Haidar Buchori Muridnya Mbah Maemun Zubair

 Pak Haidar itu muridnya Mbah Maemun Zubair (Konon beliau itu Kiai kondang di saat-saat ini, orang ramai berduyung-duyung datang ke tempatnya. Beritanya ramai. Terlebih lagi, kekondangan itu semakin terlihat ketika puteranya, Gus Taj Yasin nyalon menjadi wakil gubernur Jawa Tengah. Ketertenarannya di public yakni pola yang ditawarkan dari tim Gus Taj Yasin mendatangi –sowan—ke pondok-pondok yang ada di Jawa Tengah. Maka ketenarannya dan kepopuleran semakin membahana, semakin dimengerti banyak orang. Kok bisa semakin dimengerti banyak orang? Lha wong kunjungannya di Pondok Pesantren, maka tentu saja ‘ramai’. Pondok pesantren sendiri sudah ramai orang; dan pola pesantren, sejauh kita amati dan rasakan, orang-orang santri selalu ‘menghormati’ Kyai, sebetapa pun caranya santri menghormati) sekali pun muridnya Mbah Maemun Zubair itu banyak, tentu saja banyak, lha beliau pengasuh pondok pesantren tentu saja muridnya banyak, tidak hanya Pak Haidar thok!


Pak Haidar adalah satu diantara sepersekian muridnya Mbah Maemun Zubair. Sekali pun entah bagaimana hubungannya, yang pasti Pak Haidar dahulu kala pernah nyantri dan Mbah Maemun Zubair itu menjadi pengasuhnya.

Dan tulisan ini dibuat yang sesungguhnya adalah untuk bola mataku untuk sekali lagi meyakinkan bahwa Pak Haidar itu muridnya Mbah Maemun Zubair. Jika ditanya, memangnya sebelum ini kamu tidak yakin bahwa Pak Haidar itu muridnya Mbah Maemun Zubair? Jawabku, saya yakin. Hanya saja ini untuk lebih menambah keyakinan bahwa Pak Haidar itu muridnya Mbah Maemun Zubair.

 Persis kurang kerjaan, merangkai kata yang telah terketahui keyakinannya.

 Jawabku, adakala ‘keyakinan’ secara teks itu mudah. Faktanya saat orang mengatakan ‘saya yakin agama islam’, saya yakin dengan ini-itu, namun adakalanya keyakinan itu goyah. Tapi tidaklah mengapa engkau mengatakan begitu, toh ini sesungguhnya perihal kepentinganku, yakni kepentinganku kepada Pak Haidar. Itulah alasanku menulis ini: tentang kepentinganku kepada guruku –bahasa gampangnya begitu, Pak Haidar disebut guru—kepentingan yang kadangkala saat saya mencari informasi tentang Pak Haidar saya merasa tidak menemukan itu. Maka saya perlu menuliskan yang kemudian juga nantinya saya akan membaca tulisan saya sendiri.

 Walau secara fakta juga, kadangkala saya tidak urus dengan Pak Haidar. Tidak urus karena jarak saya jauh dengannya, kalau mau turut mengurus saya juga tidak tahu apa yang harus saya urusi, jarak saya jauh, saya punya kesibukan, maka yang ada ‘kefaktaan’ Pak Haidar itu adalah perkara yang lain, dan tulisan saya pun menjadi sesuatu yang itu berperkara yang lain.

 Perkara yang bisa jadi tujuannya beragam: entah saya agak pamer bahwa Pak Haidar adalah murid dari kiyai tersohor dan saya muridnya Pak Haidar. Atau saya pamer perihal bahwa saya muridnya Pak Haidar lalu saya dekat dengan Pak Haidar dan Pak Haidar itu dekat dengan Mbah Maemun yang kesohor itu. Atau ini bertujuan untuk diriku yang tidak terpuaskan perihal tentang Pak Haidar itu sendiri, hal ini bisa saja terjadi kepadaku yang tidak ‘puas’ dengan apa yang terjadi, hasilnya saya harus mencari.

