Filsafat dan Hal-hal Biasa

Semakin itu orang mengkaji filsafat, semakin itu, orang kuat berpikir tentang hal-hal sederhana. Pikirannya menjadi sesuatu yang kecil, berkelas biasa, bahkan sampai-sampai pertanyaannya laksana anak-anak, laksana anak-anak yang sedang dalam masa ‘berdaya diri untuk mengetahui’ bertanya ini-itu, ini-itu;

Di saat itulah pikiran manusia mulai menjadi lebih matang terhadap filsafat. Jika anak-anak, itu laksana belum terbekali oleh pengalaman atau panca-inderanya, sementara tatkala orang itu mulai dewasa, maka manusia mulai bertaut-tautan dengan pengalaman-pengalaman, mulai bertautan-tautan dengan informasi demi informasi, yang itu didapatkan dari membaca, mendengar, dan menghapal, ditambah dengan diskusi; entah itu diskusi ringan, atua diskusi besar, atau diskusi yang itu sekedar diskusi, yakni nongkrong-nongkrong biasa, yang membicarakan sesuatu yang itu laksana pembicaraan kosong tanpa tujuan yang pasti, kecuali dialektika, kecuali untuk menyenggangkan waktu yang itu bertujuan dengan pembicaraan.

Lamat-lamat, pemikirannya, akalnya, mulai diserang oleh sesuatu hal yang sederhana—di saat itulah orang-orang mulai memasuki babak baru dalam dunia pemikiran—yakni bertanya, yang jawabannya adalah hal-hal biasa. Yakni keputusan yang telah diputuskan oleh dunia realitas.

Namun, dia berupaya untuk mencari sendiri jawaban lewat kepalanya, berusaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh kediriannya; ternyata, payah, maka disaat itulah manusia meminjam ‘pemikiran’ atau kepala orang lain, untuk mengidentifikasi dirinya, untuk mengetahui dirinya.

Saat dirinya membaca teks-teks filsafat, hal-hal sederhana tersebut, bisa jadi, pemikirannya terseret pada arus deras filsafat—yakni pemikiran— yang harusnya menjadikan dirinya mudah mendapati jawaban, malah pikiranya bertambah aneh-aneh, dan dia seakan lupa bagaimana keluar dari hal tersebut.

Dirinya terseret pada rimba-rimba pemikiran orang-orang yang berpikir, pertanyaan yang biasa kini menjadi pertanyaan yang tidak biasa, bersamaan dengan itu, dia pun harus menjalani realitasnya, harus menjalani hidupnya, harus menjalani tautan-sosial, sementara dirinya (pemikirannya) berada di tempat yang itu aneh luar biasa.

Katanya, “Aku tidak tahu mengapa pemikiranku bersinggah di sini, tapi aku tidak tahu bagaimana aku keluar dari ini, karena ini adalah pemikiranku. Karena ini adalah tentang diriku. Aku ingin marah, tapi kepada siapa, toh ini pemikiranku sendiri. Padahal, awalnya aku bertanya yang itu pertanyaan sederhana; mendadak menjadi pertanyaan yang sangar dan buas. Menjadi pertanyaan yang aneh dan menggelikan. Menjadi pertanyaan yang lucu sekaligus pahit. Dan aku, sebenarnya, tidak tahu tentang apa-apa yang terjadi kepadaku, sekali pun, sangat jelas aku mengetahui diriku, sangat jelas mengetahui keadaan diriku; sakit yang kualami bukanlah sakit yang biasa orang-orang alami, yakni sakit pemikiranku. Pusing? Tidak. Tapi mengapa ini teramat payah bagi kehidupanku; saat aku melihat kenyataan semakin terbelalak, disaat itulah aku menjadi pengawas yang benar-benar berdaya diri untuk mencari jawaban; yang sebenarnya, masalah utama ada pada diriku. Lalu, lamat-lamat aku menyadari: bahwa segala soal yang ada itu ada karena bahasa. Karena ulah-ulah bahasa yang bertebaran di hamparan dunia; sesungguhnya bagaimana asal-usul bahasa.’

Di saat itulah dia berdaya diri mencari jawaban dengan apa yang membayangi pemikirannya. Dia membaca tentang asal-usul bahasa, namun ternyata, tak ada kalimat-kalimat yang tepat untuk menjawab apa yang ada di dalam dirinya; rangkaian kalimat yang menunjukan tentang bahasa, malah membuat ‘pemikirannya’ semakin bingung dan aneh. Sebab, rangkaian kalimat yang ada malah menawarkan tentang sejarah yang panjang, dan bahkan sejarah yang tidak-selesai. Tentang sejarah umat manusia, yang rentan waktunya, laksana sesuatu yang itu terkesan tidak realistis, padahal dirinya hendak realistis. hendak menawarkan realistis.

Karena hal itu tidak menjajikan buat yang ada pada pikirannya, maka dia mencari sendiri tentang realitas tersebut, dia menakar-takar sendiri pada pemikirannya, meneliti sendiri tentang hal-hal biasa dan sederhana yang terjadi; yang itu pada kenyataan yang ada di alaminya, dan tubuhnya adalah gudang-pengetahuan yang luar biasa; di saat itulah, dia memulai hidup yang baru. Menjadi pengamat sekaligus pelaku pemikiran. Jika ditanya, ‘apa yang terjadi pada pemikirannya?’ jawabnya, ‘pemikirannya belum stabil. Pemikirannya labil; namun dia mampu memberikan keputusan. Bagaimana keputusannya? Jawabnya, keputusannya lebih bijak. Itulah dirinya.’

Itu mungkin diriku. Atau aku-aku yang lain yang sesuai dengan teks tersebut; menjadi hal-hal biasa.


2017

Belum ada Komentar untuk " Filsafat dan Hal-hal Biasa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel