Yang Seni Yang Islami dan Konon Mereka itu Teman
Rabu, 10 Oktober 2018
Tambah Komentar
Saya akan menceritakan tentang teman-teman (Ya! Ini adalah teman. Teman karena kami adalah satu atap—walau sebenarnya bukan atap, melainkan satu gedung—di Mahad Al-Jamiah) yang akan bermain Seni Teater, atau Seni Drama yang dipertontontonkan bagi kalangan Mahad Al-Jamiah.
Ini adalah foto (bukti) dimana mereka akan pentas bermain di acara muhadoroh di Mahad Al-Jamiah UIN Bandar Lampung. Perlu saya kabarkan, bahwa Mahad al-Jamiah itu adalah semacam asrama, semacam pondok pesantren, yang kegiatannya menyerupai pondok-pondok sebagaimana umumnya: mengaji juga ada, makan bareng juga ada, latihan bahasa ada, latihan pidato ada, latihan ekspresi juga ada, gudigen (penyakit kulit, ada), dilalah waktu generasi saya—agaknya hal ini ada pada generasiku—ada yang namanya kena tomket. Terkena Tomket ini hampir menyeluruh di asrama generasi kami. (Lho... membicarakan tentang seni islami, kok sampai tomket? Jawabku, saya berusaha menyampaikan secara komplet. Hehe) Efek utama dari tomket adalah bercak yang ada di wajah dan melempuh, layaknya kena panas. Nah, mereka yang tampil seni itu pun terkena tomket juga, walau pun mungkin pas tampil tidak terkena tomket.
Mereka itu statusnya mahasiswa dan juga orang yang tinggal di Mahad al-jamiah, itu dulu. Sekarang, sebagian dari mereka ada yang lulus, dan sebagian yang lain (Saat ini dituliskan) belum lulus, dan konon mereka itu temanan.
Teman karena satu asrama. Teman karena satu atap. Teman karena bertemu dan bicara. Teman karena semacam bertemu yang tidak disengaja. Teman karena kami terbiasa teman. Begitulah semestinya jalinan kehidupan yang di maksud dengan teman.
Mereka konon adalah teman. Teman karena terbiasa ketemu. Terbiasa menjalani hidup bersama. Menjalani hidup bersama sekurang-kurangnya ada pembicaraan, ada obrolan, dan mengetahui tentang watak dan sifatnya masing-masing. Sekali pun sifatnya tidak sepenuhnya diketahui karena ‘pengetahuan’ mereka di kala itu belum seperna dan kurang sibuk untuk membicarakan psikologis individu. Pembicaraan psikologis individu, biasanya berhubungan dengan curhat. Dan curhat itu biasanya terjadi ketika adanya rasa ‘aman’, ‘nyaman’, dan saling terbuka. Ah kok jadi seperti itu.
Mereka itu adalah teman seangkatan di Asrama Mahad Al-Jamiah. Yang sekurang-kurangnya, di dalam otaknya ada ilmu keislaman dan juga sedang kuliah, kuliah yang ada pada status keislaman juga—namanya juga Institute Agama Islam Negeri. Dan sekarang malah menjadi Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Pasti ‘sekurang-kurangnya’ otaknya sarat dengan keislaman.
Yang dimaksud keislaman adalah dilandasi dengan prinsip-prinsip islam. Mempunyai landasan tentang keislaman (dan yang dimaksud islam, tentu saja adanya rukun iman dan rukun islam. Rukun iman adalah iman yang bla.. bla.. bla.. rukun islam adalah rukun yang bla.. bla.. bla..), dan secara realitas mereka juga ‘menautkan’ diri dengan kefaktaan yang terjadi. Yakni adanya seni.