 Mencari yang itu mestinya melalui ‘jari-jemariku’ yang menjadi tulisan lalu saya membaca ulang dari rangkaian jari-jemariku, alasannya karena sekurang-kurang itulah yang hendak saya cari.

 Namun hal ini pun termotivasi karena saking jarangnya saya mengetahui beliau ada di tebaran internet, seringkali data internetlah upaya untuk mencari Pak Haidar. Upaya untuk mengetahui Pak Haidar, dengan internet nanti saya akan menyaring sendiri tentang ‘berita’ yang ada. Lewat internet itu bisa saja lewat facebook atau mesin pencari, atau bahkan lewat Youtube. Dan kembali ke tema, Pak Haidar itu muridnya Mbah Maemun Zubair.

 Sebenarnya saya kurang mengetahui pasti tentang bagaimana hubungan Pak Haidar dengan Mbah Maemun Zubair ini kecuali antara guru dan murid. Artinya saya juga tidak mengetahui secara pasti kapan kedekatan mereka mulai terdekatan. Yang pasti, menurut data acak-acakanku, bahwa sekurang-kurangnya kedekatan mereka semakin rekat ketika Pak Haidar ikut ziaroh ke Mekah-madinah dengan Mbah Mun, disana ada juga Gus Bahaudin.

 Waktu itu, saya pernah diberitahu bahwa dia akan ziaroh dengan Mbah Mun, dan saya tidak boleh bilang-bilang hingga saatnya tiba. –Pikirku, memangnya kepada siapa saya akan bilang-bilang tentang hal tersebut?—saya mengiyakan itu hingga saatnya tiba.

 Ketika mereka ziarah, saya pun kurang tidak perduli. Dan saya itu perduli tentang hal itu, ketika saya merasa jauh dengan Pak Haidar; ketika saya sudah berada di Sumatera (di Lampung), di saat itulah saya mulai perduli perihal guru. Perihal sesuatu yang disebut guru. Alasannya, karena ‘pikiranku’ yang kacau perihal keguruan ini. Haha pikiran yang kacau perihal keguruan? Ya! Pikiran yang kacau perihal keguruan, saya persis mengharapkan untuk kembali kepada Pak Haidar yang tujuannya entah: bisa saja mengalihkan dari realitas, atau bisa saja kabur dari kenyataan yang sebenarnya, yakni fakta yang saya jalani. Entah mengapa kata-kata Pak Haidar membuatku ‘adem’ membuatku ‘enjoy’ membuatku nyaman.


Karena nyaman saya harus lagi, lagi, lagi, mendatangi beliau. Dan saya dibuai heran dengan pikiran saya sendiri: mengapa saya harus repot-repot menghubungi beliau? Bukankah kata-kata beliau itu biasa saja, tidak begitu special dan istimewa. Paling-paling jawabannya simpel seperti berikut: “Yo wis diterimo wae yo, Fik.” Atau bahkan yang sering itu, ketika nelpon saya ditanyakan: “Piye… piye.. ono opo?” lalu saya bercerita bla… bla.. bla.. dan beliau pun paling menimpali sedikit-sedikit. Maklum pembicaraan (orang ngborol) pastilah ada interaksi diantara keduanya, dan begitulah prosesnya. Dan karena itulah perlahan-lahan saya berpikir sendiri, mengapa harus beliau? Mengapa? Mengapa? Bukankah banyak orang, mengapa harus beliau?

Bersamaan itu saya tanyakan tentang perasaannya kepada gurunya. Waktu itu saya belum mengetahui tentang Mbah Maemun zubair, namun karena alasan inilah perlahan-lahan saya mulai mengetahui tentang Mbah Maemun Zubair. Ketika saya mencari di internet, berita tentang mbah Maemun Zubair itu rame, dan mudah didapati. Sebabnya ketika saya tanya tentang perasaannya kepada gurunya dan beliau tidak menjawab kecuali, ya biasa. Kira-kira jawabannya begitu. Atau lebih tepatnya, jawaban beliau kurang menjawab apa yang sebenarnya hendak saya cari jawabannya.

Disaat itulah saya mulai mencari Mbah Maemun Zubair yang itu gurunya Pak Haidar. Tujuan mencari adalah mencari ‘referensi’ untuk kepentinganku kepada Pak Haidar.

 Bahasa kasarku, sesungguhnya saya tidak mempunyai kepentingan dengan Mbah Maimun Zubair. Mbah Maemun Zubair itu kepentingannya Pak Haidar, dan kepentinganku adalah kepada Pak Haidar. Karena Pak Haidar itu muridnya Mbah Maimun, maka saya berusaha ‘melihat’ pola hubungan murid dan guru tersebut. Keengganan saya ‘mengakui’ tentang kepentingan dengan Mbah Maemun zubair dengan alasan begini:

Saya itu muridnya Pak Haidar, dan Pak Haidar itu muridnya Mbah Maemun. Urutannya begitu. Lebih-lebih saya itu orangnya agak suka ‘protes’ bahkan dengan Pak Haidar sendiri—dulu-dulu, kami ngobrol kayak teman, enjoy saja, dan itu pun mengalir. Alasannya karena beliau seakan-akan mengoptimalkan tentang keakuanku. Artinya beliau ‘semacam’ Socrates yang membidani muridnya, saya. Saya yang jarang berpendapat, seakan-akan ditarik untuk berpendapat. Karena biasanya saya bagi teman-temanku malah sering menjadi pendengar dan menengahi, dan saat kepada Pak Haidar saya persis dijadikan ‘sasaran utama’ yakni pelaku. Saya persis dipaksa untuk mengeluarkan keakuanku. Karena itulah saya mulai sibuk memikirkan keakuanku, bersamaan dengan itu saya pun tidak melupakan terhadap ‘watak’ kebiasaanku: yakni berdaya diri mengeluarkan ‘keakuan’ seseorang.

 Saya pikir hubunganku ini semacam peniruan (Bukan! Semacam pola kesamaan yang kemudian dipertemukan, namun mempunyai masa yang berbeda dan berbeda latar-belakang, pendidikan, dan bahkan kekeluargaan. Namun seakan adanya kesamaan) atau reingkarnasi yang tidak sempurna namun menyerupai. Ah kok jadi membicarakan saya, padahal saya ingin menyampaikan bahwa:


Pak Haidar itu muridnya Mbah Maemun Zubair. Murid dari sepersekian murid yang ada di Pondok Pesantren, seperti juga saya, yang dilalahnya dekat dengan gurunya. Dekat dalam arti adalah ‘sesekali terdekatkan’ karena sesuatu hal, seperti juga saya, mungkin saya dekat perihal tulisan dan saya mengabarkan tentang Pak Haidar, namun saya tidak begitu dekat secara fakta kepada beliau. Saya memang dekat secara pemikiran, mungkin begitu, karena saya ‘sering’ berpikir Pak Haidar di dalam pemikiran saya. Kok bisa? Seperti yang telah saya ungkapkan: kedekatan saya secara pemikiran karena jarak. Karena saya terngiang oleh kata-katanya Pak Haidar. Bersamaan dengan kata-kata itu saya teringat Pak Haidar.

 Kata-kata yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, namun sesuatu yang itu mengajak untuk berpikir. Ya! Saya dibuai ‘sebel’ karena harus memikirkan kata-kata Pak Haidar, anehnya ketika saya ‘putek’ lagi-lagi yang saya datangi adalah Pak Haidar. Anehnya, kesannya harus beliau. Padahal saya ‘sebel’. Saya libatkan dirimu (tukang baca), bagaimana kalau kamu dibekali kalimat tanya yang semakin kamu jawab kamu akan semakin bertanya? Pertanyaan itu bagiku, dulu, seperti sesuatu yang tidak ada habisnya dan entah bagaimana sesungguhnya endingnya. Kesannya simpel, tapi seperti mbulet dan terus menerus. Hal itu mampu terjadi, karena cara pikir saya yang seperti itu. Situasi keadaanku mengajak untuk memikirkan lebih serius perihal itu.  Itulah polaku dekat dengan Pak Haidar. Dan santri-santri yang lain pun, menurut saya, mempunyai pola tersendiri dekat dengan gurunya.


Begitu juga dengan Pak Haidar, saya tidak tahu secara pasti bagaimana pola Pak Haidar dengan dengan Mbah Maimun yang gurunya itu. Kedekatan itu, menurut analisis acak-acakanku, semenjak beliau disertakan ziarah ke mekah-madinah dan entah mana lagi, di saat itu Pak Haidar semakin dekat, yakni turut ngajar juga di STAI al-Anwar, Sarang (Dilalahnya juga mulai berdiri STAI al-Anwar), hingga kemudian beliau dipercaya menjadi ketua (entah ini ketua yang bagaimana, tidak mengetahui secara pasti) menjadi Tim Sukses Santri Gayeng, yakni tim kemenangan Gus Taj Yasin menjadi wakil Gubernur Jawa Tengah.


Dengan menjadi tim sukses, ngajar, tentu saja seringkali wira-wira ke Sarang. Semakin wira-wiri ke Sarang, tentu saja semakin dekat dengan Gurunya. Apa yang diomongkan? Besar kemungkinan tentang kepentingan yang sedang dikerjakan. Kalau tidak ada kepentingan, tentu saja tidak ada pembicaraan.

 Dan saya juga teringat, sebelum menjadi Tim Sukses Santri Gayeng, Pak Haidar juga dekat dengan Gus Wafi, kayaknya menjadi sekertarisnya, ini pola kepartaian, ketika Partai Pembangunan Persatuan (PPP) belah menjadi dua kubu.

 Tentu ketika menjadi ‘jejer-jemejer’ tentang kepartaian adanya pembicaraan, obrolan, dan rencana-rencana; rencana-rencana ini yang menjadikan beliau semakin dekat gurunya itu, Mbah Maimun Zubair, alasannya beliau dekat dekat anaknya Mbah Maimun.

 Dan sebagai orang yang ‘agak perhatian’ dengan Pak Haidar, maka saya mencari berita tersebut. Tujuannya, ketika saya kangen dengan Pak Haidar, maka saya mencari tahu tentang dirinya, atau bahkan menelphon dengannya. Awal-awal saya berhubungan (lewat telephone) dengan Pak Haidar, saya masih mengerti tentang jadwal beliau, dan beliau masih mudah dihubungi, dan semakin beliau semakin dekat dengan gurunya, Mbah Maimun, perlahan-lahan jadwalnya mulai sibuk. “Rapat. Rapat. Rapat.” Sejak itulah saya mulai ‘ingin’ mengerti apa yang dirapatkan, sekurang-kurangnya tentang Politik, hal itu terjadi karena Mbah Maimun juga turut serta pada perpolitikan.

Namanya murid, gurunya berpolitik murid pun ikut-ikutan. Saya pun juga begitu. Haha… Yang saya dukung adalah Pak Haidar, referensi utamanya begitu, sebab kepentinganku ialah tentang kepentingan Pak Haidar. Bersamaan itu juga saya perlahan-lahan membaca perihal politik, secara acak-acakan, sekurang-kurangnya saya mengerti apa yagn akan dilakukan Pak Haidar, apa yang menjadi keputusan Pak Haidar, sekali pun saya tidak tahu apa yang dilakukan dan apa yang menjadi keputusan. Saya ketika telphonan tidak sibuk membicarakan tentang partai, tentang kemenangan, tentang gerakan apa-pun itulah, tidak: yang saya sibukkan adalah tentang pikiran saya, tentang perasaan saya, seringkali itu yang menjadi tema utama saya datang kepada Pak Haidar.

Soal politik, berita-berita itu, saya mencarinya sendiri. Berita tentang Gus Wafi, saya mencarinya. Berita tentang Santri Gayeng, saya mencari. Tentang Gus Taj Yasin, saya mencari. Lama-lama, saya semakin mengerti tentang keluarganya Mbah Maemun, mengerti walau sekilas-sekilas dan itu melalui pola Pak Haidar. Karena tujuan utamaku ialah tentang Pak Haidar, yang mana Pak Haidar itu muridnya Mbah Maimun. Itu dulu yang bisa saya sampaikan.

Belum ada Komentar untuk "Haidar Buchori Muridnya Mbah Maemun Zubair"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel