Berpikir Gaya Karl Mark, Nietzsche Atau Pun Sockrates
Kamis, 27 September 2018
Tambah Komentar
Berpikir Gaya Karl Mark, Nietzsche Atau Pun Sockrates - Setiap kita mampu berpikir. Entah itu berpikir pada hal yang dangkal, atau berpikir pada hal yang mendalam. Entah itu mempunyai teori atua pun tidak. Namun dalam kehidupan, setiap manusia mampu berpikir—setidaknya buat keumuman manusia.
Dalam kehidupan, pada realitas sehari-hari, manusia mempunyai putusan-putusan. Alat keputusan yang digunakan adalah kata dan laksana.
Kata adalah ucapan atau pun tulisan. Laksana adalah gerak tubuh atau sikap yang dijalankan.
Sikap mengikuti atau sikap menolak. Begitulah pada proses kehidupan yang terjadi.
Namun akan terjadi berbeda dengan kasus orang-orang ini, misalnya. Mereka dikenal filsuf. Pemikir. Namun mereka berdaya diri melepaskan dari system yang berlaku. Artinya, tidak ada pada era pendidikan. Namun menerobos dari pendidikan.
Karl Mark menulis melalui esai-esai, kemudian menulis buku. Tujuannya untuk kaum buruh. Menggerakan kaum buruh. Bersamaan dengan itu, maka dengan ‘objek’ buruh, ia menyebar kemana-mana; sekali pun konsentrasinya adalah penguasaha dan perburuhan.
Ia tidak menyerang kaum pendidikan, namun tulisannya diarahkan kepada kaum buruh yang bertugas di perusahaan. Dengan itu, maka beliau dikenal juga dengan ekonom.
Namun tidak melalui jalur keilmuan. Tidak melalui akademik.
Begitu juga dengan Nietzsche, ia menulis. Namun tulisannya tidak mengacu pada suatu hal yang ramai di kala itu. ia menulis dengan gaya aforisme. Malah bahkan dengan gaya sastra, namun bukan dikatakan karya sastra, sekali pun isinya berkaitan erat dengan novel. Namun di sana, terutuang pemikirannya. Pemikirannya. Pemikiran yang bergaya khas dialog; ala plato atau gaya Socrates. Bersamaan dengan itu, Nietzsche menjadi salah seorang yang dikenal pada kajian filsafat.
Kemudian tokoh yunani klasik, yakni Socrates, tentu saja bersama dengan muridnya, Plato, dan menurun kepada muridnya lagi: Aristoteles, yang mana itu seperti melawan ars yang ada. menjadi pembaruan dikala zamannya.
Sepertinya, gayaku ini, terpengaruh juga dengan gaya-gaya mereka, yang berupaya menampakkan diri, ditengah kebutuhan ilmu yang itu mendesakkan perihal referensi dan kebenaran objektif. Tujuan saya, tentu saja, bahwa kita harus selesai perihal objekif yang disangkal itu: maka marilah menuju saat ini. menuju realitas yang itu dibersamai dengan keilmuan: artinya, sains memang boleh, namun harus diseimbangkan lagi dengan agama. Sebab, jika sains tidak disandingkan dengan agama, jadinya kaku.
Sains berdiri sendiri, dan kemudian, persis memadamkan orang yang hendak meraihnya, karena zaman sekarang loncatan zaman semakin canggih dan cepat, maka orang sains mampu saja lebih jauh: namun tetakan saya, bahwa realitas sebagaimana adanya dan manusia membutuhkan realitas yang apaadanya itu; jalin menjalin. Itulah tujuan besar dari apa yang kulakukan.
Ilmu tidak sekedar nganggur dan ngangkrak di gudang keilmuan, melainkan ada relevasinya dengan nyata. dan ada relevansinya itu tidak ada pada sidang-sidang keilmuan: artinya ada keberlangsungan, continue. Terus menerus.
Sebab kehidupan, kebutuhan untuk hidup terus menerus, tidak berkehenti kecuali sedang tidur. Dengan nyalanya agama, maka manusia semakin terbatas atas nafsu-kemanusiaannya, yakni berdaya diri untuk melampaui manusia, sebab orientasi sains, mampu saja, mengefekkan pada pelampauaan kemanusiaan.
Bersama dengan hal-hal itulah saya menulis. Jika dikatakan, “bagaimana dengan realitasmu?”
Jawabku, “saya membutuhkan untuk meyakini realitas praktisku. Karena realitas praktisku membutuhkan sesuatu yang disebut ilmu untuk menjalinkan manusia yang sempurna: yakni menikmati dunia, dan tidak mengabaikan nilai-didalam dirinya, nilai batin. Untuk mendapatkan nilai dunia maka dibutuhkan ilmu dunia, untuk mendapatkan nilai batin, maka dibutuhkan nilai batin. Namun harapanku: keduanya mampu berjalan bersama, dan itu menjadi satu. Apakah bisa? Saya berharap bisa. Siapa yang hendak menjalankan? Jawabnya: saya belajar untuk berjalan.”