Seni itu bermacam-macam ragamnya. Ada seni gerak, seni wajah, seni tulisan, bahkan seni-seni yang lai (Searching sendirilah perihal seni ini): dan dilalah, foto yang menghiburku (sekurang-kurangnya saya memilih foto ini) adalah tentang seni teater ini atau seni drama, dan saya akan mencoba dengan ukuran seni teater. Artinya untuk lebih mudah saya menulis, karena saya dulu kala, tatkala di Semarang, agak sibuk di ‘dunia’ Teater.
Seni teater, pastilah sebelum penampilan adanya latihan. Begitu juga dengan teman-temanku ini. Mereka latihan. Latihan tentang gerak, latihan urutan, dan latihan teks yang akan diucapkan (walau pada kesempatan itu, kayaknya dulu itu lipsing.). Namun mereka latihan. Mereka latihan ketika malam tiba. Selepas acara ngaji di Asrama.
Asrama itu kan sejenis dengan pondok pesantren, yang ketika malam adanya pengajian; dan yang agak menjadi berbeda dengan pondok-pesantren umumnya di jawa (Sekurang-kurangnya yang saya temui, atau pondok pesantren yang umum di Lampung yang pernah saya temui. Ya! Sekurang-kurangnya saya juga mengunjungi berbagai pondok pesantren yang ada di Lampung) adalah bahwa di sini Pak Yainya, atau pengasuhnya kurang aktif menjadi pengasuh. Dan juga, disini kurang kuat hubungannya dengan pemilik Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung (ini menurut saya sekali orang yang pernah menjadi alumni, atau pernah tinggal di Asrama. Dan saya masih menyikapi bahwa saya itu alumni dan masih ‘merasa’ bebas untuk masuk di Asrama karena saya masih ‘merasa’ menjadi bagian dari Asrama, sebeta pun keadaannya) artinya interaksi ini masih kurang ‘kuat’, terlebih lagi interaksi secara individual dari Pak Kyai kepada santrinya. (Walau pun agaknya setelah era-era saya, atau pada saat eranya saya, mulai adanya interaksi antara santri dengan pengasuh: rumahnya Pak Muhammad Nur, sering menjadi ajang untuk interaksi. Ah sudahlah) dan kembali setelah selesai ngaji, maka mereka latihan untuk pentas acara muhadoroh itu.
Mereka latihan, yakni mengulang-ulang gerakan, menghafalkan aturan-aturan yang dimainkan, dan juga menghafal teks. Selain itu, mereka juga berupaya menjiwai (Gayane menjiwai) tentang peran yang dimainkan. Peran apa yang diperankan. Karena mereka itu akan bersandiwara.
Dunia seni, dunia sandiwara. Hehe mereka berpakaian dan macak yang menipu. dan orang-orang yang tertipu itu kadangkala dan sering akan tertawa dengan pola ketertipuan itu. Mereka (saya juga) tertawa karena ada keganjilan dan keanehan dari apa yang ‘pelakon’ tampilkan itu. Lihatlah penampilan mereka itu, sepersis menampilkan yang menipu dan orang terhibur dengan hal tersebut. Dan saat para penonton merasa terhibur, maka pelakon itu senang dan sukses, karena telah menjadikan para penonton terhibur. Namanya juga hiburan.
Seni itu adalah hiburan. Seni itu sesuatu yang membuat orang lain terhibur. Seni itu akan laku kalau manusia itu butuh hiburan. Kalau manusia itu sudah tidak merasa butuh hiburan, maka seni itu tentu saja tidak terbutuhkan. Ah bahasa ini, terkesan dalam. A ha ha dan manusia itu membutuhkan seni, apalagi di zaman modern ini, zaman yang bertabur hiburan. Maka mau tidak mau orang-orang pun berlomba-lomba untuk ‘memainkan diri menjadi penghibur’. Oalah dunia hiburan.
Mereka adalah para penghibur, di foto itu, penghibur yang entah bagaimana waktu itu keadaan ‘hatinya’: apakah mereka galau habis diputusin pacar? Dan mereka juga pacaran. Apakah mereka galau karena uangnya habis? Atau mereka galau karena punya hutang? Atau galau yang entah masalah apa? Yang jelas, saat pentas berlangsung, mereka seakan melupakan ‘segala’ –seakan-akan—dari apa yang menghampiri dirinya kecuali tentang latihannya, tentang pementasannya.
Setelah pentas usai, tinggal capeknya, tinggal kenangannya. Dan bersamaan itu, saya tulis dan saya bagikan kenangan mereka itu.
Mereka sebagai teman, teman yang ukurannya dari dalam UIN Lampung yang dari UIN itu ada lagi teman yang mengikat. Yakni, teman asrama. Ya! Mereka itu mempunyai teman tidak hanya di Asrama doang: mereka punya teman di kelas, punya teman kos-kosan, punya teman satu jurusan, mempunyai teman satu fakultas, dan dari itu mereka juga mempunyai teman-teman dari masa dulunya: teman SMA/MA nya, teman SMP/MTS nya, teman SD/MI nya. Dan mereka di sini, di UIN ini, menambah lagi temannya. Temannya banyak, namun kalau ditelisiki lebih jauh: berapa jumlah teman secara fakta, boi? 1000 kah? 2000 kah? 3000 kah? Atau hehehe (Jangan tanyakan: apa urusan anda menyanyakan hal tersebut? Jawabku, saya tidak ada urusan, itu temanmu kok. Itu ada di dalam memorimu, dan tentu juga itu urusanmu.)
Dan kini mereka, satu-satuan dari mereka, telah mempunyai teman-teman yang baru, mempunyai relasi-relasi baru, yang sesekali bersama pikirannya, mereka mengenang tentang perjalanan waktunya. Mereka menceritakan perjalanan waktunya. Menceritakan kronologinya: entah itu secara acak-acakan, atau komplit. Dan disini, saya berupaya mengenangkan kembali tentang suatu keadaan di mana mereka masih ‘bermain Teater’ (Ya! Bermain, ngegame fakta) di Mahad Al Jamiah dan saya sebagai salah satu saksinya, yang menuliskan cerita mereka. Hehe
Ini adalah foto (bukti) dimana mereka akan pentas bermain di acara muhadoroh di Mahad Al-Jamiah UIN Bandar Lampung. Perlu saya kabarkan, bahwa Mahad al-Jamiah itu adalah semacam asrama, semacam pondok pesantren, yang kegiatannya menyerupai pondok-pondok sebagaimana umumnya: mengaji juga ada, makan bareng juga ada, latihan bahasa ada, latihan pidato ada, latihan ekspresi juga ada, gudigen (penyakit kulit, ada), dilalah waktu generasi saya—agaknya hal ini ada pada generasiku—ada yang namanya kena tomket. Terkena Tomket ini hampir menyeluruh di asrama generasi kami. (Lho... membicarakan tentang seni islami, kok sampai tomket? Jawabku, saya berusaha menyampaikan secara komplet. Hehe) Efek utama dari tomket adalah bercak yang ada di wajah dan melempuh, layaknya kena panas. Nah, mereka yang tampil seni itu pun terkena tomket juga, walau pun mungkin pas tampil tidak terkena tomket.
Konon mereka itu teman |
Mereka itu statusnya mahasiswa dan juga orang yang tinggal di Mahad al-jamiah, itu dulu. Sekarang, sebagian dari mereka ada yang lulus, dan sebagian yang lain (Saat ini dituliskan) belum lulus, dan konon mereka itu temanan.
Teman karena satu asrama. Teman karena satu atap. Teman karena bertemu dan bicara. Teman karena semacam bertemu yang tidak disengaja. Teman karena kami terbiasa teman. Begitulah semestinya jalinan kehidupan yang di maksud dengan teman.
