Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Ashabiyah (Komentar Tentang Pembacaan Teks Dan Hubungannya Dengan Pemikiran)

Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Ashabiyah
(Komentar Tentang Pembacaan Teks Dan Hubungannya Dengan Pemikiran)

Taufik Menuliskan:

Ketika saya menyadari bahwa saya laksana tertarik dengan buku Mukadimah Ibnu Khaldun, walau pun terjemahan, namun pada saat proses pembacaan ada daya tarik antara teks dan pemikiran saya. Artinya saya sepersis berdialog dengan ibnu khaldun, karena bahasa yang digunakannya seperti berbicara. Selain itu, tentang isi seperti apa yang ada didalam gambaran saya, selain itu ketika membaca pun bertambahnya pengetahuan saya. Artinya bertambahnya ‘diksi’ di dalam pikiran saya, tentang apa-apa yang ditawarkan. Secara menyeluruh, saya tercocokkan dengan membaca Mukadimah, dibanding dengan teks-teks yang lain. artinya ada kesempatan untuk membaca-baca ulang perihal Mukadimah.

Dan sekarang, ketika sekali lagi saya mendayakan diri untuk mendekati yang berhubungan dengan ibnu khaldun, mendadak, pola pemikiran saya terkesan kaku dan serius. Bola mata saya ketika membaca seakan konsentrasi penuh untuk memahami apa yang telah diuraikan. Berkesan ini adalah serius. Bisa jadi karena alasannya begini:

Karena saya semakin ‘banyak’ mengetahui tentang desa, yang mana didalam desaku banyaknya saudara demi saudara dan saya masuk didalamnya—ini laksana potret sebuah kekeluargaan yang ada di era kanjeng nabi Muhammad, yang sarat dengan kekeluargaan. Dan tentu saja berbeda. Tidak sama. Jauh dari kesamaan. Karena bangsa, bahasa dan kebiasaan itu berbeda. Hanya saja, sama-sama terpotret tentang keagamaan. Desa saya ‘sarat’ dengan keislaman; itu kalau membuka sejarah, kalau membuka masa-lalu desa wargomulyo, pastilah bakal menemui tentang sesuatu yang bertalian dengan keagamaan. Kalau sekedar melihat desa wargomulyo apa adanya maka terkesan seperti biasa saja, seperti halnya yang lainnya. Namun ketika ditelusuri lebih jauh tentang asal-usul desa dan gerakan sosial dari desa: maka bakal ditemui tentang pertalian agama dan pertalian kekerabatan, kepersaudaran. Malah bahkan seperti ashabiyah yang digadang-gadangkan ibnu khaldun. Dengan seperti itu, maka membaca sekali lagi teks ibnu khaldun terkesan sukar dan serius.

Alasannya simpel: karena cangkupan beliau ialah potret Negara, potret khalifah, sementara garapan saya, atau fakta yang menyertai saya adalah sekelas desa. Di sana, tentu saja ada perbandingan makna antara desa dan Negara. Antara desa dan khalifah. Antara desa yang Indonesia dan desa yang berasal dari islam. namun dengan semacam kemiripan itu, mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa saya didekatkan dengan buku Mukadimah.

Lantas Apa Yang Terjadi Pada Pemikiran Saya Dan Realitas Saya ?

Saya berusaha tenang dan santai menghadapi teks ini (Dibawah ini), dan berpikir, ini adalah teks dari sepersekian teks, yang datanya itu juga berhubungan dengan teks-teks. sementara realitas saya adalah realitas praktis yang bakal berlangsung sebagaimana kerpraktisannya; ini adalah teks yang berupaya untuk lebih mengingatkan perihal ‘kesaudaraan’ dan kemanusiaan. sebabnya lagi, tujuan saya membaca ulang tentang teks ini adalah untuk lebih memudahkan tentang sesuatu yang telah lama saya tangkap, yang itu melalui orang lain. memudahkan artinya begini: sebab teks seperti ini adalah upaya untuk memudahkan tentang pemikiran dari ibnu khaldun tersendiri. Dan itu pun kebanyakan sumber primernya adalah tentang karangan ibnu khaldun. Seting pemikiran saya, untuk lebih jernih maka mengembalikan kepada yang primer, yakni bukunya Ibnu Khaldun, yakni mukadimah.

Mungkin, alasan pemikiran saya menangkap teks tersebut secara serius karena begini: diksi-diksi tersebut berhubungan dengan sesuatu yang besar, dengan sesuatu yang banyak, dan bahkan berantai-rantai, sementara kefaktaanku dan tanggung-jawabku ialah masih pelajar dan hidup di antara orang-orang desa yang statusnya masih pelajar, dan saya menyadari bahwa status saya masih pelajar. Maka mengapa saya memberatkan diriku (pemikiranku) yang itu semestinya bukan tentang tanggung jawabku; dan orang-orang yang mempunyai itu, biarlah mereka yang perduli perihal itu, dan saya tentu saja berdaya diri untuk meluruskan tentang pola pemikiranku, dan teks-teks ini adalah upaya untuk lebih menjernihkan tentang tujuanku.

Memang, sekarang, perjalanan waktu, mulai menandakan bahwa dengan membaca itu, saya semakin menemukan suatu tujuan, yakni tujuan timur-tengah; bersamaan dengan itu, saya penting menguatkan tentang tujuan tersebut, mencapai ke sana, tanpa terjadinya pertentangan-pertentangan yang begitu kongkrit, sehingga mentidak-muluskan tujuan tersebut. tujuan tersebut memang menjadi alasan kuat, namun kalau tidak mencapai apa yang dituju, sekurang-kurangnya bakal terjadi realitas yang itu islami dan mencapai tentang kebahagiaan dunia beserta dengan akhirat.


Dengan membaca sejarah, maka terketemukan—menurut saya—suatu tujuan.  Dengan tujuan tersebut maka didayakan meraih apa yang ditujukan.  Dan teks mukadimah ini, adalah bagian yang mempengaruhi pola pemikiranku sejak dulu—sejak saya membaca buku mukadimah—sekali pun mungkin alasannya karena teks itu ada, karena orang-orang banyak yang berminat tentang teks tersebut. alasan lain ketercocokanku dengan mukadimah ialah bahwa disana teruraikan perihal keahlian demi keahlian, artinya tidak ada pelarangan perihal keahlian demi keahilan. Artinya ada kesempatan orang muslim untuk belajar lebih jauh menuju ‘sesuatu’ yang tertampakkan di dunia. Memang tujuan utama adalah timur-tengah, namun tidak setiap manusia ditakdirkan pada keagamaan dan sibuk pada keagamana; ada yang lain, yakni menuju Barat. Dan berharap, ketika menuju barat, masih terbackgrone perihal timur-tengah (dalam ini adalah agama islam). Demikian.

Belum ada Komentar untuk "Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Ashabiyah (Komentar Tentang Pembacaan Teks Dan Hubungannya Dengan Pemikiran)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel