Demokrasi dan Fungsi Kesejarahannya di Negeri Arab
Selasa, 18 September 2018
Tambah Komentar
Saya menulis ini mengikuti judul, sekedar judul yang dibuat oleh Pak Muhammad Abed Al-Jabiri: sebenarnya beliau menjelaskan hal itu, namun saya menuliskan dengan gaya saya. Dengan daya tangkap saya terhadap suatu ‘terma’ yang dibahas. Alasan ini saya buat, supaya saya nanti mau membaca dari apa yang Pak Muhammad Abed al-Jabiri. Membaca dalam arti, menangkap apa yang Pak Muhammad Abed Al-Jabiri ungkapkan.
Caranya, saya tulis judul besar. Lalu saya tuliskan sub-babnya.
Demokrasi dan Fungsi kesejarahan di Negeri Arab
Kalau berbicara negeri arab, berarti negeri yang ada pada territorial arab. negeri yang berbahasa arab. negerti yang biasanya dikenal dengan jazirah arab. seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Syuriah, Mesir, Yordania, Sudan dan lainnya yang dikenal jazirah arab; yang itu mengenal dengan akrab berbahasa arab.
Sebagaimana diketahui, bahwa jazirah arab, disirami oleh pengetahuan kenabian; turun temurun lebih mempunyai Sesuatu akan kenabiaan. Sekali pun dulu, ada pemerintahan yang berdiri – tentu ini agak di bedakan dengan arab Saudi dan sekitaranya; yang sejak kemunculan Negara di Mekah, yang itu di tanah tandus. Cerita dari anaknya Nabi Ibrahim as, yang ditempatkan di tanah tandus, yakni Nabi Ismail as bersama ibunya. Itulah tuntutan Allah; menghendaki untuk Nabi Ibrahim As memindahkan anak dan isterinya ke tanah yang tandus. Ada yang mengisahkan: bahwa keperindahannya dikarenanakan isteri pertama Nabi, Sayyida Sarah, sudah tidak tahan lagi dengan isteri keduanya, Sayyida Hajar dan puteranya; maka Allah menurunkan ‘mewahyukan’ untuk memindahkan anak yang dinanti dan ibunya ke tanah yang dijanjikan Allah, yaitu mekah. Hingga kemudian, Nabi Ismail as kecil merasa kehausan: lalu Sayyida Hajar berlarian ke bukit safa dan marwah, kegiatan itu, keresahan, dan ketakutan itu dijadikan tanda untuk ritual haji. Dengan kemuculan air dari kaki Nabi Ismail as, mekah yang waktu itu tandus, kemudian di datangi oleh burung-burung yang terbang ke atasnya, mencari air minum, maka orang-orang kelompok pun berdatangan. Kelompok itu telah mempunyai nama demi nama dan mempunyai kekuasaan. Diceritakan pada Mukadimah Ibnu Khaldun, bahwa orang arab mekah, yang tandus itu, menjadikan orang-orang berkelompok demi kelompok. Pola-pola kelompok itu tujuannya untuk bertahan hidup. Pola kebertahanan hidup itu menyukai perang dan rampasan. Alasannya, karena berada di tanah tandus.
Kelompok-kelompok itu, lama-lama, berjalannya waktu. tumbuhlah kelompok-kelompok kekeluargaan. Itu sebabnya Ibnu Khaldun seringkali menamakan ashabiyah. Yakni kelompok kekeluargaan yang mementuk arab. yang dengan kelompok itu, maka adanya suatu pertemuan atau mendapatkan suatu keputusan, yakni kesepakatan antar kaum.
Tradisi itu terus menerus terjadi. hingga kemudian, ketika Kanjeng Nabi Muhammad datang. Orang-orang arab telah sangat akrab dengan kelompok dan mempunyai kesepakatan. Yang ketika islam ada; maka tradisi kepermusywarahan atua pembicaraan yang disepakati adalah hal wajar. Dan kemudian, menjadi ‘sesuatu’—hampir saya katakan: hukum—yang kemudian meresap di dalam al-quran. Penting diingat, bahwa ayat-ayat al-quran, itu adalah kalamullah yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya, dan hampir semua ayat –kalau kita membaca ulang Syaikh Sayuti ra—telah diturunkan oleh nabi, kecuali al-fatihah, ayat kursi, dan ayat terakhir dari surat al-baqoroh--ah untuk soal ini; saya masih ragu—) yakni system kekerajaan itu menjadi keumuman potret dunia.
Gelegat dunia, secara umum menjalankan bentuk kerajaan, mulai dari cinta, mesir, romawi dan india dan tentu di Nusantara juga bercorak kerajaan. Ingatlah, bahwa diera islam itu tahun 600 Masehi. Tentu di Romawi waktu itu sangat kental dengan kekerajaan dan bahwa system kerajaan dikuati oleh gerejawan (ulama-ulama, geraja). Begitu juga yang ada di Mesir, dan juga yang ada Nusantara. Di tahun 600 Masehi, Nusantara berbentuk kerajana yang dengan itu juga dikuati oleh agama hindu-budha. Itulah sejarahnya.
Perjalanan waktu, pergerakan waktu, menggeserkan dari bentuk kerajaan menjadi bentuk kepresidenan. Hal itu, lebih mencorong di sekitar 1900 Masehi, di saat dunia waktu itu, hampir secara keumuman ditebari oleh kolonialisme, yang kemudian, terjadilah perang dunia 2. Dan disaat itu juga, di Nusantara pun mulai membentuk pemerintahan yang teruntuk ‘kemerdekan’ dan menyelenggarakan proses bernegara sebagiamana Negara-negara yang lain: yang di pimpin oleh orang pribumi, dan berdaya diperlakukan adil seadil-adilnya sebagai manusia. bukan penjajahan dan kesewenang-wenengan.
Dan gaya yang paling digemari untuk model kepemerintahan adalah demokrasi. Demokrasi adalah dari rakyat untuk rakyat. Yang kalau di negeri arab terjadi demokrasi, tentu terjadilah kesatuan yang bertujuan satu: yaitu kesatuan manusia arab. itu sebabnya demokrasi menjadi tuntutan di negeri arab. bukan hanya arab yang itu mekah-madinah, melainkan negeri arab.
2018
Caranya, saya tulis judul besar. Lalu saya tuliskan sub-babnya.
Demokrasi dan Fungsi kesejarahan di Negeri Arab
1 Demokrasi sebagai sebuah tuntutan di Negeri Arab
(Demokrasi kui dadi tut tut an ‘sing di nut’ nggo negeri Arab) bahasa jawa.Kalau berbicara negeri arab, berarti negeri yang ada pada territorial arab. negeri yang berbahasa arab. negerti yang biasanya dikenal dengan jazirah arab. seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Syuriah, Mesir, Yordania, Sudan dan lainnya yang dikenal jazirah arab; yang itu mengenal dengan akrab berbahasa arab.
Sebagaimana diketahui, bahwa jazirah arab, disirami oleh pengetahuan kenabian; turun temurun lebih mempunyai Sesuatu akan kenabiaan. Sekali pun dulu, ada pemerintahan yang berdiri – tentu ini agak di bedakan dengan arab Saudi dan sekitaranya; yang sejak kemunculan Negara di Mekah, yang itu di tanah tandus. Cerita dari anaknya Nabi Ibrahim as, yang ditempatkan di tanah tandus, yakni Nabi Ismail as bersama ibunya. Itulah tuntutan Allah; menghendaki untuk Nabi Ibrahim As memindahkan anak dan isterinya ke tanah yang tandus. Ada yang mengisahkan: bahwa keperindahannya dikarenanakan isteri pertama Nabi, Sayyida Sarah, sudah tidak tahan lagi dengan isteri keduanya, Sayyida Hajar dan puteranya; maka Allah menurunkan ‘mewahyukan’ untuk memindahkan anak yang dinanti dan ibunya ke tanah yang dijanjikan Allah, yaitu mekah. Hingga kemudian, Nabi Ismail as kecil merasa kehausan: lalu Sayyida Hajar berlarian ke bukit safa dan marwah, kegiatan itu, keresahan, dan ketakutan itu dijadikan tanda untuk ritual haji. Dengan kemuculan air dari kaki Nabi Ismail as, mekah yang waktu itu tandus, kemudian di datangi oleh burung-burung yang terbang ke atasnya, mencari air minum, maka orang-orang kelompok pun berdatangan. Kelompok itu telah mempunyai nama demi nama dan mempunyai kekuasaan. Diceritakan pada Mukadimah Ibnu Khaldun, bahwa orang arab mekah, yang tandus itu, menjadikan orang-orang berkelompok demi kelompok. Pola-pola kelompok itu tujuannya untuk bertahan hidup. Pola kebertahanan hidup itu menyukai perang dan rampasan. Alasannya, karena berada di tanah tandus.
Kelompok-kelompok itu, lama-lama, berjalannya waktu. tumbuhlah kelompok-kelompok kekeluargaan. Itu sebabnya Ibnu Khaldun seringkali menamakan ashabiyah. Yakni kelompok kekeluargaan yang mementuk arab. yang dengan kelompok itu, maka adanya suatu pertemuan atau mendapatkan suatu keputusan, yakni kesepakatan antar kaum.
Tradisi itu terus menerus terjadi. hingga kemudian, ketika Kanjeng Nabi Muhammad datang. Orang-orang arab telah sangat akrab dengan kelompok dan mempunyai kesepakatan. Yang ketika islam ada; maka tradisi kepermusywarahan atua pembicaraan yang disepakati adalah hal wajar. Dan kemudian, menjadi ‘sesuatu’—hampir saya katakan: hukum—yang kemudian meresap di dalam al-quran. Penting diingat, bahwa ayat-ayat al-quran, itu adalah kalamullah yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya, dan hampir semua ayat –kalau kita membaca ulang Syaikh Sayuti ra—telah diturunkan oleh nabi, kecuali al-fatihah, ayat kursi, dan ayat terakhir dari surat al-baqoroh--ah untuk soal ini; saya masih ragu—) yakni system kekerajaan itu menjadi keumuman potret dunia.
Gelegat dunia, secara umum menjalankan bentuk kerajaan, mulai dari cinta, mesir, romawi dan india dan tentu di Nusantara juga bercorak kerajaan. Ingatlah, bahwa diera islam itu tahun 600 Masehi. Tentu di Romawi waktu itu sangat kental dengan kekerajaan dan bahwa system kerajaan dikuati oleh gerejawan (ulama-ulama, geraja). Begitu juga yang ada di Mesir, dan juga yang ada Nusantara. Di tahun 600 Masehi, Nusantara berbentuk kerajana yang dengan itu juga dikuati oleh agama hindu-budha. Itulah sejarahnya.
Perjalanan waktu, pergerakan waktu, menggeserkan dari bentuk kerajaan menjadi bentuk kepresidenan. Hal itu, lebih mencorong di sekitar 1900 Masehi, di saat dunia waktu itu, hampir secara keumuman ditebari oleh kolonialisme, yang kemudian, terjadilah perang dunia 2. Dan disaat itu juga, di Nusantara pun mulai membentuk pemerintahan yang teruntuk ‘kemerdekan’ dan menyelenggarakan proses bernegara sebagiamana Negara-negara yang lain: yang di pimpin oleh orang pribumi, dan berdaya diperlakukan adil seadil-adilnya sebagai manusia. bukan penjajahan dan kesewenang-wenengan.
Dan gaya yang paling digemari untuk model kepemerintahan adalah demokrasi. Demokrasi adalah dari rakyat untuk rakyat. Yang kalau di negeri arab terjadi demokrasi, tentu terjadilah kesatuan yang bertujuan satu: yaitu kesatuan manusia arab. itu sebabnya demokrasi menjadi tuntutan di negeri arab. bukan hanya arab yang itu mekah-madinah, melainkan negeri arab.
2018
Belum ada Komentar untuk "Demokrasi dan Fungsi Kesejarahannya di Negeri Arab"
Posting Komentar