Haidar Buchori: Sebuah Perkenalan



Haidar Buchori--Saya berkenalan (bermakna saya tahu dengan beliau. Saya tahu perihal beliau. Walau sekedar nama) dengan Pak Haidar Buchori saat beliau mulai menjadi pengasuh pondok pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang. Saat beliau mulai ditugaskan atau dipilihkan tugas untuk menjadi ‘pengasuh’ (Julukan orang yang mengasuh pondok. Yang karena dia mengasuh pondok, seringkali ia di mata santri di panggil Pak Kiai) pondok pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang, di saat itulah ‘pengetahuan’ tentang namanya terketahui olehku. Apalagi di saat itu saya masih gemar menulis bulletin dinding, maka kabar itu didapatkan lalu saya menuliskan sesuatu perihal beliau.

Haidar Buchori
Saya tuliskan sesuatu perihal beliau—dan saya lupa tulisannya bagaimana—walau pun secara acak-acakan, secara desas-desus, secara serampangan saya dapakan informasi, yang jelas saya menulis tentang beliau, yang titik poinnya pengasuh baru, maka kenalilah.


“Pengasuh baru! Ketahuilah.” Itulah yang hendak saya sampaikan pada tulisan tersebut.  Sekalipun sebenarnya teman-teman telah mengetahui bahwa akan ada pengasuh baru.  Namun tujuan dari tulisan itu adalah perihal informasi, karena bulletin itu termasuk juga bekas-bekas informasi yang ada di pondok pesantren. Bekas-bekas kejadian-yang-berlalu di pondok pesantren.  Dengan adanya tulisan (informasi) orang-orang yang tadinya remang-remang perihal nama, maka teryakinkan perihal nama. Walau pun sekedar nama, sekedar julukan, namun sekurang-kurangnya para santri khususnya mengerti tentang nama pengasuh baru tersebut.

Haidar, itulah namanya. Namanya bagi diriku sendiri agak kontra: yakni diakah bernama Ali Haidar atau Haidar Buchori, yang pasti dia Haidar. Imbuhan Buchori bisa jadi dialamatkan kepada Bapaknya, yakni KH. Ahmad Masruri Buchori. Dan beliau sering dikenal dengan Mbah Buchori.

Mbah Buchori itulah panggilan ayahnya, dan beliau bernama Haidar.

Pada saat itu, tulisan saya itu—saya tidak ingat lagi perihal tulisan lama yang perkenalan itu. Sebab tulisan itu ada pada Bulletin Pondok Pesantren dan itu tulisan individu sekaligus bulletin individu perihal pondok pesantren:

Orientasi tulisan saya (bulletin itu, Bernama As-Syams itu) mengabarkan tentang fakta yagn terjadi di pondok pesantren dan bahkan mempertanyakan dan sekaligus mengkritik tentang pondok pesantren yang bertujuan untuk kemajuan pondok pesantren, gayanya. Untuk kemajuan ‘intelektual’ sekaligus mengenali lingkungan yang ada, gayanya. Untuk tidak bermain-main pada keputusan yang ada di pondok pesantren, gayanya. Yang jelas dasar utama keberadaan bulletin waktu itu adalah mendukung teman saya itu, Junaidi Abdul Munif yang menjadi Lurah Pondok. Itulah dasar utama keberadaan bulletin. Sehingganya, tulisan itu—ngaranku juga—menjadi sesuatu yang bringas, kasar, dan mengena di pikiran, sebab tulisan itu sangat factual dan penuh kritikan serta masukan dan yang menjadi dasar temanku itu yang menjadi lurah.

Saya berbackgrone puisi, menulis dengan pola pengungkapan ‘suara hati’, ‘pengalaman’ dan sarat dengan renungan, serta fakta dan terang-terangan. Sebabnya orang-orang penyair—sekurang-kurangnya—menyukai permenungan. Bahasaku sekarang, persis layaknya para filosof namun sarat dengan intuitif (intuisi) dan berhubungan dengan manusiawi: pola-pola yang ditekankan ialah pola manusiawi.  Pola manusiawi itu tidak harus muluk-muluk perihal teori-teori yang lebih lanjut: ukurannya rasa manusia. Begitu juga yang saya gunakan untuk menulis Pak Haidar.

Bukan informasi perihal Pak Haidar yang saya utamakan, melainkan tentang perkenalan bahwa: ada pengasuh baru, dialah Pak Haidar. Begitulah kira-kira isi tulisannya.

Tujuannya perkenalan. Soal isi, saya sendiri tidak mau ribet mencari data lebih lanjut perihal Pak Haidar, perihal sejarahnya, tentang bekas-bekas pondoknya dan lain sebagainya. Alasannya karena saya juga kurang mengerti tentang teori kepenulisan, yang pasti perihal teori kepenulisan itu saya kurang mengerti.


Alasan menulis dan mempublikasikan itu sederhana, bahwa saya bisa menulis. Saya bisa merangkai kata. Saya bisa menyusun kata-kata. Karena saya terbiasa menyusun, merangkai kata, dan orang-orang melihat pola tulisan menyebutnya: sajak atau puisi.  Dan dengan kemampuan saya mampu merangkai kata, maka tertuliskan perihal Pak Haidar, Pengasuh Baru di Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim.

Dasar tulisannya: orang-orang berkata (ngobrol, ndopok) bahwa Pak Haidar pengasuh baru, dengan tulisan saya lebih mengabarkan bahwa beliau, Pak Haidar pengasuh baru. Itulah awal perkenalanku (perkenalan bermakna saya tahu nama).

Belum ada Komentar untuk "Haidar Buchori: Sebuah Perkenalan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel