Latihan




Saat saya menjalani latihan (ya! Latihan) hadroh, pukulan Rebana, Tek Tek Duk Tek, mendadak saya menertawakan diriku sendiri: sesungguhnya apa yang terjadi padaku! Arah mana yang hendak saya tempuh. Kemana sesungguhnya arah saya sesungguhnya? Pikirku, sudah tidak semestinya saya sibuk pada perkara itu, usia semakin menua, kini usiaku menjelang 28 tahun, sementara itu kuliahku belum selesai. Semestinya aku cepat-cepat untuk menyelesaikan kuliah, dan mungkin tenang menjadi masyarakat, menjadi bagian dari manusia dengan segala apa-pun laju-laju dari kemasyarakatan itu. Termasuk latihan Rebana. Atau bahkan latihan-latihan yang lain.



Ya! Sekarang saya juga mulai latihan tentang qiraah lagi. Yang dimaksud latihan qiroaan adalah mendengarkan orang-orang membaca al-quran yang berlagu itu, yang saya pilih adalah Kiai Muamar. Sebenarnya dulu, saya ketika lagi menyukai qiraah, saya sering mendengarkan Kiai Romdhon. Gayanya yang bersemangat, atau suaranya yang tidak kecil menjadikan diriku memilih beliau, sementara Kiai Muamar itu suaranya kecil, tentu saja mengambil dasarnya terlalu tinggi. Namun, ternyata, hal yang umum berlaku di lingkungan ialah tentang Kiai-kiai Muamar, bahkan sangat tidak asing bagi kalangan para pendengar karena sering di dengangkankan tentang Kiai Muamar itu.



Bayangkan, di usia 28 tahun, saya pun masih menulis perkara yang seperti ini. semestinya, menulis yang itu untuk dijual. Menulis yang itu menginfrmasikan kepada khalayak ramai. Pemikiran saya adalah menulis untuk pana jurnal, alasan memilih pana jurnal adalah karena di sana adalah Pak Seno Gumira Ajidarma. Ada apa dengannya? karena dulu, saya suka membaca tulisannya, membaca cerpennya: mungkin sejak saat itu, saya semakin suka berandai-andai. Tipikal cerpen dari Pak Seno, menurut pembacaan saya memang cerita yang melampaui realitas, walau pun tetap juga ada yang menyentuh realitas dan sangat realistis. namun karena temannya saya, Junabun, menyukai itu, saya menumpang membaca perihal Seno Gumira Ajidarma. Dan sejak duduk atau kumpul kepadan teman saya ini, Junabun, perlahan-lahan saya menyukai dunia jurnalistik, atau dunia kepenulisan. Alasannya sederhana, dia menyukai menulis. Mungkin gayaku awalnya adalah mendukung agar beliau menjadi penulis yang benar-benar penulis. Karena tipikal saya adalah menyuprot yang sekaligus menjalankan, maka saya pun menjalani rutinitas kepenulisan.



Perbedaan saya dengan teman saya itu, saya lebih sering mengungkapkan kedirian, sedangkan beliau menangkap fakta-fakta, dan saya mengungkapkan fakta melalui kedirian. Bahasa lainnya, saya lebih cenderung menulis untuk refleksi, terlebih khusus untuk diri saya sendiri yang efeknya menulis puisi. Lama-lama, teman saya itu bertanya tentang tulisan saya, dilalahnya juga dia memberi respon, maksudnya ketika saya mendukung dia untuk menulis di public, di Koran-koran, maka efeknya dia pun mempertanyakan tulisan saya. Sejak saat itu, saya berdaya diri untuk mengirimkan tulisan ke Koran, tapi tidak belajar dari dia, tidak bertanya-tanya kepada teman saya itu, tidak. Diam-diam saya mengirimkan ke Koran. Sesekali. Tentu saja, bukan untuk menjadi keseriusan yang dalam, bukan untuk serius yang sangat bahwa saya menulis: mengirimkan karena saya merasa tertantang oleh dirinya, untuk mengirimkan ke Koran. Dan ternyata, tulisan saya tidak pernah tembus. Puisi-puisi saya tidak pernah terpublikasikan.



