Haidar Buchori: Alasan menulis tentang Haidar Buchori
Selasa, 09 Oktober 2018
Tambah Komentar
Haidar Buchori |
Haidar Buchori! Haidar Buchori! Haidar Buchori! Nama itu seringkali menjadi sorotan pemikiranku. Nama yang membuatku sering bertanya-tanya: apa kabar? Bagaimana kabarnya? Sibuk apa? Sibuk apa? Dan mengapa saya seakan ingin mengetahui tentangmu? Mengapa saya harus perhatian denganmu? Mengapa dirimu yang terperhatikan olehku? Bukankah orang yang kalau secara keilmuan (pandai) itu banyak, tapi mengapa referensinya ada padamu? Bukankah orang yang kaya (Kalau saya membutuhkan harta) itu banyak, tapi mengapa saya mengeluh kepadamu? Dan mengapa saya harus mengingat namamu, bekas-bekas perjalanan waktuku kepadamu? Dan mau apa sesungguhnya diriku itu kepadamu, sehingga senantiasa mengajak diriku untuk lebih dekat denganmu? Apa yang kumau darimu? Apa! Apa! Apa!
Haidar Buchori! Haidar Buchori, nama itu seringkali saya cari-cari, mengetahui perkembanganmu, mengetahui tentang kabarmu: dan pikirku, untuk apa semua itu bagi faktaku? Untuk apa semua itu bagi kepentinganku? Dan apa sesungguhnya kepentinganku terhadapmu? Apa! Apa! Apa!
Dengan deretan kata semacam itulah, pada akhiranya saya menulis tentangmu. Yang dengan itu, suatu ketika, kalau saya merindukanmu (atau mengingkan kabar perihal tentangmu, maka saya akan membaca tentangmu, yang itu dari tulisanku) saya akan mencari dirimu pada tulisanku. Tulisan yang teracik dari rajutan jari jemariku. Sebab data-data yang ada, di internet misalnya, menurutku, menurut pencarianku, teramat sedikit tentangmu. Teramat sedikit tentangmu. Maka dengan saya menulis:
Saya bisa menambahi informasi yang itu tentangmu, sekali pun saya juga yang membacanya lagi. Saya bisa menambahi informasi yang itu tentangmu, entah apa-pun isinya. Nyatanya juga, saat saya mencarimu di dunia internet, di dunia maya, saya temukan orang-orang yang agak populer, seperti keluarga besar Mbah Maimun Zubair.
Dengan mengetahui keluarga Mbah Maimun Zubair, disitulah saya mencari informasi tentangmu. Lewat perantara keluarga Mbah Maimun Zubair, disitulah saya mendapatkan kabar tentangmu. Saya mencari lewat Gus-gus itu—ya! Akhirnya saya mengetahui tentang Gus-gus itu. Yang sebelumnya bagi pemikiranku, tidak mengenal perihal itu—namun tujuannya tetap, mencarimu, Pak Haidar. Mencari informasi tentangmu, Pak Haidar.
Sering saya katakan kepada orang-orang (Itu pun jika ada orang banyak yang bertanya), “Sebenarnya bagiku itu tidak ada kepentingan apa-apa terhadap Mbah Maimun Zubair, karena kepentinganku itu adalah Pak Haidar. Dilalahnya, Pak Haidar itu muridnya Mbah Maimun. Maka saya dapati tentang Mbah Mun. Tujuan awalnya begini: Pak Haidar, apakah kau merasakan apa yang aku rasakan kepadamu yang itu kepada gurumu? Selain itu, kepentinganku adalah Pak Haidar. Dan saya katakan juga: kepentinganku itu Pak Haidar, nah kalau kepentingannya Pak Haidar itu barulah Mbah Maimun. Bahasa kasarnya, saya muridnya Pak Haidar. Nah, dilalahnya Pak Haidar itu muridnya Mbah Mun. Dan dilalahnya lagi, Mbah Mun itu populer. Karena saya sering menceritakan tentang guru (Yang dimaksud itu Pak Haidar), bagi ‘pemikiran’ umum, Pak Haidar itu asing, maka referensi guru yang mudah adalah Mbah Maimun. Nah, Pak Haidar itu muridnya Mbah Mun. Murid dari sepersekian muridnya Mbah Mun. Karena tujuan saya itu Pak Haidar dan ternyata sulit mendapatkan informasi: maka saya cari informasi yang itu berhubungan dengan Pak Haidar, dan Mbah Mun itu berhubungan juga.”
Selain itu, tentang keluarganya Pak Haidar yang lain, yakni Bapaknya. Mbah Masruri Buchori (nama lengkapnya, KH. Ahmad Masruri Buchori) itu agak terkenal dan ada di dunia maya. Dan saya mengetahui itu juga karena dasarnya saya mengetik nama Haidar Buchori, dari sepersekian data hingga kemudian muncul Mbah Buchori. Maka saat saya merindukan Pak Haidar, saya mendengarkan ceramah Mbah Buchori. Sebab menurut telinga saya, suaranya Mbah Buchori itu mirip dengan Pak Haidar, dibanding dengan suaranya adiknya Pak Haidar, Pak Najib (ya! Saya pernah mendengar suara Pak Najib yang adiknya Pak Haidar itu, pada pengajiannya. Alasan mendengarkan pun karena beliau adiknya Pak Haidar. Jika ini cinta, maka cinta ini pun egois, yang utama ada yang dicintainya, selain itu adalah sampingan efek untuk sesuatu yang dicintainya. Cie…), suara Mbah Buchori itu mirip dengan Pak Haidar. Maka, agaklah terobati rinduku kepada Pak Haidar itu. Ahay…
Dan kembali ke dasar tulisan ini: alasan menulis supaya saya mendapatkan informasi tambahan perihal Pak Haidar, yang seringkali saya dapatkan namun diriku merasa terkurangkan perihal informasi perihal Pak Haidar. Sebabnya, karena Pak Haidar itu bagi pemikiranku, seakan-akan kok ya pengin dipikirkan, kok ya pengin untuk dikenang. Pikirku: ah apa-apaan aku ini! Hehe Demikian.
Belum ada Komentar untuk "Haidar Buchori: Alasan menulis tentang Haidar Buchori"
Posting Komentar