Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Ashabiyah (Komentar Tentang Pembacaan Teks Dan Hubungannya Dengan Pemikiran)
Jumat, 19 Oktober 2018
Tambah Komentar
Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Ashabiyah
(Komentar Tentang Pembacaan Teks Dan Hubungannya Dengan Pemikiran)
Taufik
Menuliskan:
Ketika saya menyadari bahwa saya laksana tertarik
dengan buku Mukadimah Ibnu Khaldun, walau pun terjemahan, namun pada saat
proses pembacaan ada daya tarik antara teks dan pemikiran saya. Artinya saya
sepersis berdialog dengan ibnu khaldun, karena bahasa yang digunakannya seperti
berbicara. Selain itu, tentang isi seperti apa yang ada didalam gambaran saya,
selain itu ketika membaca pun bertambahnya pengetahuan saya. Artinya
bertambahnya ‘diksi’ di dalam pikiran saya, tentang apa-apa yang ditawarkan.
Secara menyeluruh, saya tercocokkan dengan membaca Mukadimah, dibanding dengan
teks-teks yang lain. artinya ada kesempatan untuk membaca-baca ulang perihal
Mukadimah.
Dan sekarang, ketika sekali lagi saya mendayakan
diri untuk mendekati yang berhubungan dengan ibnu khaldun, mendadak, pola
pemikiran saya terkesan kaku dan serius. Bola mata saya ketika membaca seakan
konsentrasi penuh untuk memahami apa yang telah diuraikan. Berkesan ini adalah
serius. Bisa jadi karena alasannya begini:
Karena saya semakin ‘banyak’ mengetahui tentang
desa, yang mana didalam desaku banyaknya saudara demi saudara dan saya masuk
didalamnya—ini laksana potret sebuah kekeluargaan yang ada di era kanjeng nabi
Muhammad, yang sarat dengan kekeluargaan. Dan tentu saja berbeda. Tidak sama.
Jauh dari kesamaan. Karena bangsa, bahasa dan kebiasaan itu berbeda. Hanya
saja, sama-sama terpotret tentang keagamaan. Desa saya ‘sarat’ dengan
keislaman; itu kalau membuka sejarah, kalau membuka masa-lalu desa wargomulyo,
pastilah bakal menemui tentang sesuatu yang bertalian dengan keagamaan. Kalau
sekedar melihat desa wargomulyo apa adanya maka terkesan seperti biasa saja,
seperti halnya yang lainnya. Namun ketika ditelusuri lebih jauh tentang
asal-usul desa dan gerakan sosial dari desa: maka bakal ditemui tentang
pertalian agama dan pertalian kekerabatan, kepersaudaran. Malah bahkan seperti
ashabiyah yang digadang-gadangkan ibnu khaldun. Dengan seperti itu, maka
membaca sekali lagi teks ibnu khaldun terkesan sukar dan serius.
Alasannya simpel: karena cangkupan beliau ialah
potret Negara, potret khalifah, sementara garapan saya, atau fakta yang
menyertai saya adalah sekelas desa. Di sana, tentu saja ada perbandingan makna
antara desa dan Negara. Antara desa dan khalifah. Antara desa yang Indonesia
dan desa yang berasal dari islam. namun dengan semacam kemiripan itu, mungkin
itu juga yang menjadi alasan mengapa saya didekatkan dengan buku Mukadimah.
Lantas Apa Yang Terjadi
Pada Pemikiran Saya Dan Realitas Saya ?
Saya berusaha tenang dan santai menghadapi teks ini
(Dibawah ini), dan berpikir, ini adalah teks dari sepersekian teks, yang
datanya itu juga berhubungan dengan teks-teks. sementara realitas saya adalah
realitas praktis yang bakal berlangsung sebagaimana kerpraktisannya; ini adalah
teks yang berupaya untuk lebih mengingatkan perihal ‘kesaudaraan’ dan
kemanusiaan. sebabnya lagi, tujuan saya membaca ulang tentang teks ini adalah
untuk lebih memudahkan tentang sesuatu yang telah lama saya tangkap, yang itu
melalui orang lain. memudahkan artinya begini: sebab teks seperti ini adalah
upaya untuk memudahkan tentang pemikiran dari ibnu khaldun tersendiri. Dan itu
pun kebanyakan sumber primernya adalah tentang karangan ibnu khaldun. Seting
pemikiran saya, untuk lebih jernih maka mengembalikan kepada yang primer, yakni
bukunya Ibnu Khaldun, yakni mukadimah.
Mungkin, alasan pemikiran saya menangkap teks
tersebut secara serius karena begini: diksi-diksi tersebut berhubungan dengan
sesuatu yang besar, dengan sesuatu yang banyak, dan bahkan berantai-rantai,
sementara kefaktaanku dan tanggung-jawabku ialah masih pelajar dan hidup di
antara orang-orang desa yang statusnya masih pelajar, dan saya menyadari bahwa
status saya masih pelajar. Maka mengapa saya memberatkan diriku (pemikiranku)
yang itu semestinya bukan tentang tanggung jawabku; dan orang-orang yang
mempunyai itu, biarlah mereka yang perduli perihal itu, dan saya tentu saja
berdaya diri untuk meluruskan tentang pola pemikiranku, dan teks-teks ini
adalah upaya untuk lebih menjernihkan tentang tujuanku.
Memang, sekarang, perjalanan waktu, mulai
menandakan bahwa dengan membaca itu, saya semakin menemukan suatu tujuan, yakni
tujuan timur-tengah; bersamaan dengan itu, saya penting menguatkan tentang
tujuan tersebut, mencapai ke sana, tanpa terjadinya pertentangan-pertentangan
yang begitu kongkrit, sehingga mentidak-muluskan tujuan tersebut. tujuan
tersebut memang menjadi alasan kuat, namun kalau tidak mencapai apa yang
dituju, sekurang-kurangnya bakal terjadi realitas yang itu islami dan mencapai
tentang kebahagiaan dunia beserta dengan akhirat.
Dengan
membaca sejarah, maka terketemukan—menurut saya—suatu tujuan. Dengan tujuan tersebut maka didayakan meraih
apa yang ditujukan. Dan teks mukadimah ini,
adalah bagian yang mempengaruhi pola pemikiranku sejak dulu—sejak saya membaca
buku mukadimah—sekali pun mungkin alasannya karena teks itu ada, karena
orang-orang banyak yang berminat tentang teks tersebut. alasan lain
ketercocokanku dengan mukadimah ialah bahwa disana teruraikan perihal keahlian
demi keahlian, artinya tidak ada pelarangan perihal keahlian demi keahilan.
Artinya ada kesempatan orang muslim untuk belajar lebih jauh menuju ‘sesuatu’
yang tertampakkan di dunia. Memang tujuan utama adalah timur-tengah, namun
tidak setiap manusia ditakdirkan pada keagamaan dan sibuk pada keagamana; ada
yang lain, yakni menuju Barat. Dan berharap, ketika menuju barat, masih
terbackgrone perihal timur-tengah (dalam ini adalah agama islam). Demikian.
Belum ada Komentar untuk "Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Ashabiyah (Komentar Tentang Pembacaan Teks Dan Hubungannya Dengan Pemikiran)"
Posting Komentar