Mereka konon adalah teman. Teman karena terbiasa ketemu. Terbiasa menjalani hidup bersama. Menjalani hidup bersama sekurang-kurangnya ada pembicaraan, ada obrolan, dan mengetahui tentang watak dan sifatnya masing-masing. Sekali pun sifatnya tidak sepenuhnya diketahui karena ‘pengetahuan’ mereka di kala itu belum seperna dan kurang sibuk untuk membicarakan psikologis individu. Pembicaraan psikologis individu, biasanya berhubungan dengan curhat. Dan curhat itu biasanya terjadi ketika adanya rasa ‘aman’, ‘nyaman’, dan saling terbuka. Ah kok jadi seperti itu.
Mereka itu adalah teman seangkatan di Asrama Mahad Al-Jamiah. Yang sekurang-kurangnya, di dalam otaknya ada ilmu keislaman dan juga sedang kuliah, kuliah yang ada pada status keislaman juga—namanya juga Institute Agama Islam Negeri. Dan sekarang malah menjadi Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Pasti ‘sekurang-kurangnya’ otaknya sarat dengan keislaman.
Yang dimaksud keislaman adalah dilandasi dengan prinsip-prinsip islam. Mempunyai landasan tentang keislaman (dan yang dimaksud islam, tentu saja adanya rukun iman dan rukun islam. Rukun iman adalah iman yang bla.. bla.. bla.. rukun islam adalah rukun yang bla.. bla.. bla..), dan secara realitas mereka juga ‘menautkan’ diri dengan kefaktaan yang terjadi. Yakni adanya seni.
Seni itu bermacam-macam ragamnya. Ada seni gerak, seni wajah, seni tulisan, bahkan seni-seni yang lai (Searching sendirilah perihal seni ini): dan dilalah, foto yang menghiburku (sekurang-kurangnya saya memilih foto ini) adalah tentang seni teater ini atau seni drama, dan saya akan mencoba dengan ukuran seni teater. Artinya untuk lebih mudah saya menulis, karena saya dulu kala, tatkala di Semarang, agak sibuk di ‘dunia’ Teater.
Seni teater, pastilah sebelum penampilan adanya latihan. Begitu juga dengan teman-temanku ini. Mereka latihan. Latihan tentang gerak, latihan urutan, dan latihan teks yang akan diucapkan (walau pada kesempatan itu, kayaknya dulu itu lipsing.). Namun mereka latihan. Mereka latihan ketika malam tiba. Selepas acara ngaji di Asrama.
Asrama itu kan sejenis dengan pondok pesantren, yang ketika malam adanya pengajian; dan yang agak menjadi berbeda dengan pondok-pesantren umumnya di jawa (Sekurang-kurangnya yang saya temui, atau pondok pesantren yang umum di Lampung yang pernah saya temui. Ya! Sekurang-kurangnya saya juga mengunjungi berbagai pondok pesantren yang ada di Lampung) adalah bahwa di sini Pak Yainya, atau pengasuhnya kurang aktif menjadi pengasuh. Dan juga, disini kurang kuat hubungannya dengan pemilik Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung (ini menurut saya sekali orang yang pernah menjadi alumni, atau pernah tinggal di Asrama. Dan saya masih menyikapi bahwa saya itu alumni dan masih ‘merasa’ bebas untuk masuk di Asrama karena saya masih ‘merasa’ menjadi bagian dari Asrama, sebeta pun keadaannya) artinya interaksi ini masih kurang ‘kuat’, terlebih lagi interaksi secara individual dari Pak Kyai kepada santrinya. (Walau pun agaknya setelah era-era saya, atau pada saat eranya saya, mulai adanya interaksi antara santri dengan pengasuh: rumahnya Pak Muhammad Nur, sering menjadi ajang untuk interaksi. Ah sudahlah) dan kembali setelah selesai ngaji, maka mereka latihan untuk pentas acara muhadoroh itu.
