Di zaman Postmodern
Selasa, 18 September 2018
Tambah Komentar
“Apalagi ini nama zamannya, postmodern. Apa itu?”
Jawabku, “Suatu keadaan ketika modern itu telah menjadi pos. Seperi post kampling. Kantor post. Yakni semacam terminalnya post modern. Begitu. Nah keadaan di zamannya post modern, tentu saj, semakin canggih dibanding modern. Namanya juga telah mengepos. Hal itu dikatakan oleh pemikiran-pemikirnya. Mengapa mampu dituliskan pemikirnya: karena mereka memikirkan keadaan yang terjadi, realitas yang terjadi. Hingga kemudian, pemikirannya di setujui oleh orang-orang lain, maka jadilah pemikiranya.
Buku karya dr Akhyar Yusuf Lubis, menuliskan, “Derrida misalnya mengemukakan kritik radikal terhadap paradigm ilmiah modern melalui metode dekontruksinya. Filsuf perancis ini secara tegas menolak logosentrisme dan teori sebagai cerminan realitas. sementara itu, Michel Foucault mengemukakan metode arkeologi, genealogi, dan analisis diskursus (wacana) yang prinsipnya juga identik dengan dekontruksi terhadpa paradigma ilmiah modern. Wacana, menurut Foucault, tidak saja mengemukakan realitas, akan tetapi juga dapat menyembunyikan kuasa dan kepentingan yang mengemukakannya. Adapun pemikiran Derrida dan Michel Foucault ini (juga pemikiran Lyotard) oleh Richard Rorty disimpulkan sebagai bentuk ‘kematian epistemology fundalisme’, epistemology fundasionalisme adalah suatu epistemology yang mendukung atau mempercayai kebenaran teori sebagai representasi dari realitas (mirror theory). Adapun Rorty kemudian mengganti epistemology fundasional (isme) itu dengan metode hermeunetika. Dengan ini, hermeneutika (postmodern) membuka ruang bagi penafsir bebas.
Sementara itu, Pierre Bourdieu mengajukan metode ‘Strukturasi konstruktif’ dan Anthony Giddens mengemukakan metode ‘sturkturasi’. Kedua pemikir ini mencoba mengatai pandangan ekstrem metode sosiologi dan antropologi yang berada pada dua kutub bersebrangan: objektivisme versus subjektivisme, makro versus mikro dan struktur versus agensi. Metode strukturasi yang diajukan dua filsuf ini mencoba mengatai atau mensinteskan kedu akutub bersebrangan itu. meskipun terasa lebih mudah dicerna dan diterapkan, metodologi yang dikemukakan Bourdieu ataupun Giddens tetap senapas dengan metodologi dari Derrida dan Foucault.
Berbeda dengan tokoh atau filsuf lain, Jean Baudrillard, mengemukakan konsep simulacra, hippereality atau realitas sebagai tanda, konstruksi dan citraan. Jika kita menghadapi realitas sebagai konstruksi atau realitas sebagai citraan, maka tidaklah mungkin kita menganalisisnya dengan menggunakan metode empiris-eksperimental. Di sinilah kita membutuhkan metode lain dan baru. Semiotika, umpamanya, adalah termasuk salah satu metode baru dan banyak digunakan. Semiotika adalah salah satu metode untuk memahami dan menjealskan realitas virtual. Realitas virtual adalah realitas yang dilihat sebagai tanda dan untuk memahami dan menjelaskan makna serta tanda-tanda tersebut, metode semiotika termasuk metode yang tepat. Metode semiotika lebih menghargai kreativitas dan imajinasi untuk memaknai budaya (Teks) secara terbuka, lebih personal, puitis, dan politis ketimbang sebagai ‘laporan ilmiah’ yang menuntut kejelasan.”
Begitulah pemikiran umumnya. Mereka telah menjadi umum, walau pun mereka adalah beberapa orang saja. dengan seperti itu, maka menjadi sesuatu yang banyak, karena karya mereka dibaca oleh orang banyak, termasuk aku, dan kemudian kamu. Itulah zaman dimana kita berada ini. sekali pun kehidupan, pada dasarnya juga masih sama: seperti yang dulu-dulu, namun penampakan dari kehidupan ini (manusia-manusia serta alat-alat yang dikenakan manusia) itu berbeda dengan zaman yang telah berlalu. Begitulah gambaran sedikit tentang postmodern, atau gambaran sedikit tentang tokoh postmodern.”
2018
Belum ada Komentar untuk "Di zaman Postmodern"
Posting Komentar