Dalam kehidupan, pada realitas sehari-hari, manusia mempunyai putusan-putusan. Alat keputusan yang digunakan adalah kata dan laksana.
Kata adalah ucapan atau pun tulisan. Laksana adalah gerak tubuh atau sikap yang dijalankan.
Sikap mengikuti atau sikap menolak. Begitulah pada proses kehidupan yang terjadi.
Berpikir Gaya Karl Mark, Nietzsche Atau Pun Sockrates
Di era yang sarat dengan pengetahuan, dan system pengetahuan yang ketat dan kuat. Atau bahkan system kehidupan, tatanan kehidupan pun sarat dengan ‘gelar’ system kehidupan; sementara itu, kehidupan itu adalah realitas praktis. Menjalani realitas dan bertemu dengan realitas yang lain. dan disana, terdapat perjumpaan keputusan demi keputusan.Namun akan terjadi berbeda dengan kasus orang-orang ini, misalnya. Mereka dikenal filsuf. Pemikir. Namun mereka berdaya diri melepaskan dari system yang berlaku. Artinya, tidak ada pada era pendidikan. Namun menerobos dari pendidikan.
Karl Mark menulis melalui esai-esai, kemudian menulis buku. Tujuannya untuk kaum buruh. Menggerakan kaum buruh. Bersamaan dengan itu, maka dengan ‘objek’ buruh, ia menyebar kemana-mana; sekali pun konsentrasinya adalah penguasaha dan perburuhan.
Ia tidak menyerang kaum pendidikan, namun tulisannya diarahkan kepada kaum buruh yang bertugas di perusahaan. Dengan itu, maka beliau dikenal juga dengan ekonom.
Namun tidak melalui jalur keilmuan. Tidak melalui akademik.
Begitu juga dengan Nietzsche, ia menulis. Namun tulisannya tidak mengacu pada suatu hal yang ramai di kala itu. ia menulis dengan gaya aforisme. Malah bahkan dengan gaya sastra, namun bukan dikatakan karya sastra, sekali pun isinya berkaitan erat dengan novel. Namun di sana, terutuang pemikirannya. Pemikirannya. Pemikiran yang bergaya khas dialog; ala plato atau gaya Socrates. Bersamaan dengan itu, Nietzsche menjadi salah seorang yang dikenal pada kajian filsafat.
Kemudian tokoh yunani klasik, yakni Socrates, tentu saja bersama dengan muridnya, Plato, dan menurun kepada muridnya lagi: Aristoteles, yang mana itu seperti melawan ars yang ada. menjadi pembaruan dikala zamannya.
Sepertinya, gayaku ini, terpengaruh juga dengan gaya-gaya mereka, yang berupaya menampakkan diri, ditengah kebutuhan ilmu yang itu mendesakkan perihal referensi dan kebenaran objektif. Tujuan saya, tentu saja, bahwa kita harus selesai perihal objekif yang disangkal itu: maka marilah menuju saat ini. menuju realitas yang itu dibersamai dengan keilmuan: artinya, sains memang boleh, namun harus diseimbangkan lagi dengan agama. Sebab, jika sains tidak disandingkan dengan agama, jadinya kaku.
Sains berdiri sendiri, dan kemudian, persis memadamkan orang yang hendak meraihnya, karena zaman sekarang loncatan zaman semakin canggih dan cepat, maka orang sains mampu saja lebih jauh: namun tetakan saya, bahwa realitas sebagaimana adanya dan manusia membutuhkan realitas yang apaadanya itu; jalin menjalin. Itulah tujuan besar dari apa yang kulakukan.
Ilmu tidak sekedar nganggur dan ngangkrak di gudang keilmuan, melainkan ada relevasinya dengan nyata. dan ada relevansinya itu tidak ada pada sidang-sidang keilmuan: artinya ada keberlangsungan, continue. Terus menerus.
Sebab kehidupan, kebutuhan untuk hidup terus menerus, tidak berkehenti kecuali sedang tidur. Dengan nyalanya agama, maka manusia semakin terbatas atas nafsu-kemanusiaannya, yakni berdaya diri untuk melampaui manusia, sebab orientasi sains, mampu saja, mengefekkan pada pelampauaan kemanusiaan.
Bersama dengan hal-hal itulah saya menulis. Jika dikatakan, “bagaimana dengan realitasmu?”
Jawabku, “saya membutuhkan untuk meyakini realitas praktisku. Karena realitas praktisku membutuhkan sesuatu yang disebut ilmu untuk menjalinkan manusia yang sempurna: yakni menikmati dunia, dan tidak mengabaikan nilai-didalam dirinya, nilai batin. Untuk mendapatkan nilai dunia maka dibutuhkan ilmu dunia, untuk mendapatkan nilai batin, maka dibutuhkan nilai batin. Namun harapanku: keduanya mampu berjalan bersama, dan itu menjadi satu. Apakah bisa? Saya berharap bisa. Siapa yang hendak menjalankan? Jawabnya: saya belajar untuk berjalan.”
Belum ada Komentar untuk "Berpikir Gaya Karl Mark, Nietzsche Atau Pun Sockrates"
Posting Komentar