Tujuan Eksistensi
Senin, 24 September 2018
Tambah Komentar
Tujuan Eksistensi dan Tujuan saya bereksis (memberada) tentu untuk menjadi ada. menjadi ada dalam arti, terakui bahwa aku ada. Termasuk juga dengan pemikiranku, bahwa pemikiranku itu ada. yang manam tujuan lain dari ‘memberada’ adalah mendapat dukungan dari untuk lebih memberada.
Hal itu diawali pada proses pencarian diri, kemudian berefek kepada diri keluarga, hingga kemudian mengefek kepada lingkungan. Maka sudah pasti, pembicaraan ini berhubungan erat dengan pola structural dan pola psikologi lingkungan yang membentuk keperibadian. Bahwasanya, kepribadian itu terbentuk dari kondisi lingkungan yang ada.
Maka untuk lebih mengerti lingkungan adalah pengabaran tentang lingkungan itu; hal itu masih berhubungan dengan pencarian-diri yang masih membutuhkan ‘perakuan’ untuk ada. maka jalan untuk ‘perakuan’ itu ialah dengan komunikasi.
Dalam hal ini, komunikasi yang kubuat adalah komunikasi kata; komunikasi di dunia maya. Yang awalnya saya komunikasikan kepada guruku (seseorang yang besar mempengaruhi pemikiranku:
bersamanya, kami berdialog, kami berbicara; guru yang itu laksana teman. tentu saja, ini perakuanku. Bahwa saya mengakunya, sebab ketika berdialog saya persis dihadapkan layaknya teman yang saling berbicara; seperti teman akrab. Mendadak saya seperti terakrabkan dengannya. artinya, orang yang pas untuk pembicaraan. Bersama itu, ketika saya berjarak dengannya, saya masih membutuhkan komunikasi. Ternyata, komunikasi itu kalau secara langsung terkurangkan, maka saya gunakan ‘tulisan’ untuk alat komunikasi) kemudian merambah kepada teman-teman. yang kemudian, terkomunkasikan kepada masyarakat.
Lama-lama, karena pembacaan saya mungkin semakin ‘menjadi’; artinya pengetahuan saya semakin bertambah. Hingga kemudian, saya berdaya mendialogkan sekelas masyarakat. Sasaran utama adalah desaku: hal itu sebenarnya masih berkaitan dengan pencarian-diri, yang lama-lama menuju kepada desa, atau lama-lama meruncing kepada desa.
Awalnya tentu saja berhubungan dengan sejarah filsafat. Sejarah totalitas filsafat. Mulai dari era klasik sampai era kontemporer: mulai keadaan manusianya, hingga tokoh-tokoh filsafatnya. Lamat-lamat, saya dapati bahwa zaman ini orientasinya ialah logosentrisme. Orientasinya ada pada kesibukan kata, kesibukan bahasa. Sementara diriku, seakan menolak kalau kita hanya bersibuk pada kata, harusnya juga secara fakta. Kata (Teori) itu perlu, tapi teori membutuhkan fakta. Teori membutuhkan fakta.
Hal itu pun terjadi karena status diriku, berada di lingkungan yang itu beragama, dan lebih-lebih agama islam, mengajarkan untuk: amal (praktek) yang ilmu (teori). Sebabnya, sebagaimana diketahui, bangungan ‘epistemologi’ islam selalu menyumber dua kata kunci: Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun iman berorientasi pada teori (ilmu), sementara rukun islam berorientasi pada praktek (amal)
Namun sayangnya, kalau saya sibuk pada rangkaian di atas. Rangkaian kata di atas, maka termasuklah saya golongan orang bersibuk pada teks. orang yang bersibuk pada kata-kata (pada teori). Maka untuk memfaktakan membutuhkan wadah yang tepat, yakni tubuhku sendiri.
Awalnya begitu, tubuhku sendiri menjadi wadah untuk bersatunya ilmu dan praktek. Namun semakin saya jalani: ternyata, praktek itu tidak semudah yang saya pikirkan. Apalagi keislaman. untuk menjadi istiqomah, tidak semudah berkata-kata. maka dibutuhkanlah teman atau orang lain untuk saling mendukung terhadap kepraktekan hal tersebut.
Namun ternyata, ketika saya semakin praktek atau interaksi dengan orang-orang, saya seperti menemukan sesuatu: yakni ternyata orang-orang laksana tidak ‘memahami’ sejarah keberadaannya, enggan ‘mempelajari’ keberadaannya. Memang, kalau ditanyakan: mereka mengetahui, namun mereka tidak memahami akan keberadananya. Sebab, pikirku, jikalau mereka mengerti akan keberadaannya:
Manusia akan jalin menjalin dengan yang lain. persoalan miskin dan kaya bagi manusia adalah biasa. Persoalan suka dan duka adalah manusiawi. dan manusia itu saling bantu membantu dalam hal ekonomi maupun ruhani: itulah didalam pikiranku. memang manusia pada dasarnya adalah individualis, namun manusia ini (manusia yang beragama. manusia yang beragama islam) dan mereka juga mengerti bahwa manusia bagi manusia islam adalah satu sama lain itu bersaudara, namun: maka mengapa mereka tidak seakan-akan seperti bersaudara? Jauh lebih payahnya, ketika ‘manusia-islam’ ditotalkan pada ketotalan ‘status-islam’ yang ada: maka sudah pasti, semua adalah saudara. Pikirku, “Tapi untuk kasus keluarga saja kepayahan mengakui-sungguh perihal kepersaudaran. Apalagi totalitas keislaman? mungkin memang mereka mengakui saudara, namun kalau mengabaikan tetangganya sendiri, dilingkungannya sendiri: bagaimana ini? orang bisa jadi perhatian dengan lingkungan yang luas, tapi ternyata lingkungan kecil tidak terselesaikan. Bagaimana ini?”
Namun ternyata, keadaan zaman memang menjadi seperti itu, itu sebabnya dibutuhkan pengetahuan tentang keakuan, yang kemudian merembet kepada keakuan-sejarahnya sendiri. lalu kemudian bakal terketemukan tentang budaya diri. Beriringan dengan itu, bakal ditemukan juga tentang pembukaan sejarah: yakni sejarah keagamaan, dan sejarah kenegaraan (sejarah pedesaan): dengan mengetahui itu, mengerti tentang perturan agama dan peraturan Negara. Sayangnya, kasus di era kontemporer adalah kurangnya laksana. Maka sebagimana ajangnya, diri sendiri, penting pelaksanaan apa-apa yang diketahui.
Katanya, “Adanya peraturan untuk dilanggar?”
Kataku, “Kalau kau melanggar kau tidak akan mencapai bahagia.”
Itu sebabnya, kemudian efek lanjutannya ialah tentang kebutuhan akan pengetahuan. Yakni kebutuhan pengetahuan tentang dunia (gampangannya: filsafat atau sains) dan pengetahuan akhirat (ilmu agama). Dengan seperti itu, titik tekan dari upaya ini adalah ‘pembaruan’ terhadap pengetahuan; yang dimaksud pembaruan di sini adalah bahwa yang dikenai pengetahuan atau yang dianjurkan belajar adalah totalitas kemanusiaan yang ada. Sebabnya., lingkungan adalah sesuatu yang mendukung.
Lihatlah kampung Pare, kampung yang terkenal dengan kampung bahasa inggris. Ketika yang tua mendukung tentang ‘bahasa inggris’ maka si pelajar akan dengan mudah menyerap pengetahuan bahasa inggris.
Sementara itu, realitas kita adalah realitas yang total, yang disana bukan saja berorientasi bahasa inggris, namun juga laku kemaysarakat. Maksud saya sesederhana inii: kalau semua turut serta terhadap pembelajarn, ditambah lagi, pembelajaran yang berasaskan agama: maka terjadilah masyrakat yang berpengetahuan yang berasaskan islam. hingga kemudian dikatakanlah: yang membedakan kita adalah keimanan. Begitulah.
Hal itu diawali pada proses pencarian diri, kemudian berefek kepada diri keluarga, hingga kemudian mengefek kepada lingkungan. Maka sudah pasti, pembicaraan ini berhubungan erat dengan pola structural dan pola psikologi lingkungan yang membentuk keperibadian. Bahwasanya, kepribadian itu terbentuk dari kondisi lingkungan yang ada.
Maka untuk lebih mengerti lingkungan adalah pengabaran tentang lingkungan itu; hal itu masih berhubungan dengan pencarian-diri yang masih membutuhkan ‘perakuan’ untuk ada. maka jalan untuk ‘perakuan’ itu ialah dengan komunikasi.
Dalam hal ini, komunikasi yang kubuat adalah komunikasi kata; komunikasi di dunia maya. Yang awalnya saya komunikasikan kepada guruku (seseorang yang besar mempengaruhi pemikiranku:
bersamanya, kami berdialog, kami berbicara; guru yang itu laksana teman. tentu saja, ini perakuanku. Bahwa saya mengakunya, sebab ketika berdialog saya persis dihadapkan layaknya teman yang saling berbicara; seperti teman akrab. Mendadak saya seperti terakrabkan dengannya. artinya, orang yang pas untuk pembicaraan. Bersama itu, ketika saya berjarak dengannya, saya masih membutuhkan komunikasi. Ternyata, komunikasi itu kalau secara langsung terkurangkan, maka saya gunakan ‘tulisan’ untuk alat komunikasi) kemudian merambah kepada teman-teman. yang kemudian, terkomunkasikan kepada masyarakat.
Tujuan Eksistensi dan Tujuan saya bereksis
Artinya, secara pertemuan (secara fakta) yang menggunakan metode dialog (mungkin sejauh ini, metode dialog menjadi metode pertemuan dengan rakyat; karena pada dasarnya, ketika ada perjumpaan maka terjadilah sebuah dialog).Lama-lama, karena pembacaan saya mungkin semakin ‘menjadi’; artinya pengetahuan saya semakin bertambah. Hingga kemudian, saya berdaya mendialogkan sekelas masyarakat. Sasaran utama adalah desaku: hal itu sebenarnya masih berkaitan dengan pencarian-diri, yang lama-lama menuju kepada desa, atau lama-lama meruncing kepada desa.
Awalnya tentu saja berhubungan dengan sejarah filsafat. Sejarah totalitas filsafat. Mulai dari era klasik sampai era kontemporer: mulai keadaan manusianya, hingga tokoh-tokoh filsafatnya. Lamat-lamat, saya dapati bahwa zaman ini orientasinya ialah logosentrisme. Orientasinya ada pada kesibukan kata, kesibukan bahasa. Sementara diriku, seakan menolak kalau kita hanya bersibuk pada kata, harusnya juga secara fakta. Kata (Teori) itu perlu, tapi teori membutuhkan fakta. Teori membutuhkan fakta.
Hal itu pun terjadi karena status diriku, berada di lingkungan yang itu beragama, dan lebih-lebih agama islam, mengajarkan untuk: amal (praktek) yang ilmu (teori). Sebabnya, sebagaimana diketahui, bangungan ‘epistemologi’ islam selalu menyumber dua kata kunci: Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun iman berorientasi pada teori (ilmu), sementara rukun islam berorientasi pada praktek (amal)
Namun sayangnya, kalau saya sibuk pada rangkaian di atas. Rangkaian kata di atas, maka termasuklah saya golongan orang bersibuk pada teks. orang yang bersibuk pada kata-kata (pada teori). Maka untuk memfaktakan membutuhkan wadah yang tepat, yakni tubuhku sendiri.
Awalnya begitu, tubuhku sendiri menjadi wadah untuk bersatunya ilmu dan praktek. Namun semakin saya jalani: ternyata, praktek itu tidak semudah yang saya pikirkan. Apalagi keislaman. untuk menjadi istiqomah, tidak semudah berkata-kata. maka dibutuhkanlah teman atau orang lain untuk saling mendukung terhadap kepraktekan hal tersebut.
Namun ternyata, ketika saya semakin praktek atau interaksi dengan orang-orang, saya seperti menemukan sesuatu: yakni ternyata orang-orang laksana tidak ‘memahami’ sejarah keberadaannya, enggan ‘mempelajari’ keberadaannya. Memang, kalau ditanyakan: mereka mengetahui, namun mereka tidak memahami akan keberadananya. Sebab, pikirku, jikalau mereka mengerti akan keberadaannya:
Manusia akan jalin menjalin dengan yang lain. persoalan miskin dan kaya bagi manusia adalah biasa. Persoalan suka dan duka adalah manusiawi. dan manusia itu saling bantu membantu dalam hal ekonomi maupun ruhani: itulah didalam pikiranku. memang manusia pada dasarnya adalah individualis, namun manusia ini (manusia yang beragama. manusia yang beragama islam) dan mereka juga mengerti bahwa manusia bagi manusia islam adalah satu sama lain itu bersaudara, namun: maka mengapa mereka tidak seakan-akan seperti bersaudara? Jauh lebih payahnya, ketika ‘manusia-islam’ ditotalkan pada ketotalan ‘status-islam’ yang ada: maka sudah pasti, semua adalah saudara. Pikirku, “Tapi untuk kasus keluarga saja kepayahan mengakui-sungguh perihal kepersaudaran. Apalagi totalitas keislaman? mungkin memang mereka mengakui saudara, namun kalau mengabaikan tetangganya sendiri, dilingkungannya sendiri: bagaimana ini? orang bisa jadi perhatian dengan lingkungan yang luas, tapi ternyata lingkungan kecil tidak terselesaikan. Bagaimana ini?”
Namun ternyata, keadaan zaman memang menjadi seperti itu, itu sebabnya dibutuhkan pengetahuan tentang keakuan, yang kemudian merembet kepada keakuan-sejarahnya sendiri. lalu kemudian bakal terketemukan tentang budaya diri. Beriringan dengan itu, bakal ditemukan juga tentang pembukaan sejarah: yakni sejarah keagamaan, dan sejarah kenegaraan (sejarah pedesaan): dengan mengetahui itu, mengerti tentang perturan agama dan peraturan Negara. Sayangnya, kasus di era kontemporer adalah kurangnya laksana. Maka sebagimana ajangnya, diri sendiri, penting pelaksanaan apa-apa yang diketahui.
Katanya, “Adanya peraturan untuk dilanggar?”
Kataku, “Kalau kau melanggar kau tidak akan mencapai bahagia.”
Itu sebabnya, kemudian efek lanjutannya ialah tentang kebutuhan akan pengetahuan. Yakni kebutuhan pengetahuan tentang dunia (gampangannya: filsafat atau sains) dan pengetahuan akhirat (ilmu agama). Dengan seperti itu, titik tekan dari upaya ini adalah ‘pembaruan’ terhadap pengetahuan; yang dimaksud pembaruan di sini adalah bahwa yang dikenai pengetahuan atau yang dianjurkan belajar adalah totalitas kemanusiaan yang ada. Sebabnya., lingkungan adalah sesuatu yang mendukung.
Lihatlah kampung Pare, kampung yang terkenal dengan kampung bahasa inggris. Ketika yang tua mendukung tentang ‘bahasa inggris’ maka si pelajar akan dengan mudah menyerap pengetahuan bahasa inggris.
Sementara itu, realitas kita adalah realitas yang total, yang disana bukan saja berorientasi bahasa inggris, namun juga laku kemaysarakat. Maksud saya sesederhana inii: kalau semua turut serta terhadap pembelajarn, ditambah lagi, pembelajaran yang berasaskan agama: maka terjadilah masyrakat yang berpengetahuan yang berasaskan islam. hingga kemudian dikatakanlah: yang membedakan kita adalah keimanan. Begitulah.
Belum ada Komentar untuk "Tujuan Eksistensi "
Posting Komentar