Selain itu, pergerakan tubuh saya juga tidak benar-benar mengarah untuk berkumpul kepada penyair-penyair lainnya. Tubuh saya kumpul dengan orang-orang teater atau aktivitas kebudayaan yang ada di TBRS dan itu pun sekelas mahasiswa, alasannya karena saya ikut teorganisasi teater. Organisasi yang belum lama berdiri, orgnaisasi rintisan, yang sering mondar-mondir ke kampus-kampus lain, untuk menyuprot dan mendukung aktivitas mereka; pertunjukan mereka. Yang berpuser pada Taman Budaya Raden Saleh Semarang. Itulah aktivitas saya sebagai seniman anyaran. Seniman yang ikut-ikutan. Waktu itu, saya pun belum gencar-gencarnya menulis, sekali pun saya telah sibuk pada penulisan, namun tetap saja orientasi penulisan adalah orientasi diri, pencerahan diri, pengukapan diri yang paling banter kepada puisi.



Lebih-lebih saya pun tidak pernah belajar secara langsung bagaimana menulis puisi, yang ada otak saya seakan kalau belajar puisi itu menyangkal, sekali pun saya pun mematai tentang teks-teks yang berkaitan dengan puisi, tapi tidak benar-benar untuk mempraktekkan ritual bagaimana menulis puisi: yang ada ialah menulis, menulis dan menulis. Sekedar itu. 



Hingga kemudian, teman saya itu, Junabun ini, ketika menjadi lurah Pondok. nah, disaat itulah aktivitas kepenulisan saya semakin menjadi. tujuanya adalah mempertanyakan kelurahan dia, teman saya itu. bahasa lainnya, teman yang mengoreksi temannya melalui tulisan, dan itu pun tulisan yang sekedar tentang kepenulisan. Tidak lebih. Apa yang saya lihat dan apa yang rasakan (sebagaimana proses menulis puisi) maka saya tuangkan dan publikasikan di dinding pondok pesantren. Dan tulisan itu terus belanjut sampai teman saya itu, Junabun, berhenti menjadi Lurah pondok. Ketika teman saya tidak menjadi Lurah, orientasi menulis saya melemah, tidak mempunyai rasa greget yang dalam. Tidak mempunyai rasa keperdulian yang lebih tinggi. Kecuali sekedaran menulis dan mempertahankan eksistensi keberadaan tulisan yang pernah ada. dan tentu saja, aktivitas saya terus saja berjalan. terus saja berlangsung. 



Dan sekarang usia saya telah mencapai kurang 28 tahun, aktivitas saya seperti mengulang-ulang kejadian yang berlaku: belum menemukan suatu keseriusan terhadap aktivitas kehidupan, belum mampu mempertahankan diriku, belum mampu menemukan sesuatu yang itu adalah keahlian saya kecuali saya menuliskan sesuatu untuk kepentingan saya. Bahkan di saat saya berdaya diri untuk menulis yang itu mendapatkan upah, yakni semacam feature atau histori yang ada pada pana-jurnal, bahkan mengungkapkan apa-apa yang telah saya kumpulkan dan menjadi cerita baru terkesan kaku dan sulit. Pendek kata, saya perlu belajar sekali lagi tentang kepenulisan yang mempunyai ‘harga-jual’ ini. 



Orientasi uang, memang seakan-akan membayangkan diriku, tapi disisi lain, saya persis teidak meperjuangkan tentang keuangan atau kebutuhan perihal uang ini: seakan-akan saya lalai bahwa saya benar-benar membutuhkan uang, tapi yang terjadi aktivitas saya masih berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan ‘pembelajaran’ dan ‘keperlatihan’, bahkan keperlatihan terhadap diriku sendiri. 





Kalau orang mungkin bertanya, sesungguhnya bagaimana caraku berpikir! jawabku, saya mungkin tidak tahu bagaimana cara berpikirku dan masih mencari bagaimana cara berpikir: dan bahkan untuk berpikir saya masih latihan. Dan ladang untuk latihan adalah dengan kuliah; harapannya, ketika saya lulus kuliah saya mengerti bagiamana cara berpikir. jadilah orang yang mengerti. Artinya, sekarang pun masih latihan: terlebih kuat, latihan untuk melatih diri.

Belum ada Komentar untuk "Latihan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel