Keluarga


Saya mengawali tulisan ini dengan metode fakta yang terjadi bahwa keluarga adalah manusia yang mempunyai ikatan darah. Manusia yang mempunyai ikatan darah. Itulah keluarga dengan makna yang ringkas; dengan makna yang biasa terjadi. Sekurang-kurangnya hubungan kekeluargaan itu berhubungan dengan ikatan keperdarahan. Jangan artikan lebih tentang keperdarahan ini. Sebab dalam sejarah yang terjadi, khususnya di kalangan masyarakat jawa, dulu, manusia menikah itu bukan hanya sekali, melainkan kadang sampai berkali-kali. Atau bisa jadi, mempunyai istri yang itu tidak hanya satu. Si Suami mempunyai beberapa istri.

Di desa wargomulyo, khususnya, banyak sekali rombongan kepersaudaraan. Rombongan saudara demi saudara. Desa Wargomulyo itu, adanya sejak tahun 1930 Masehi, pasti ada bukti otentik tentang keberadaan orang-orang transmigrasi ini (mungkin suatu saat diungkap, kalau tidak, ya sudah. Hidup bukan hanya perkara tentang masa-lalu). dan waktu itu, manusia yang hijrah, biasanya rombongan demi rombongan. Hijrah dari jawa, yang tujuannya bertahan hidup. Tujuannya untuk mempertahankan hidup, atau bahasa sekarangnya, untuk mencari kerja dengan garapan (sawah/gunung) yang lebih luas. Dan mereka hijrah bersama istrinya dan anak-anaknya, sekurang-kurangnya begitu, dan mereka di sebut dengan keluarga.


Keluarga


Keluarga ini termasuk kelompok orang yang didalamnya ada bapak, mamak, anak-anak. Kalau bahasa jawa, ada simbok, biyung, bapak, romo. Anak lanang yang besar, dipanggil Kakang.

Ah sesungguhnya saya hendak mengatakan keluarga. Saya sebenarnya jelas sekali maksud dari keluarga ini. Yang dari bapak dan mamak, jadilah anak-anak. dan ketika anak-anaknya itu membesar, lalu anak-anaknya itu menikah. lalu anaknya itu memanggil, orang tua dari anaknya dengan julukan Simbah Kakung atau Simbah wadon atau simbah wadok, atau sekedar simbah.

Tentu saja, karena zaman itu, dikala tahun kemerdekaan awal, belum adanya Keluarga Berencana (KB), maka manusia ketika bersenggama mengandung; dan si perempuan itu, seringkali mudah sekali mengandung, karena tidak ada upaya untuk pengendalian keberadaan anak (KB ini termasuk upaya pengendalian keturunan). Sebab anaknya banyak, minimal anaknya 5 atau bahkan 7, belum lagi, kalau orang tuanya menikah dua kali, dan dari yang kedua itu, nantinya bertambah lagi keluarganya. Keluarga dari pihak ibu barunya. Itu pun kalau ibu barunya tidak mempunyai anak; adakalanya orang yang menikah itu, mempunyai anak lagi dari pasangan yang kedua. Contohnya Simbah Buyut saya, Kaji Ismail, beliau menikah entah berapa kali, saya kurang tahu pasti.


Sepengetahuan saya (tentu ini sepengetahuan saya. bukan menjadi ukuran), simbah buyut saya setelah mempunyai isteri pertamanya, Mbah Buyut Paerah, dan darinya mempunyai anak empat, yang saya ingat Simbah Maryam (simbah kandungku; suaminya bernama Simbah Kaji Durahman), dan Simbah Cunding (Suaminya bernama Simbah Sirat), lalu Simbah Buyut saya, Kaji Ismail, menikah lagi dengan Simbah Maniseh. dari simbah maniseh mempunyai anak diantaranya (saya tidak hapal semuanya) Simbah Kaji Munawir dan Simbah Kaji Saminem. dan Simbah Kaji Munawir itu masih keluarga saya. Begitulah rangkaian kekeluargaan maksud saya. yang jelas, sebenarnya secara fakta, kita mengetahui mana yang keluarga dan mana yang bukan, hanya saja, karena 'sesuatu hal' rasa kekeluargaan itu diabaikan, atau tepatnya kurang diperurus. Alasannya, karena satuan (Individu) manusia sibuk dengan keluarga barunya masing-masing.


Individu itu sibuk untuk mengumpulkan harta, dan dari harta itu untuk kebutuhan sehari-hari anaknya, yakni sandang, pangan, dan papan. Awalnya begitu, karena kebutuhan hariannya menuntut untuk 'sibuk' mempertahankan diri untuk 'eksistesi' hidup, maka kurang mempertahatikan secara detail tentang kepersaudaraan, kecuali, saudara yang kemudian diikat untuk saling membantu mencukupi 'kebutuhan' hariannya. Mereka saling bantu membantu untuk di sawah; dan mereka saling bantu-membantu untuk kebutuhan keluarganya.


Namun, manusia itu di bekali dengan nafsu atau kehendak. Manusia dibekali nafsu, yang dengan nafsu itu; manusia adakalanya mempunyai sikap iri, dan malah inginnya hidup enak, ongkang-ongkangan dan ngebos. Dan dengan nafsu itu, manusia seringkali terbawa oleh perasaan-perasaan yang tidak menguntungkan, yakni berhuru-hara dengan harta yang dia punya. Macamnya bermain judi, minum-minuman yang membuat hilang kesadaran, dan bahkan bermain perempuan (maksudnya tergoda nafsu berahinya; tergoda oleh 'kemolekan', 'kesemokan', 'kecantikan', dan kegenitan wanita. Dilalahnya, wanita juga diciptakan begitu.) hingga kemudian, manusia itu tergoda oleh dunia, dan akibatnya dunia itu persis menjerat dirinya.

Dan keluarganya yang baik-baik, biasanya telah memperingatkan, kalau tidak bisa, akhirnya dijauhi, sebab keburukan itu mampu mempengaruhi kebaikan. Dan keburukan itu lebih mudah menjalar bila berjumpa dengan kebaikan. Alasannya, karena keburukan adalah upaya kebebasan manusia, dan secara wataknya, manusia ingin bebas, tidak mempunyai aturan, terserah, mana-suka, dan itu muncul karena adanya nafsu sesaat itu. Nafsu sesaat yang menyertai manusia, kalau nafsu itu dituruti maka bergembiralah setan (o La La hehe); sebab dia mempunyai teman, yang itu adalah manusia. Walah kok sampai kesitu, kembali ke: keluarga


keluarga adalah kelompok manusia yang mempunyai ikatan darah, dan itu biasanya terbaca dengan jelas saat anak-anaknya masih kecil. 


Karena dulu, KB belum ada, maka orang itu mempunyai banyak keluarga. sebab sekarang, KB mulai aktif dan berlaku, itulah mengapa kelurga terkesan sedikit. Namun sedikit yang sekarang ini, menjalin komunikasi dengan orang-orang yang terdahulu dan ternyata mempunyai rangkaian keperkeluargaan yang banyak. Terlebih khusus, di desa wargomulyo ini, (saya mengkhususkan, agar lebih mudah saja untuk dibaca. malah kononnya, manusia itu kalau diselidiki banyak kaitannya keperkeluargaan), yang mendominasi di desa sarat dengan ikatan keluarga. Malah bahkan kelompok-kelompok keluarga, yakni Buyut-buyut mereka.


Sekurang-kurangnya, batas keumuman keperkeluargaan di wargomulyo sampai pada garis Buyut, itu yang ramai. Yang dari buyut itu mempunyai anak banyak, lalu anaknya itu masih mempunyai anak banyak. Itulah mengapa di desa wargomulyo, acara demi acara masih terkesan 'gomyok-gomyok', sebab alasannya karena masih ada kekeluargaan. Demikian dulu tentang keluarga.

Belum ada Komentar untuk "Keluarga"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel