Tentang Eksistensi Dunia Era-posmodern

Tentang Eksistensi Dunia Era-posmodern - Pak Kiai, sudah lama saya tidak melihat postinganmu. Sudah lama saya tidak membaca statusmu. Kenapa engkau tidak mengeluarkan statusmu (Bukan status nikahmu, status kiaimu, staus dosenmu, tapi status teksmu)? Ketahuilah, statusmu adalah fatwa buatku. Statusmu itu, yang berbentuk kata-kata itu, adalah fatwa buatku. Menjadi hukum buat diriku. Menjadi sesuatu yang aku anut. Karena engkau tidak mengeluarkan fatwa, maka aku yang akan menfatwakan diri:

(Fatwa itu hukum. Fatwa itu cenderung pada teks keagamaan. Diski fatwa itu milik agama. Namun kalau fatwa telah menjadi hukum, maka hukum itu berlaku bagi yang dikenai hukum. Saya menyerap hukum dan menerima hukum, maka saya adalah pelaku hukum. Untuk lebih lanjutnya, bacalah, bacalah tentang sejarah fatwa! Mengapa sesuatu dikatakan fatwa! Mengapa harus dikatakan fatwa! Saya tidak mau berbicara itu disini. Kalau mau tahu, baca. Kalau mau paham, baca lebih teliti. Kalau tidak mau tahu, ya sudah, terima saja. Kalau mau protes, proteslah, silahkan. Pilihan yang mudah.)

Tentang Eksistensi Dunia Era-posmodern



Tentang Eksistensi Dunia Era-posmodern

Apakah saya tidak memperhatikan tentang perkembangan dunia, itu mustahil, bapakku pencipta lirik: Anakku, Tahun Millennium, Perdamaian. Kau pikir itu lagu buat siapa? Aku anaknya, tentu, itu lebih khusus nasihat buat anak-anaknya. Aku bagiannya. Aku yang paling mengena (simaklah teks lirik: Abu Ali Haidar. Dalam kajian hermeunetik, bisa jadikan itu maksud sebenarnya untukku. Teks itu untukku. Teks itu milikku): dunia yang kacau, tapi tetap harus diterima. Dunia yang sudah porak-poranda, tapi itu juga harus diterima dan tidak bisa dikatakan porak-poranda. Dunia yang bagaimana hayo? Kamu tentu telah membaca era-posmoderisme ‘kan? Tentang hipperrealitas, simulasi, post-realitas, dromotologi, dekontruksi, era cyber. Begitulah keadaannya. Sebagai muslim baiknya bersikap bagaimana: ya, menerima. Terima saja, dunia yang memang begitu. Itu memang kehendak-Nya. Kita mau bagaimana? Merombak masa-lalu tidak bisa! Sebab, sekarang terjadi, karena itu telah terseting dengan rapi. Seting-Nya itu rapi sekali. cobalah amati lebih jauh, tentang seting-Nya yang indah. Akhirnya kita tetap menerima. Apakah menerima berarti pasrah? Benar! Apakah pasrah berarti menyerah? Benar. Apakah menyerah berarti enggan berjuang? Pendek kata, jadilah muslim sesuai kemampuanmu. Jangan diberat-beratkan. Ingatlah lirik: dimana-mana dosa. Putarlah sekali lagi.

**
Realitas itu kedudukannya tetap menjadi realitas. Hal yang nyata dan benar-benar nyata. Filsuf Postmodern, mengalisis dengan baik, bagaimana realitas di era sekarang ini: istilah yang sekarang lagi tren buatmu, karena kamu baru membaca era-era postmodern. Menarikkan mengkaji era-postmodern. Menarik kan seorang muslim mengkaji filsafat postmodern. Tentu, itu akan membuat kita mengerti dan berkata: “Ternyata dunia memang telah seperti ini. Sekali pun telah seperti ini, kita tetap menjalani realitas yang sebenarnya. Yakni kenyataan-kenyataan, yang saling-menyaling. Dunia sekarang terkesan lucu. serem sekaligus serius. Begitulah. Kita tidak bisa mengubah dunia. Tidak bisa. Memangnya dunia seperti lempung, yang bisa dibuat sesukahati?” oleh karenanya, tetaplah realitas itu kedudukannya tetap menjadi makna realitas: hal yang ada, benar-benar ada.

Apakah akhirat itu adalah hal yang ada dan benar-benar ada?

Jawabnya, “Sebelum kamu mengangkat tema akhirat, maka kamu harus percaya dulu kepada iman kepada Allah. Dan kamu tidak bisa mengejar pertanyaan itu, menjadi tema utama tanpa disertai dengan tema dasar tentang Iman kepada Allah. Sebab, tema utama dalam islam itu ukurannya iman kepada Allah. Kalau sudah percaya kepada Allah, maka dengan mudah akan menjawab pertanyaanmu itu. bahkan, tak usahlah kau bertanya kepadaku, kamu akan memahami itu.”

**
Dunia post-modern, sekarang, jalinan komunikasi era jaringan, era-era transparan, era-era blak-blakan, era setiap makna bertambah-tambah. Namun ketahuilah, bahwasanya keimanan, rasa percaya, itu selalu letaknya pada dada-dada manusia. Perhatikanlah, apa yang terjadi denganmu, kepadaku, bukankah ini suatu tanda, bahwa keyakinan yang dimiliki umat muslim tetap ada. Keyakinan murid kepada guru itu penting. Itu dulu (karena saya juga yakin, bahwa untuk mendapatkan keyakinan tidak mudah dengan berkata: saya yakin. Kita telah mengkaji hermeunetik.) Jadi, Jangan risau dengan post-modern. Jangan galau tentang hal itu. Sadarilah, kamu telah terlahir sudah pada masa-postmodern, kamu termasuk manusia-postmodern. Kita termasuk manusia masa post-modern. Kalau risau berarti wajar, manusiawi. Kalau galau, tentu juga wajar, itu manusiawi.

Kalau kamu bertanya, “Apa yang harus saya lakukan di era seperti ini?”

Jawabku, “Lakukanlah apa yang menjadi tugas yang harus kamu lakukan. Apa tugasmu? Belajar.”

“Apa yang harus dipelajari?”

Jawabku, “Pahamilah, orang-orang sekelas professor pun masih belajar, orang-orang yang kau sebut dengan Kiai pun masih belajar. Petani, pedagang, politisi, dokter, semua itu juga masih belajar. kalau tidak yakin, berikan pertanyaan kunci ini: apakah engkau masih melakukan sesuatu yang disebut belajar?”

Belum ada Komentar untuk "Tentang Eksistensi Dunia Era-posmodern"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel