Qosidah Rebana (Tang Tung Dung Dang Brung) Dan Efek Sosialnya Study Di Wargomulyo
Rabu, 10 Oktober 2018
Tambah Komentar
Qosidah Rebana (Tang Tung Dung Dang Brung) Dan Efek Sosialnya Study Di Wargomulyo - Sejak seluruh kebayanan di desa Wargomulyo beri Rebana (Tek tek dung breng) oleh Lurah (Saya tidak tahu ini pemberian atas nama desa atau pemberian pribadi atas Nama Pak Lurah. Begini, kalau ini pemberian pribadi maka itu pemberian atau hadiah dari pak lurah. Namun kalau itu pemberian dari dana desa, maka pemberian itu memang pemberian dari desa.
Yang pasti ada perbedaannya, itulah titik tekannya.) maka di desa wargomulyo sibuk dengan latihan ‘seni kepermusikan’ atau seni keindahan (estetika), sebab mau tidak mau, music atau lagu bakal mempunyai nilai: indah atau tidak indah. Nyaman atau tidak nyaman. Begitulah nilai dari kesenian: orientasinya antara indah dan tidak indah, nyaman dan tidak nyaman, yang kemudian bersamaan dengan itu adanya nilai-nilai moral atau pesan yang hendak di sampaikan dari isi kepermusikan itu. yakni berupa lirik-lirik lagu yang ada pada tatanan music itu.
Sebelum dilangsungkan, maka para peserta pemusik itu, bakal latihan. Nah untuk latihan itu, tentunya menunjukan eksistensi yang berlagu, yang mempunyai lirik. Terlebih lagi mempunyai dampak sosial, yakni dampak kerakyataan.
Para peserta music atau latihan itu, para personilnya ibu-ibu, atau perempuan, yang pastinya personil rebana tidak hanya satu melainkan rombongan. Bersamaan dengan rombongan itu, maka terjadi dialektika (Dialog. Yang tentunya disana ada pembicaraan; tentang pembicaraan keluarga, kemelut keluarga, galau perihal uang, galau perihal sosial, galau perihal punjungan, dan bahkan curhat-curhat lainnya. Sebabnya karena terjadinya perkumpulan manusia, dalam rangka: tentu dalam rangka latihan music itu) yang menitik fokuskan pada agama. Sebab nilai utama rebana (Tang tung dung dang brung) adalah keislaman. sebabnya, fungsi utama dari rebana adalah untuk pengiring acara-acara keislaman. maka latihan yang dilangsungkan, bakal bertujuan tentang keagamaan. Hal itu terjadi secara otomatis.
Andai kata sepuluh personil itu dari kebayanan berjumlah 10 orang, maka saat latihan terjadilah wira-wiri sepuluh orang yang diam-diam disana adanya pembicaraan bersama dengan suami dan anak-istrinya. Sebab keberadaan (eksistensi) dari rebana bakal terjadi pada seluruh keluarga dengan dialog.
“Pa’e saya mau pergi latihan,” kata si istri pamit kepada suaminya.
Atau, “Kemana isterimu pergi?” tanya orang, “Latihan Rebana.”
“Mau ada acara apa?” tanya orang lagi.
Jawab si suami, “Besok mau rejeban. Latihan juga untuk acara berjanjian di mushola.”
Di sini yang hendak saya sampaikan, bahwa dengan pemberian rebana maka efek realitas dari keadaan sosial kena imbasnya, yakni imbas untuk menguatkan tentang keagamaan. Yang itu melalui seni. Seni music.
Rujukan lagu-lagu yang sering disampaikan adalah Nasida Ria Grub. Lagu-lagu lama, yang seringkali ada tambahan lagu-lagu baru. Namun cenderung pada lagu-lagu lama. Terlebih lagi, vocal, atua penyanyi itu tidak hanya mononton satu orang melainkan, kadang setiap personil mampu menyanyi, walau disitu, pada kelompok tersebut mempunyai kecenderungan terhadap vocal utama. Yakni suaranya yang bagus, panjang dan nyaman didengarkan. Hal itu, karena si penyanyi itu lebih lama berlatih untuk bersuara. Yakni berlatih untuk mencekok-cekokan lagu: artinya, di rumahnya, pastilah bakal terus menerus mengulangi perlaguan. Simaklah orang-orang yang vocal itu, pastilah di rumahnya atau aktivitas hariannya bakal sibuk terhadap lagu. Bibirnya kerap sekali demimil untuk latihan lagu. Bahkan sedang masak pun, bisa jadi demimil latihan untuk melagu. Begitulah si vocal. Tujuannya, tentu saja, mampu menangkap intonasi nada demi nada. Sebabnya melagu itu tidak dilarang, hal itu karena itu bibirnya dirinya sendiri. Bibir yang kemudian meresep kepada akalnya; maka terngiang tentang ketukan dan lirik-lirik. Dan itu juga mempengaruhi tentang kehidupannya. Lirik-lirik rebana mempengaruhi pemikirannya, mempengaruhi pola pemikirannya.
Apalagi lirik-lirik rebana, kosidah, pastilah mengandung tentang nasihat-nasihat. Itu juga yang disampaikan Abu Ali Haidar, pencipta lagu, Tahun 2000, Anakku, Indonesia Merdeka, Manusia Seutuhnya. Katanya pada ceramahnya, ‘setiap lagu adalah dakwah.’ Abu Ali Haidar ini nama aslinya Ahmad Masruri Buchori, beliau dulu tinggal di Semarang. Hal itu, karena Nasida Ria berasal dari kota Semarang.
Dan kembali soal rebana dan efek sosialnya. Sebagaimana telah saya singgungkan, bahwa dengan adanya rebana maka terciptanya efek sosial yang merujuk kepada keagamaan, dalam ini islam, sebab music rebana ditunjukan untuk pengiring acara-acara keislaman. Maka setiap acara keislaman, besar kemungkinan, melibatkan ‘orang-orang tersebut’, hal itu juga terjadi pada mushola-mushola yang ada pada si latihan rebana. Lebih-lebih acara itu dilangsungkan kepada pihak perempuan.
Perempuan menjadi dominasi totalitas dari kepermusikan, sementara si laki-laki, kebanyakan amem. Si laki-laki, umumnya, di desa Wargomulyo, tidak turut serta pada perlatihan kepermusikan. Cenderungnya, yang latihan adalah anak-anak. Orang tua laki-laki, seringkali melakukan kegiatan yang lain saat isterinya latihan, malah bisa jadi suaminya masih sedang menononto televise. Sebab, dan seringnya, latihan itu dilaksanakan pada waktu malam hari, besar kemungkinan dilakukan pada acara bada isya. Dan kecenderungan orang tua laki-laki adalah istirahat. Istirahat dalam artian sambil bola matanya mematai televise. Atau bisa jadi, suaminya ndopok dengan temannya. Entah ndopok perihal keuangan, pekerjaan atau pembicaraan lainnya. Apalagi televise kini menjadi sangat bening, tidak ada yang bures. Malah bisa jadi menonton televise angling darma atau seri pendekar-pendekar yang lainnya, atau tayangan sinetron. Sejauh ini, efek dari sinetron atau kepentingan sinetron bagi kalangan orang-orang desa adalah hiburan. Ya! Hiburan. Sebagaimana televise adalah media hiburan. Penting saya kabarkan: televise adalah hiburan. Bahkan bisa jadi, tulisan saya ini adalah semacam hiburan. Pemataan ‘tulisan’ yang dirangkai; mengungkapkan fakta menjadi bentuk tulisan. Laporan ‘fakta’ di jadikan tulisan.
Dan kembali lagi soal kepermusikan, tentang kerebanaan. Penting dijuga saya kabarkan, bahwa rebana itu adalah bertujuan untuk pengiring acara keislaman yang akan dilangsungkan. Pengiring yang itu berjenis hiburan. Sebagaimana music. Music adalah jenis hiburan. Malah kata Ibnu Khaldun, pemikir Filsafat Sejarah Islam, menuliskan bahwa music itu diperoleh buat orang-orang yang tingkat keekoniannya terjamin. Orang-orang yang sibuk dengan music itu adalah bahwa kebutuhan pokok terhadap kehidupannya telah terjamin. Karena kebutuhan pokok itu telah tercukupi, maka manusia membutuhkan sesuatu untuk hiburan, maka music adalah salah-satu jenis hiburan untuk mengisi sesudah kecukupan kehidupan pokok.
Jika pada sejarahnya, music itu diperuntuk buat orang-orang yang berkuasa, atau kerajaan, atau pengusa. Sekarang, music bisa dinikmati oleh seluruh kalangan. Bahkan orang yang tidak punya pun (Artinya orang yang kebutuhan pokoknya kurang, bisa menikmati music) bisa menikmati music. Alasannya karena zaman telah terjadi revolusi industry, dan bersamaan dengan itu, mulailah terakan tentang teknologi, seperti televise, radio, dan bahkan kemudian menjadi Handphone. Jika dulu handphone mahal, sekarang, siapapun merasa membutuhkan handphone. Handpone menjadi kepentingan yang sangat penting. Dan didalamnya adanya media untuk kebermusikan. Yakni pola mendengarkan dan pola menyetel. Maka bersamaan dengan itu, semua orang bisa menikmati music. Hal itu pun karena kebedaraan speaker, yang itu mengeraskan music. Media pengeras suara. Dengan seperti itu, setiap manusia mampu menikmati kepermusikan. Dan kemudian, dari macam-macam music, ada salah satunya, qosidah.
Qosidah itu berakar kuat dari kepersyairan orang-orang arab, atau kepermusikan arab. hingga kemduian, membaur di Indoneisa dan bertemu dengan dangdut, maka jadilah qosidah yang ada di Indonesia adalah khas; hal itu terjadi karena ketidak-asingan music itu untuk telinga orang Indonesia. begitulah kira-kira asal-usul qosidah. Dari arab, yang kemudian kemasukan dangdut, maka jadilah qosidah seperti yang sering kita dengan itu: dan di sisi yang lain, ada yang mempertahankan tentang kearaban, yakni hadroh, atau alat music rebana. Rebana yang itu terkhusus layaknya orang-orang arab. bunyi-bunyikan yang bentuk bunyinya seperti ketuplak kuda berjalan-jalan. Tek duk duk tek. Tek duk tek tek. Dan seterusnya.
Sekali pun hal seperi itu, efek terkuat dari marknya qosidah adalah tentang rujukan pola pikir yang semkain merujuk pada nilai-nilai agama. Itu pun terjadi di desa wargomulyo. Sekali pun tidak kencang-kencang amat. Atau tidak seagamis sangat, tetap saja, menimbulkan efek-efek yang agak-kuat pada nilai-nilai agama. Apalagi hal itu terdukung oleh kekuasaan (kelurahaan) yang bahkan pernah diadakan lomba qosidah se desa di wargomulyo. Tentulah bisa dibayangkan, bagaimana tingkatan seluruh kebayananan bersibuk atas nama qosidah dan latihan, dan itu ibu-ibuk. Ibu-ibu yang suka ngerumpi, ibu-ibu yang mengasuh anak-anaknya, ibu-ibu yang menjadi ibu-rumah tangga. Walaupun terjadi secara ‘temporer’ alias sementara, yakni pada saat acara-acara keislaman, namun disaat itulah bakal terjadi ‘interaksi’ untuk mempertahankan eksistensi. Sebab mau tidak mau, kalau mau lebih ‘indah’ setiap personil harus sering berlatih. Dengan sering terbiasa berlatih, maka ‘rasa’ ketukan, dan ‘rasa’ keperlaguan’ akan semakin menjadi: hingga kemudian jadilah penjiwaan dari ‘rasa’ lagu tersebut. penjiwaan yang ditandai dengan kebersamaan, keserasian, dan penyampaian makna yang dibawakan.
Jika ditanyakan, “sesungguhnya apa efek terkuat dari ‘estetika’ atau kesenian bagi individu?”
Jawabku, “efek terkuat dari estetika adalah tentang individu yang semakin ‘indah’ menangkap tentang kehidupan yang terjadi. kehidupan pun menjadi sebuah ‘seni’ –estetika—jika itu benar-benar dihayati.”
Jika ditanyakan, “Apakah kamu begitu menilai hidup, Taufik?”
Jawabku, “saya sebenarnya masih kurang memahami perihal hidup. Artinya, saya masih persis seperti musafir yang berupaya memahami perihal hidup. Demikian.”
Yang pasti ada perbedaannya, itulah titik tekannya.) maka di desa wargomulyo sibuk dengan latihan ‘seni kepermusikan’ atau seni keindahan (estetika), sebab mau tidak mau, music atau lagu bakal mempunyai nilai: indah atau tidak indah. Nyaman atau tidak nyaman. Begitulah nilai dari kesenian: orientasinya antara indah dan tidak indah, nyaman dan tidak nyaman, yang kemudian bersamaan dengan itu adanya nilai-nilai moral atau pesan yang hendak di sampaikan dari isi kepermusikan itu. yakni berupa lirik-lirik lagu yang ada pada tatanan music itu.
Sebelum dilangsungkan, maka para peserta pemusik itu, bakal latihan. Nah untuk latihan itu, tentunya menunjukan eksistensi yang berlagu, yang mempunyai lirik. Terlebih lagi mempunyai dampak sosial, yakni dampak kerakyataan.
Para peserta music atau latihan itu, para personilnya ibu-ibu, atau perempuan, yang pastinya personil rebana tidak hanya satu melainkan rombongan. Bersamaan dengan rombongan itu, maka terjadi dialektika (Dialog. Yang tentunya disana ada pembicaraan; tentang pembicaraan keluarga, kemelut keluarga, galau perihal uang, galau perihal sosial, galau perihal punjungan, dan bahkan curhat-curhat lainnya. Sebabnya karena terjadinya perkumpulan manusia, dalam rangka: tentu dalam rangka latihan music itu) yang menitik fokuskan pada agama. Sebab nilai utama rebana (Tang tung dung dang brung) adalah keislaman. sebabnya, fungsi utama dari rebana adalah untuk pengiring acara-acara keislaman. maka latihan yang dilangsungkan, bakal bertujuan tentang keagamaan. Hal itu terjadi secara otomatis.
Andai kata sepuluh personil itu dari kebayanan berjumlah 10 orang, maka saat latihan terjadilah wira-wiri sepuluh orang yang diam-diam disana adanya pembicaraan bersama dengan suami dan anak-istrinya. Sebab keberadaan (eksistensi) dari rebana bakal terjadi pada seluruh keluarga dengan dialog.
“Pa’e saya mau pergi latihan,” kata si istri pamit kepada suaminya.
Atau, “Kemana isterimu pergi?” tanya orang, “Latihan Rebana.”
“Mau ada acara apa?” tanya orang lagi.
Jawab si suami, “Besok mau rejeban. Latihan juga untuk acara berjanjian di mushola.”
Di sini yang hendak saya sampaikan, bahwa dengan pemberian rebana maka efek realitas dari keadaan sosial kena imbasnya, yakni imbas untuk menguatkan tentang keagamaan. Yang itu melalui seni. Seni music.
Rujukan lagu-lagu yang sering disampaikan adalah Nasida Ria Grub. Lagu-lagu lama, yang seringkali ada tambahan lagu-lagu baru. Namun cenderung pada lagu-lagu lama. Terlebih lagi, vocal, atua penyanyi itu tidak hanya mononton satu orang melainkan, kadang setiap personil mampu menyanyi, walau disitu, pada kelompok tersebut mempunyai kecenderungan terhadap vocal utama. Yakni suaranya yang bagus, panjang dan nyaman didengarkan. Hal itu, karena si penyanyi itu lebih lama berlatih untuk bersuara. Yakni berlatih untuk mencekok-cekokan lagu: artinya, di rumahnya, pastilah bakal terus menerus mengulangi perlaguan. Simaklah orang-orang yang vocal itu, pastilah di rumahnya atau aktivitas hariannya bakal sibuk terhadap lagu. Bibirnya kerap sekali demimil untuk latihan lagu. Bahkan sedang masak pun, bisa jadi demimil latihan untuk melagu. Begitulah si vocal. Tujuannya, tentu saja, mampu menangkap intonasi nada demi nada. Sebabnya melagu itu tidak dilarang, hal itu karena itu bibirnya dirinya sendiri. Bibir yang kemudian meresep kepada akalnya; maka terngiang tentang ketukan dan lirik-lirik. Dan itu juga mempengaruhi tentang kehidupannya. Lirik-lirik rebana mempengaruhi pemikirannya, mempengaruhi pola pemikirannya.
Apalagi lirik-lirik rebana, kosidah, pastilah mengandung tentang nasihat-nasihat. Itu juga yang disampaikan Abu Ali Haidar, pencipta lagu, Tahun 2000, Anakku, Indonesia Merdeka, Manusia Seutuhnya. Katanya pada ceramahnya, ‘setiap lagu adalah dakwah.’ Abu Ali Haidar ini nama aslinya Ahmad Masruri Buchori, beliau dulu tinggal di Semarang. Hal itu, karena Nasida Ria berasal dari kota Semarang.
Dan kembali soal rebana dan efek sosialnya. Sebagaimana telah saya singgungkan, bahwa dengan adanya rebana maka terciptanya efek sosial yang merujuk kepada keagamaan, dalam ini islam, sebab music rebana ditunjukan untuk pengiring acara-acara keislaman. Maka setiap acara keislaman, besar kemungkinan, melibatkan ‘orang-orang tersebut’, hal itu juga terjadi pada mushola-mushola yang ada pada si latihan rebana. Lebih-lebih acara itu dilangsungkan kepada pihak perempuan.
Perempuan menjadi dominasi totalitas dari kepermusikan, sementara si laki-laki, kebanyakan amem. Si laki-laki, umumnya, di desa Wargomulyo, tidak turut serta pada perlatihan kepermusikan. Cenderungnya, yang latihan adalah anak-anak. Orang tua laki-laki, seringkali melakukan kegiatan yang lain saat isterinya latihan, malah bisa jadi suaminya masih sedang menononto televise. Sebab, dan seringnya, latihan itu dilaksanakan pada waktu malam hari, besar kemungkinan dilakukan pada acara bada isya. Dan kecenderungan orang tua laki-laki adalah istirahat. Istirahat dalam artian sambil bola matanya mematai televise. Atau bisa jadi, suaminya ndopok dengan temannya. Entah ndopok perihal keuangan, pekerjaan atau pembicaraan lainnya. Apalagi televise kini menjadi sangat bening, tidak ada yang bures. Malah bisa jadi menonton televise angling darma atau seri pendekar-pendekar yang lainnya, atau tayangan sinetron. Sejauh ini, efek dari sinetron atau kepentingan sinetron bagi kalangan orang-orang desa adalah hiburan. Ya! Hiburan. Sebagaimana televise adalah media hiburan. Penting saya kabarkan: televise adalah hiburan. Bahkan bisa jadi, tulisan saya ini adalah semacam hiburan. Pemataan ‘tulisan’ yang dirangkai; mengungkapkan fakta menjadi bentuk tulisan. Laporan ‘fakta’ di jadikan tulisan.
Dan kembali lagi soal kepermusikan, tentang kerebanaan. Penting dijuga saya kabarkan, bahwa rebana itu adalah bertujuan untuk pengiring acara keislaman yang akan dilangsungkan. Pengiring yang itu berjenis hiburan. Sebagaimana music. Music adalah jenis hiburan. Malah kata Ibnu Khaldun, pemikir Filsafat Sejarah Islam, menuliskan bahwa music itu diperoleh buat orang-orang yang tingkat keekoniannya terjamin. Orang-orang yang sibuk dengan music itu adalah bahwa kebutuhan pokok terhadap kehidupannya telah terjamin. Karena kebutuhan pokok itu telah tercukupi, maka manusia membutuhkan sesuatu untuk hiburan, maka music adalah salah-satu jenis hiburan untuk mengisi sesudah kecukupan kehidupan pokok.
Jika pada sejarahnya, music itu diperuntuk buat orang-orang yang berkuasa, atau kerajaan, atau pengusa. Sekarang, music bisa dinikmati oleh seluruh kalangan. Bahkan orang yang tidak punya pun (Artinya orang yang kebutuhan pokoknya kurang, bisa menikmati music) bisa menikmati music. Alasannya karena zaman telah terjadi revolusi industry, dan bersamaan dengan itu, mulailah terakan tentang teknologi, seperti televise, radio, dan bahkan kemudian menjadi Handphone. Jika dulu handphone mahal, sekarang, siapapun merasa membutuhkan handphone. Handpone menjadi kepentingan yang sangat penting. Dan didalamnya adanya media untuk kebermusikan. Yakni pola mendengarkan dan pola menyetel. Maka bersamaan dengan itu, semua orang bisa menikmati music. Hal itu pun karena kebedaraan speaker, yang itu mengeraskan music. Media pengeras suara. Dengan seperti itu, setiap manusia mampu menikmati kepermusikan. Dan kemudian, dari macam-macam music, ada salah satunya, qosidah.
Qosidah itu berakar kuat dari kepersyairan orang-orang arab, atau kepermusikan arab. hingga kemduian, membaur di Indoneisa dan bertemu dengan dangdut, maka jadilah qosidah yang ada di Indonesia adalah khas; hal itu terjadi karena ketidak-asingan music itu untuk telinga orang Indonesia. begitulah kira-kira asal-usul qosidah. Dari arab, yang kemudian kemasukan dangdut, maka jadilah qosidah seperti yang sering kita dengan itu: dan di sisi yang lain, ada yang mempertahankan tentang kearaban, yakni hadroh, atau alat music rebana. Rebana yang itu terkhusus layaknya orang-orang arab. bunyi-bunyikan yang bentuk bunyinya seperti ketuplak kuda berjalan-jalan. Tek duk duk tek. Tek duk tek tek. Dan seterusnya.
Sekali pun hal seperi itu, efek terkuat dari marknya qosidah adalah tentang rujukan pola pikir yang semkain merujuk pada nilai-nilai agama. Itu pun terjadi di desa wargomulyo. Sekali pun tidak kencang-kencang amat. Atau tidak seagamis sangat, tetap saja, menimbulkan efek-efek yang agak-kuat pada nilai-nilai agama. Apalagi hal itu terdukung oleh kekuasaan (kelurahaan) yang bahkan pernah diadakan lomba qosidah se desa di wargomulyo. Tentulah bisa dibayangkan, bagaimana tingkatan seluruh kebayananan bersibuk atas nama qosidah dan latihan, dan itu ibu-ibuk. Ibu-ibu yang suka ngerumpi, ibu-ibu yang mengasuh anak-anaknya, ibu-ibu yang menjadi ibu-rumah tangga. Walaupun terjadi secara ‘temporer’ alias sementara, yakni pada saat acara-acara keislaman, namun disaat itulah bakal terjadi ‘interaksi’ untuk mempertahankan eksistensi. Sebab mau tidak mau, kalau mau lebih ‘indah’ setiap personil harus sering berlatih. Dengan sering terbiasa berlatih, maka ‘rasa’ ketukan, dan ‘rasa’ keperlaguan’ akan semakin menjadi: hingga kemudian jadilah penjiwaan dari ‘rasa’ lagu tersebut. penjiwaan yang ditandai dengan kebersamaan, keserasian, dan penyampaian makna yang dibawakan.
Jika ditanyakan, “sesungguhnya apa efek terkuat dari ‘estetika’ atau kesenian bagi individu?”
Jawabku, “efek terkuat dari estetika adalah tentang individu yang semakin ‘indah’ menangkap tentang kehidupan yang terjadi. kehidupan pun menjadi sebuah ‘seni’ –estetika—jika itu benar-benar dihayati.”
Jika ditanyakan, “Apakah kamu begitu menilai hidup, Taufik?”
Jawabku, “saya sebenarnya masih kurang memahami perihal hidup. Artinya, saya masih persis seperti musafir yang berupaya memahami perihal hidup. Demikian.”
Belum ada Komentar untuk " Qosidah Rebana (Tang Tung Dung Dang Brung) Dan Efek Sosialnya Study Di Wargomulyo"
Posting Komentar