Mas Tri Teman dan Pengajar
Kamis, 20 September 2018
Tambah Komentar
Mas Tri
Ia bagiku adalah teman sekaligus pengajar. Teman ialah teman duduk, teman gitaran, teman ngobrol (Bukankah begitu semestinya sesuatu yang disebut teman? Nek bahasa jowo: dekne kuwi konco). Sementara pengajar ialah orang yang mengajari. Dalam hal ini, bagiku ada dua hal yang diajari: pertama tentang gitar dan yang kedua tentang bloger atau ngeblog. Dialah mas Tri, bagiku. Teman dan pengajar.
Kepergitaran
Awal perkenalanku denganya karena tempat tinggalnya tidak jauh dengan yang saya tinggali (iki konco kost. Konco kost sing asline yo ora cedak-cedak banget. Ada jarak seko kamarku meng kamare Mas Tri. Sing kuwi ora cedak bangetlah, tapi yo asline mugur beberapa langkah, 20 opo 10 langkah. Hem ora tau tak itung). Terlebih lagi, dia bisa gitaran. Itulah sekurang-kurangnya perkenalanku dengannya. Sebab dia bisa gitaran, maka saya berteman dengannya. Sebabnya saya tidak bisa nyetel gitar, akibatnya dialah yang nyetel (tentang ketepatan nada nggo senar gitar: efek bunyi gitar) gitar. Setelah gitaran tentu saja saya tidak mak wuz menyat. Masak baru meminta tolong langsung pergi, sekurang-kurangnya yo njagong dan juga gitaran.
Gitaran demi gitaran terjadi di antara kami. Karena dia lebih bisa perihal gitaran, dan juga dia juga punya gitar, maka dia juga sering berposisi ngebasi. Dan kami pun konser sakkarepe dewe, tujuaane nyanyi sing gitaran. Mergo dia lebih-bisa, maka sekurang-kurangnya saya belajar kepadanya. Belajar tentang kepergitaran (entah tujuane apa kalau bisa? Apakah menjadi musisi? Pengamen? Atau menjadi gitaris? Atau apemlah. Yang pasti, karena dia bisa, maka proses—interaksi-keilmuan kegitaran pun terjadi. Karena statusnya yang lebih-rendah pada pergitaran, maka yang belajar. Hal ini bisa dibuktikan dengan kebisaannya terhadap ‘ngebas’ dan juga melodi –walau pun belum banget-banget. Sekurang-kurangnya dia bisa-- : ketika wong kuwi iso ngebas tur melodi gitaran, mestine kunci dasar gitar itu sudah bisa. Sementara saya, masih pada takaran cord dasaran dan gantung ala kadarnya, malah kadang kunci-gantung gitar itu masih membuat tangan kecapean. Karena belum begitu terbiasa, kebiasaan untuk gitaran.) itulah yang dimaksud dengan pengajar. walau pun tidak ‘belajar’ secara formal, sekurang-kurangnya ‘sesekali’ pernah dibelajari.
Di zaman ini, seringkali manusia menyangkal perihal model pembelajaran yang begituan. Yakni pembelajaran yang tidak-formal itu. Padahal secara fakta, saya seringkali kerap mendatangi kamarnya Mas Tri. Ketika datang, gitaran, ngopi dan juga seringkali terselingi pembelajaran kepergitaran. Ya! Proses pembelajarannya memang tidak terlihat. Sekurang-kurangnya beginilah prosesnya: saat pertemuan dua gitar dan menjadi satu bunyi gitar, maka diantaranya bakal saling membelajari. Yakni belajar ketepatan nada. Dia proses itu tidak terjadi hanya sekali dua kali, namun berkali-kali.
Jika ditanya, kenapa datang ke kamarnya Mas Tri? Jawabnya, menurut analisis pengalaman juga pengamatan saya. Alasan utamanya, datang ketika hendak nyetel gitar, itulah bagiku. sebabnya, Mas Tri itu, menurutku jarang main di tempat yang lain kecuali teman-temannya itu datang ke kamarnya, seringnya begitu. Tempatnya menjadi ‘sarang’ untuk orang lain dan dia menyukai itu. Dirinya, mungkin, sebenarnya ingin mendatangi ke tempat orang lain namun kurang nyaman, hingga akhirnya dia sendiri yang didatangi orang lain. Dia itu, orangnya terbuka, itulah bagiku, mengapa saya juga betah ditempatnya. Terlebih lagi, selain terbuka, dia menghormati tamu (Sekurang-kurangnya perhatian dengan tamunya. Orang yang main ke kamarnya. Entahlah menghormati itu yang bagaimana? Yang jelas, saat orang lain datang, ia terbuka. Terbuka dengan sikapnya yang seperti pendiam itu. sikapnya yang biasa, tidak banyak kata, tidak banyak obrolan. Menurutku dia juga tidak banyak obrolan). Dan ketika saya datang, dia juga siap untuk menyetelkan gitar, karena juga waktu itu, statusnya tidak begitu sibuk terhadap ‘kefaktaan’ atau ‘pekerjaan’, paling banter mahasiswa, yaitu pelajar.
Sebagaimana pelajar pada umumnya, ketika malam tiba, maka menjalani aktivitas kehidupannya ala-pelajar (saya tidak melebih-lebihkan bahwa pelajar di sekitarku itu tidak begitu demen terhadap pembacaan. Tidak begitu suka dengan membaca buku. Yang ada, ketika malam tiba, paling ngegame atau main, dhopokan, gitaran, atau menjalani game fakta, futsal, atau lain sebagainya. Mungkin bagi pelajar yang intelektual, barulah sibuk dengan membaca buku, menulis dan jarang sekali sosialnya. Jarang sekali tepuk dengan teman-temannya: apalagi bermain romen, gaple, peesan. Jarang sekali), mempunyai waktu luang, untuk persiapan besoknya pagi. Disaat itulah saya main ke tempat mas tri, gitaran. Itu pun tidak setiap hari. Seringkali saat ingin gitaran, kok bisa? Lha memangnya urip iki mugur arek gitaran terus menerus? Gitaran sekaligus nyetel gitar.
Kalau dipikir memang kesane ‘seakan-akan’ ingin banget menjadi musisi. Kesane ‘gitaris’ temenan dan mempunyai projek terhadap kepergitaran, padahal bisa jadi, tujuan gitaran iki mugur nggo seneng-seneng. Mengalihkan fakta menuju syair-syair gitaran. Mengalihkan fakta menuju fakta yang bermusik yang itu dari mulutnya sendiri. Gitaran karo ngopi. Gitaran karo ngrokok. Dan kehidupan kami persis menjadi kehidupan yang bermusik dan enak: ngerokok, ngopi dan gitaran. Masalah sekan diganti dengan syair-syair yang ditembangkan. Ah namanya juga masih petlajar. Hidup kayaknya memang seperti itu, tidak ribet dan ruwet. Tidak njilimet dan apemlah.
Dan perjalanan waktu (waktu punya kaki yang berjalan untuk-untuk) kami bertambah ‘dewasa’, mas tri mulai agak bekerja, bangunan, listrik, dan entah apalagi saya kurang ingat, dia menjalaninya, hingga suatu ketika, ia menemukan dunia baru: yakni ngeblog.
Ngeblog
Ngeblog ini (Bacanya ngeblog, bukan geblog. Kalau geblog itu bisa jadi memisahkan padi dari tangkainya. Ada bahasa jawa lainnya, gebyok. Di sini, ngeblog) dia lakukan. Tentu saja ini terpengaruh juga dengan teman-temannya, mungkin Mas Syamsul, ah saya tidak tahu itu. dan dia juga mengetahui tentang diriku yang suka menulis. Saya memang telah lama suka menulis, tapi tidak mempunyai blog. Lalu saya ditawarkan olehnya membuat blog. Saya waktu itu masih sedikit mengabaikan perihal ngeblog. Dan perjalanan waktu (lagi-lagi waktu kayak punya kaki yang mampu berjalan unthuk-unthuk) saya tertantang untuk ngeblog, Muzan, teman asrama, dia memotivasiku dengan cara membuat blog, memposting dua artikel di blog, lalu mengomporiku. Iniloh... iniloh.. iniloh... Di saat itulah saya mulai mendatangi Mas Tri lagi, belajar ngeblog.
Sekurang-kurangnya saya mulai senang mendengar istilah ‘blog’—di saat itu blognya Mas Tri juga belum begitu ramai dan dia juga belum begitu fokus perihal ngeblog, itu pengamatanku. Mas tri mengungkapkan perihal blog, saya juga turut mengungkapkan perihal tentang kepenulisan. Sebab, mau tidak mau secara kepenulisan saya memang yang lebih dulu sibuk di dunia kepenulisan. Saya telah banyak menulis. Saya telah sibuk dengan kata-kata. Saya sibuk merenungi pembacaan. Saya sibuk dengan tulis-menulis. Hanya saja tidak terwadahi dan mempunyai daya jual. Tidak mengerti wadah-wadah itu. di saat itulah bertemu dengan Mas Tri. Mas Tri semacam memberikan wadah untuk kepenulisan.
Dia membuatkan blog untukku. Apakah gratis? Tentu gratis. Saya sekedar meminta pertolongan untuk dibuatkan. Itu pun terjadi karena saya juga dimotivasi oleh Mas Tri untuk ngeblog. Dia jugalah yang memotivasi untuk ngeblog, hanya saja, waktu awal-awal dimotivasi ‘otak saya masih mbeling’. Saya juga tidak mengerti alasan dia memotivasi, mungkin dengan cara memotivasi orang, orang itu akan mampu bangkit dari ‘ketidak-motivasinya’ itulah mengapa, Mas Tri butuh memotivasi. dan ketika saya mendengarkan omongan-omongannya, tentu ini tidak ‘serius’ yang dipikirkan, sekali pun saya datang kali ini dengan tujuan blog, namun hal dasar pertemuan kami tidak terlupakan: gitaran tetap terjadi.
Setelah saya dibuatkan blog (Mas tri inilah yang membuatkan wadah. Saya tidak tahu menahu perihal kewadahan. Mas trilah yang mengetahuinya, dan saya berusaha mempercayakan itu kepadanya. Mempercayainya bahwa dia bisa. Sekali pun dia sebenarnya, dulu, tidak begitu bisa, namun melihat dirinya, pastilah dia mau belajar lagi perihal blog ini. Dan saya memasrahkan itu kepadanya. Kamu pasti bisa Mas Tri! Hehe), maka bla-bla-bla tulisan saya bermunculan. Dan saya ketika datang ke tempat Mas Tri, mempertanyakan juga tentang blognya. Saya mendengar bagaimana kemajuannya proses-prosesnya. Dan blognya pun semakin rapi, semakin oye..
Mas Tri semakin belajar perihal blog. Semakin demen terhadap dunia blog. Lama-lama, belum lama ini saya bertemu dengannya, perkembangannya luar biasa aye. Saya senang saja melihat perkembangan Mas Tri (seneng kuwi mergo ono perkembangan perihal apa yang diperjuangkan, dalam hal ini blog. Namun saya juga melihat bahwa perkembangan kuliahnya kesandung-sandung, artine ora diurus. Kalau saya mandan diurus, sekalipun ora banget, tapi mandan diurus. saya pribadi kurang agak menerima nek secara fakta mas tri belum menyelesaikan kuliahku. Sekali pun awakku mbarang kesandung-sandung. Yo malesan mbarang perihal kuliah. Asem nan kok.) Sekali pun begitu saya juga masih ‘ngeblog’ hanya saja belum seperti mas tri yang seperti sekarang ini.
Dia telah mendapatkan penghasilan dari ngeblognya, saya belum. Kegembiran saya ialah karena saya sekurang-kurangnya mengerti perjalanannya dan dia juga SEO dari blog saya, artinya pengajar dari kengeblogan saya. Saya senang dengan diksi pengajar dibanding SEO, sebab kesannya SEO itu berhubungan erat dengan ‘materi’, sementara saya dengan Mas Tri itu hubungan teman. Tanpa bayaran. Tanpa upahan. Dia itu, bagiku, guru tanpa jasa. Ngunu. Guru tentang wadahnya tulisan-tulisan saya. sebab secara penulisan saya lebih dulu aktif, wadahnya saja yang tidak ada.
Dia telah mendapatkan penghasilan dari ngeblognya, dan dia pengajar saya. saya tentu mendapatkan cipratannya (Jangan dipikir tentang uang lho. begini: kalau keadaan mas tri enak secara materi, sebagai teman sekurang-kurangnya ya agak enak to. sebab ketika main dia tercukupi. namun kalau dia kurang materi, dan kalau saya main dia tidak ada materi, saya kan juga tidak turut enak. ) yakni kebahagiaan dia sebagai bloger.
Dia telah mendapatkan hasil dari usaha ngeblognya, dan saya temannya: penghasilannya seberapa? bagiku itu ‘tidak begitu penting’, yang pasti telah berpenghasilan. Sekurang-kurangnya telah mempunyai hasil dan itu bisa disebut dengan kerja. Kerja adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu untuk mencukupi kemateriannya.
dan bagiku dia tetap teman sekaligus pengajar, teman gitaran dan juga pengajar blog-brlogan. waktu itu, dan sekarang, saya datang tidak pernah bersinggungan dengan urusan duit-duitan. Saya datang dengan status teman yang waktu saya bertemu itu, yang suka gitaran juga dimotivasi ngeblog. Faktanya saja, sebelum saya datang ke kamarnya saya harus memosting tulisan, karena beberapa minggu atau sebulan ini saya kurang urus perihal blog. maka saya memosting tulisan. Tujuannya adalah jika mas tri bertanya blog (walau sebenarnya dia juga bisa melihat perkembangan blogkku. karena dia laksana ‘mata’ yang lain bagi wadah tulisanku) saya akan menjawab: “mohon maaf beberapa minggu ini kurang diurus, tapi saya masih ngeblog kok. baru saja saya posting tulisan.” Hal itu dilakukan agar saya tidak mengecewakannya. hehe mengecewakan orang yang memotivasi atau pengajarnya. tapi entah buat orang lain. Entah. Entah. Karena dia ‘dengar-dengar’ kali ini mulai mampu menjual jasa untuk pembuatan blog. Demikian.
2018-09-16
Belum ada Komentar untuk "Mas Tri Teman dan Pengajar"
Posting Komentar