menuju bahasa jawa.
Awal kitab adalah bahasa arab, lalu diartikan menuju bahasa jawa: itulah pembacaan kiai. Yang kadang kala, si kiai juga menjelaskan lagi. Artinya, kitab itu telah urai oleh si pengurai lalu diuraikan lagi. Sebagai contoh kitab arbain Nawawi, kitab itu diterjemahkan dari bahasa arab menuju bahasa jawa, oleh Mbah Kiai Bisri Mustofa Rembang, lalu Kiai Bisri mustofa memberi penjelasan terhadap hadist tersebut, kemudian si orang yang membacakan itu, member penjelasan lagi menurut teks-yang-telah diuraikan dari Kiai Bisri Mustofa.
Belum ada Komentar untuk "Kiai Haji Munir"
Posting Komentar