Mereka latihan, yakni mengulang-ulang gerakan, menghafalkan aturan-aturan yang dimainkan, dan juga menghafal teks. Selain itu, mereka juga berupaya menjiwai (Gayane menjiwai) tentang peran yang dimainkan. Peran apa yang diperankan. Karena mereka itu akan bersandiwara.
Dunia seni, dunia sandiwara. Hehe mereka berpakaian dan macak yang menipu. dan orang-orang yang tertipu itu kadangkala dan sering akan tertawa dengan pola ketertipuan itu. Mereka (saya juga) tertawa karena ada keganjilan dan keanehan dari apa yang ‘pelakon’ tampilkan itu. Lihatlah penampilan mereka itu, sepersis menampilkan yang menipu dan orang terhibur dengan hal tersebut. Dan saat para penonton merasa terhibur, maka pelakon itu senang dan sukses, karena telah menjadikan para penonton terhibur. Namanya juga hiburan.
Seni itu adalah hiburan. Seni itu sesuatu yang membuat orang lain terhibur. Seni itu akan laku kalau manusia itu butuh hiburan. Kalau manusia itu sudah tidak merasa butuh hiburan, maka seni itu tentu saja tidak terbutuhkan. Ah bahasa ini, terkesan dalam. A ha ha dan manusia itu membutuhkan seni, apalagi di zaman modern ini, zaman yang bertabur hiburan. Maka mau tidak mau orang-orang pun berlomba-lomba untuk ‘memainkan diri menjadi penghibur’. Oalah dunia hiburan.
Mereka adalah para penghibur, di foto itu, penghibur yang entah bagaimana waktu itu keadaan ‘hatinya’: apakah mereka galau habis diputusin pacar? Dan mereka juga pacaran. Apakah mereka galau karena uangnya habis? Atau mereka galau karena punya hutang? Atau galau yang entah masalah apa? Yang jelas, saat pentas berlangsung, mereka seakan melupakan ‘segala’ –seakan-akan—dari apa yang menghampiri dirinya kecuali tentang latihannya, tentang pementasannya.
Setelah pentas usai, tinggal capeknya, tinggal kenangannya. Dan bersamaan itu, saya tulis dan saya bagikan kenangan mereka itu.
Yang Seni Yang Islami dan Konon Mereka itu Teman |
Mereka sebagai teman, teman yang ukurannya dari dalam UIN Lampung yang dari UIN itu ada lagi teman yang mengikat. Yakni, teman asrama. Ya! Mereka itu mempunyai teman tidak hanya di Asrama doang: mereka punya teman di kelas, punya teman kos-kosan, punya teman satu jurusan, mempunyai teman satu fakultas, dan dari itu mereka juga mempunyai teman-teman dari masa dulunya: teman SMA/MA nya, teman SMP/MTS nya, teman SD/MI nya. Dan mereka di sini, di UIN ini, menambah lagi temannya. Temannya banyak, namun kalau ditelisiki lebih jauh: berapa jumlah teman secara fakta, boi? 1000 kah? 2000 kah? 3000 kah? Atau hehehe (Jangan tanyakan: apa urusan anda menyanyakan hal tersebut? Jawabku, saya tidak ada urusan, itu temanmu kok. Itu ada di dalam memorimu, dan tentu juga itu urusanmu.)
Dan kini mereka, satu-satuan dari mereka, telah mempunyai teman-teman yang baru, mempunyai relasi-relasi baru, yang sesekali bersama pikirannya, mereka mengenang tentang perjalanan waktunya. Mereka menceritakan perjalanan waktunya. Menceritakan kronologinya: entah itu secara acak-acakan, atau komplit. Dan disini, saya berupaya mengenangkan kembali tentang suatu keadaan di mana mereka masih ‘bermain Teater’ (Ya! Bermain, ngegame fakta) di Mahad Al Jamiah dan saya sebagai salah satu saksinya, yang menuliskan cerita mereka. Hehe
Belum ada Komentar untuk "Yang Seni Yang Islami dan Konon Mereka itu Teman"
Posting Komentar