Aku dan Teori Kritis
Senin, 24 September 2018
Tambah Komentar
Aku dan Teori Kritis - Saya berkenalan dengan teori kritis, sejak saya diberi judul Analisis Kritis terhadap pandang kenegaraan Sayyid Qutb. Bersamaan dengan itu, maka yang menjadi pertanyaan saya adalah apa itu analisis kritis: bagaimana itu analisis kritis. ealah ternyata, saya jarang membaca perihal analisis kritis, memang saya adalah orang yang agak rajin membaca, agak rajin meminjam buku perpustakaan, namun pembacaan saya adalah pembacaan akan kebutuhan saya—sebenarnya orang-orang membaca pun begitu, berkaitan erat dengan kebutuhan si pembaca—namun sayang, saya jarang sekali membaca yang berkaitan dengan teori kritis, bila pun membaca adalah selingan atau sekedarnya saja, sekedar perlewatan bola mata.
Karena saya hendak menganlisis yang kritis itu, maka saya mencari tahu tentang informasi analisis kritis itu. saya dapati: jreng. Sebuah teori yang itu menyentuh realitas kongkrit di era postmodern, di era yang sekarang terjadi, di era yang sekarang berlangsung, dimana itu adalah upaya menjalankan teori menuju fakta.
Sebenarnya dalam kerangka pemikiranku, dari teori menuju fakta adalah biasa. Sebabnya agama islam selalu mengajurkan itu: teori yang ke fakta. Ilmu yang beramal. Amal yang berilmu. Namun ketika dihadapkan dari tradisi barat (ya keislaman adalah dari tradisi timur) maka itu menjadi sesuatu yang rumit, sesuatu yang sarat dengan rangkaian teori dan sibuk dengan totalitas keadaan yang ada, dan berserta dengan seluk beluk tatanan yang komplek dan bahasa yang berbaur-baur atau bahasa yang berbunga-bunga; artinya berbunga-bunga adalah tentang keadaan yang berlangsung, yakni pencampuran terhadap ketotalitasan yang ada, kemudian diharapkan menjadi laksana.
Itulah teori kritis. tujuannya untuk menjadikan individu yang bebas dari tekanan sesuatu yang meneakannya, entah itu kekuasaan atau tentang keperpolitikan, atau tentang keperuangan.
Karena sebelumnya saya kurang membaca totalitas filsafat per tiap-tiap pemikirannya, mendadak saya seperti terseret untuk mengerti tokoh-tokoh dari teks-teks yang ada. wah kenalanku kini adalah orang-orang eropa, orang-orang jerman, sekelas professor-professor: waw… kenalanku orang-orang yang cerdas gemilang. Padahal kami tidak pernah kenalan, tidak pernah kebersapaan.
Tapi sepertinya aku laksana menyapa mereka, kearena saya membaca perihal mereka. Tentu saja, pembacaanku ini, gaya pembacaanku ini adalah kontekstual, artinya, ketika membaca saya persis dihadapkan orangnya, artinya dia seperti berbicara kepada saya: begini… begini… begini…
Dan ketika saya dihadapkan hal yang berakaitan dengan teori kritis, yang perkemabngan zaman yangeterjadai, maka diriku perlahan-lahan terpengaruh mereka untuk menjadi kritis terhadap realitas yang terjadi. Gayanya begitu. gayanya menjadi laksana terikut-ikutan dengan sesuatu yang terbaca. Walaupun pada nyatanya, pada faktanya:
Saya masih menjalani fakta-fakta yang terjadi, mengamati tentang media, tentang informasi dan menjalin kehidupan sebagaimana hidup yang berjalan. hanya saja, ada agak perbedaannya: yakni pengetahuanku—sesuatu yang mengumpuk-umpuk di dalam pikiran berkaitan dengan pembacaan realitas—semakin terbaca, semakin membaca detail-detail tentang kemanusiaan; seakan mendapati apa-pun berkaitan dengan sebab-musabab dan berhati-hati. Namun disisi yang lain, saya pun tetap berperan sebagaimana saya biasanya:
Menjalani realitas yang terjadi, menjalani keagamaan, dan kadang menonton televise, dan kadang membaca. tujuannya, berupaya menangkap pengetahuan—sesuaut yang mengumpuk-umpuk di dalam pemikiran hingga kemudian mencari garis besar, yakni kepemahaman—yang kemudian sesekali dituangkan lewat kata-kata.
Dan perkenalan teori kritis itu tidak berakhir sampai disini, aritnya saya masih agak perlu mematai perihal teori kritis itu, dan hal itu tentu saja terdukung karena status ‘pendidikan’ saya belum kelar. Andai mungkin semakin kelar, mungkin, bisa jadi, teori kritis itu tidak lagi menjadi terbaca oleh pembacaanku. Atau mungkin sebagai loncatan saja sesekali mengkaji yang itu berpetualangan ke pemikiran orang-orang eropa dengan keadaan bangsa eropanya. Demikian.
Karena saya hendak menganlisis yang kritis itu, maka saya mencari tahu tentang informasi analisis kritis itu. saya dapati: jreng. Sebuah teori yang itu menyentuh realitas kongkrit di era postmodern, di era yang sekarang terjadi, di era yang sekarang berlangsung, dimana itu adalah upaya menjalankan teori menuju fakta.
Sebenarnya dalam kerangka pemikiranku, dari teori menuju fakta adalah biasa. Sebabnya agama islam selalu mengajurkan itu: teori yang ke fakta. Ilmu yang beramal. Amal yang berilmu. Namun ketika dihadapkan dari tradisi barat (ya keislaman adalah dari tradisi timur) maka itu menjadi sesuatu yang rumit, sesuatu yang sarat dengan rangkaian teori dan sibuk dengan totalitas keadaan yang ada, dan berserta dengan seluk beluk tatanan yang komplek dan bahasa yang berbaur-baur atau bahasa yang berbunga-bunga; artinya berbunga-bunga adalah tentang keadaan yang berlangsung, yakni pencampuran terhadap ketotalitasan yang ada, kemudian diharapkan menjadi laksana.
Itulah teori kritis. tujuannya untuk menjadikan individu yang bebas dari tekanan sesuatu yang meneakannya, entah itu kekuasaan atau tentang keperpolitikan, atau tentang keperuangan.
Karena sebelumnya saya kurang membaca totalitas filsafat per tiap-tiap pemikirannya, mendadak saya seperti terseret untuk mengerti tokoh-tokoh dari teks-teks yang ada. wah kenalanku kini adalah orang-orang eropa, orang-orang jerman, sekelas professor-professor: waw… kenalanku orang-orang yang cerdas gemilang. Padahal kami tidak pernah kenalan, tidak pernah kebersapaan.
Tapi sepertinya aku laksana menyapa mereka, kearena saya membaca perihal mereka. Tentu saja, pembacaanku ini, gaya pembacaanku ini adalah kontekstual, artinya, ketika membaca saya persis dihadapkan orangnya, artinya dia seperti berbicara kepada saya: begini… begini… begini…
Dan ketika saya dihadapkan hal yang berakaitan dengan teori kritis, yang perkemabngan zaman yangeterjadai, maka diriku perlahan-lahan terpengaruh mereka untuk menjadi kritis terhadap realitas yang terjadi. Gayanya begitu. gayanya menjadi laksana terikut-ikutan dengan sesuatu yang terbaca. Walaupun pada nyatanya, pada faktanya:
Saya masih menjalani fakta-fakta yang terjadi, mengamati tentang media, tentang informasi dan menjalin kehidupan sebagaimana hidup yang berjalan. hanya saja, ada agak perbedaannya: yakni pengetahuanku—sesuatu yang mengumpuk-umpuk di dalam pikiran berkaitan dengan pembacaan realitas—semakin terbaca, semakin membaca detail-detail tentang kemanusiaan; seakan mendapati apa-pun berkaitan dengan sebab-musabab dan berhati-hati. Namun disisi yang lain, saya pun tetap berperan sebagaimana saya biasanya:
Menjalani realitas yang terjadi, menjalani keagamaan, dan kadang menonton televise, dan kadang membaca. tujuannya, berupaya menangkap pengetahuan—sesuaut yang mengumpuk-umpuk di dalam pemikiran hingga kemudian mencari garis besar, yakni kepemahaman—yang kemudian sesekali dituangkan lewat kata-kata.
Dan perkenalan teori kritis itu tidak berakhir sampai disini, aritnya saya masih agak perlu mematai perihal teori kritis itu, dan hal itu tentu saja terdukung karena status ‘pendidikan’ saya belum kelar. Andai mungkin semakin kelar, mungkin, bisa jadi, teori kritis itu tidak lagi menjadi terbaca oleh pembacaanku. Atau mungkin sebagai loncatan saja sesekali mengkaji yang itu berpetualangan ke pemikiran orang-orang eropa dengan keadaan bangsa eropanya. Demikian.
Belum ada Komentar untuk "Aku dan Teori Kritis"
Posting Komentar