Islam Dan Filsafat
Kamis, 18 Oktober 2018
Tambah Komentar
Tentu saja saya belum selesai dengan arah pemikiranku, sebab penulisan biografi keakuan, pastilah bakal dikenali secara penuh ketika saya telah meninggal, ketika saya telah tiada. Barulah bisa terbaca dengan jelas. Namun sejauh ini, sejauh perjalanan waktuku, pembagian kehidupanku, atau babakan pemikiranku, dapat diamati bahwa saya beralaskan pada keagamaan, yakni islam. dan kemudian saya memasuki kelas filsafat, artinya kuliah filsafat. Selanjutnya, saya mulai menyukai tentang pemerintahan. Itulah jalannya sekarang; dan pada pemerintahan, yang menjadi pacuanku atau menjadi landasanku ialah tentang apa-apa yang menampakan, yakni kedudukan kenegaraan yang terjadi. artinya saya tidak menentang terhadap apa-apa yang telah terjadi pada system kenegaraan itu, saya mendukung proses demokrasi.
Namun sebelum memasuki kabar tentang demokrasi; saya akan menguraikan tentang keislaman saya, tentang pembentukan karakteristik keislaman saya, yang tentu ini menjadi pengaruh terhadap pemikiran saya: pemikiran saya kepada pemerintahan. Sekali pun pemerintahan sejauh ini yang saya amati—atau bahkan masih baru-baru ini saya mengamati—ialah pemerintahan sekala desa. Walau pun pada dasarnya, saya masih mengamati diri saya sendiri.
Backgrone keislaman saya, ini mempengaruhi pemikiran saya: terlebih lagi, saya berangkat dari pondok pesantren, menghabiskan masa remaja di pondok pesantren, tentu saja ini mempengaruhi pemikiran saya: hingga suatu ketika, saya mulai terpengaruh dengan pemikiran filsafat, bersamaan itu saya mulai mengkaji filsafat. Ringkas begitu: tokoh filsafat yang mempengaruhi, Freidrich Nietzche, seorang filsuf jerman, yang pokok bahasannya ialah tentang etika atau moralitas; yang sebenarnya waktu itu, posisinya, beliau mengkritik budaya eropa. Dan saya berpikir, bahwa realitas yang terjadi seperti sebagaimana apa yang dikatakan Nietzche: yakni penurunan etika. Atau bahkan, ‘pembunuhan Tuhan’ di dalam pikiran manusia modern. Itu jugalah yang saya alami, yang sedikitnya saya rasakan.
Orang-orang laksana ‘membutuh Tuhan’ di dalam pikirannya, di dalam hatinya, karena tertekan oleh modernitas. Ditekan oleh keadaan fakta yang mengharuskan untuk berkesibuk pada materi; tekanan industry menjadikan manusia-manusia bekerja secara system dan persis seperti robot-robot, maka bersamaan dengan itu, manusia laksana kehilangan kemanusiaannya. Manusia kehilangan daya kemanusiaannya; karene manusia mulai menjelma kerobotan, yang teratur ketat oleh system-sistem yang dicitakan oleh manusia itu sendiri.
Bersamaan dengan itu juga saya mulai membaca mukadimahnya ibnu khaldun, dan saya juga tertarik dengan itu. keterarikannya ialah manusia harus berkeahlian. Itulah titik tekan dari pembacaan; keadaan telah menjadi seperti ini, manusia harus berkeahlian; yang tujuannya tentu untuk kemuliaan manusia itu sendiri, namun jangan melupakan agama, jangan melupakan Tuhan.
Itulah pembacaan yang terkesan kontras. Disatu sisi nietzche mengatakan manusia telah ‘membunuh tuhan’ di dalam pemikirannya, maka jadilah manusia-super lalu disisi lain, Ibnu khaldun menganjurkan manusia harus berkeahlian syaratnya jangan melupkan Tuhan.
Sekali pun seperti itu jangan dilupakan bahwa realitasku ialah realitas yang sarat dengan keagamaan. Lingkunganku juga mempengaruhi pemikiranku, yang itu harus hidup secara realistis praktis, tidak muluk-muluk, sebabnya berbackgrone pertanian. Yang mana pertanian itu mengikuti pola alam; bekerja, bekerja, dan jangan lupa ibadah. seringkas itu, tidak ada pengutukan tentang keadaan zaman, tidak ada pengutukan tentang keadaan yang salah: yang pasti manusia itu membutuhkan makan, dan manusia jangan lupakan agama. Itulah titik tekannya. Maka bersamaan dengan itu, pemikiranku laksana didorong untuk menjalankan hidup yang fakta. Namun saya tidak tentu saja, tidak mampu melepaskan sesautu yang telah bersarang di dalam diri saya: yakni bertemunya kajian filsafat dan agama, yang itu teraplikasikan di dalam tubuh saya. Dan saya menyebutnya: baiklah akalku mungkin saat ini adalah sarat dengan rasio, namun hatiku, ya hatiku selalu kepada islam. Demikian.
Namun sebelum memasuki kabar tentang demokrasi; saya akan menguraikan tentang keislaman saya, tentang pembentukan karakteristik keislaman saya, yang tentu ini menjadi pengaruh terhadap pemikiran saya: pemikiran saya kepada pemerintahan. Sekali pun pemerintahan sejauh ini yang saya amati—atau bahkan masih baru-baru ini saya mengamati—ialah pemerintahan sekala desa. Walau pun pada dasarnya, saya masih mengamati diri saya sendiri.
Backgrone keislaman saya, ini mempengaruhi pemikiran saya: terlebih lagi, saya berangkat dari pondok pesantren, menghabiskan masa remaja di pondok pesantren, tentu saja ini mempengaruhi pemikiran saya: hingga suatu ketika, saya mulai terpengaruh dengan pemikiran filsafat, bersamaan itu saya mulai mengkaji filsafat. Ringkas begitu: tokoh filsafat yang mempengaruhi, Freidrich Nietzche, seorang filsuf jerman, yang pokok bahasannya ialah tentang etika atau moralitas; yang sebenarnya waktu itu, posisinya, beliau mengkritik budaya eropa. Dan saya berpikir, bahwa realitas yang terjadi seperti sebagaimana apa yang dikatakan Nietzche: yakni penurunan etika. Atau bahkan, ‘pembunuhan Tuhan’ di dalam pikiran manusia modern. Itu jugalah yang saya alami, yang sedikitnya saya rasakan.
Orang-orang laksana ‘membutuh Tuhan’ di dalam pikirannya, di dalam hatinya, karena tertekan oleh modernitas. Ditekan oleh keadaan fakta yang mengharuskan untuk berkesibuk pada materi; tekanan industry menjadikan manusia-manusia bekerja secara system dan persis seperti robot-robot, maka bersamaan dengan itu, manusia laksana kehilangan kemanusiaannya. Manusia kehilangan daya kemanusiaannya; karene manusia mulai menjelma kerobotan, yang teratur ketat oleh system-sistem yang dicitakan oleh manusia itu sendiri.
Bersamaan dengan itu juga saya mulai membaca mukadimahnya ibnu khaldun, dan saya juga tertarik dengan itu. keterarikannya ialah manusia harus berkeahlian. Itulah titik tekan dari pembacaan; keadaan telah menjadi seperti ini, manusia harus berkeahlian; yang tujuannya tentu untuk kemuliaan manusia itu sendiri, namun jangan melupakan agama, jangan melupakan Tuhan.
Itulah pembacaan yang terkesan kontras. Disatu sisi nietzche mengatakan manusia telah ‘membunuh tuhan’ di dalam pemikirannya, maka jadilah manusia-super lalu disisi lain, Ibnu khaldun menganjurkan manusia harus berkeahlian syaratnya jangan melupkan Tuhan.
Sekali pun seperti itu jangan dilupakan bahwa realitasku ialah realitas yang sarat dengan keagamaan. Lingkunganku juga mempengaruhi pemikiranku, yang itu harus hidup secara realistis praktis, tidak muluk-muluk, sebabnya berbackgrone pertanian. Yang mana pertanian itu mengikuti pola alam; bekerja, bekerja, dan jangan lupa ibadah. seringkas itu, tidak ada pengutukan tentang keadaan zaman, tidak ada pengutukan tentang keadaan yang salah: yang pasti manusia itu membutuhkan makan, dan manusia jangan lupakan agama. Itulah titik tekannya. Maka bersamaan dengan itu, pemikiranku laksana didorong untuk menjalankan hidup yang fakta. Namun saya tidak tentu saja, tidak mampu melepaskan sesautu yang telah bersarang di dalam diri saya: yakni bertemunya kajian filsafat dan agama, yang itu teraplikasikan di dalam tubuh saya. Dan saya menyebutnya: baiklah akalku mungkin saat ini adalah sarat dengan rasio, namun hatiku, ya hatiku selalu kepada islam. Demikian.
Belum ada Komentar untuk " Islam Dan Filsafat"
Posting Komentar