Junaidi Abdul Munif: Teman Sekamar Yang Memperkenalkan Pembacaan

 Junaidi Abdul Munif: Teman Sekamar Yang Memperkenalkan Pembacaan

Ia adalah teman sekamar yang memperkenalkan ‘dunia’ pembacaan untukku. Teman sekamar yang tentu membawa pengaruh (sekalipun tidak ketotalitasan dari keterpengaruhan) besar dan lebat, apalagi tentang kemprohnya dirinya, kemproh terhadap buku yang perlahan-lahan mengajak saya untuk membaca buku dengan alasan merapikan buku (Bahkan merapikan buku terus menerus pun mampu mempengaruhi ‘pemikiran’ku; karena secara otomatis membaca sekelumit tentang buku. Sekelumit demi sekelumit itulah yang lama-lama menjadi banyak), ia adalah Junaidi Abdul Munif, saya memanggilnya Bang Jun.

Perkenalanku dengannya karena saya berada di Pondok Pesantren Luhur Wahid hasyim, yang kemudian sekamar dengannya. Karena sekamar mau tidak mau bakal dekat, karena memang sekamar: lha mau bagaimana lagi? Satu kamar, masak tidak dekat, mustahil. Kebutuhan hari-hari itulah yang sekurang-kurangnya mengetahui orang kamar-kamaran.

Saat saya datang, dia juga tidak begitu lama datang. Dia mahasiswa pindahan. Kami masih sama-sama mandan baru di Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang. Sebuah pondok yang belum begitu lama berdiri, Ya, pondok itu belum begitu lama berdiri, para dedengkotnya (iki bahasa jowo sing mandan maksude ketekan oyot-oyotan) mandan isih ono, Kang Syamsu. Pondok sing kuwi isine ora pateo rame. Jenengane wae pondo’e durung apik. Perkoro durung apik banget, tapi wis iso dipanggoni. Wis ono kamar mandine.

Di pondok pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang itulah saya bertemu dengannya (Mugur arek nulis ngene wae pembukaane mandan angel), pertemuan sing terusane nggawe awakku seneng mboco. Sebab dekne kuwi mandanan seneng moco (Isik anyar-anyare cedek karo aku, hurung banget getole dewee nulis; isik mandan-mandan, kadang-kadang ora terus menerus.) mulane aku seneng moco. Mergone bukune pating temletek nang keramik, dekne kan kemproh. Haha mergo tak rapike, mulane kewoco.

Buku-bukune okeh sing tak woco, walau acak-acakan, tetep wae awakku moco bukune. Mbuh kuwi cerito, filsafat, karl mark, atau apalah buku-buku sing mblarah nang lemah (asline yo nang keramik).

Tapi hidup itu bukan serta merta tentang pembacaan teks, hidup itu mempunyai fakta yang sesungguhnya. Fakta yang sebenarnya. Fakta yang ada. Kesukaanku pada gitar juga mengefek untuk lebih dekat dengannya. Menggitar ala Iwan Fals. Menggitar bengak-bengok: bernyanyi ikal, surat wakil rakyat, engkau tetap sahabatku, dan lagu-lagu iwan fals lainnya. Kami bernyanyi, kami teriakan. Gayane artis temenanan.

Dan perjalanan waktu (waktu sing dueni sikel dadine waktu kuwi melaku) kami lebih eksis di dunia seni. Di dunia teater. Mergone ono Sah Ru khan, Fauzi: si Bang Jun ini, sekali pun dia suka membaca, dibanding aku dan Sarukhan, tetap juga melakukan keteateran ini. Melakukan secara fakta. Mbuh mergo kepengin atau rayuan sarukan atau tentang apalah. Mandanan Bang Jun ini ikut-ikutan teater, dan efeknya sayalah yang lebih lama di ‘dunia’ keteateran. Sekali pun begitu dia juga masih berhubungan dengan dunia keperteateran.

Sebabnya, karena orang teateran itu ada di Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang, sekurang-kurangnya orang luar yang sudah kenal bakalan ngobrol lagi perihal keteateran. Fakta-fakta ini menjadikan Bang Jun harus bertemu dengan orang-orang yang sarukan bawa. Atau sekurang-kurangnya bang jun masuk juga dijajaran orang teater. Lha kipe jal? Jaman biyen kae: wong kampus kuwi durung pateo rame. Wong teateran kuwi sing akeh seko keluarga PAI, wong pondokan, mergo Sarukhan kuwilah, dadine koyoo kabeh-kabeh kesambet keteateran. Mbuh melu mergo kepekso opoyo pengin melu mergo gak dueni kesibukan.

Bang Jun, sing nulise ndek jaman pertamanan kae urung pateo ‘serius’ banget perkoro nulis. Mergonone durung duwe alat sing kuwi nggo nulis, alias laptop. Paling banter nek arek nulis kuwi meng warnet. Getol-getole nulis kuwi seplok duweni laptop, barulah mandan getol.

Awakku sik kalingan pas tulisane dewee muncul nang koran—anehe aku kok melu seneng dengan kemunculan dia di koran. Sebagai teman saya gembira sebab dia itu orangnya jor-joran, orangnya mulehan, wonge mulehan, wonge ngepenaakke, wonge jarang nesunan. Nek ndueni duwek iki nggayake pol: tuku. Tuku. Tuku. Nek entek barulah ngutang. Dunia perhutangan iki suatu kewajaran. Aye sekali. Mbuh ngene-ngene iki sing marai iki sopo, utang kadang menjadi kebiasaan. Utang kadang menjadi suatu hal yang biasa dijalani. Kok iso? Yo iso wae. Mergo kirimane urung teko, mulane ngutang disek. Mergo kirimane telat, mulane ngutang disik.


Membaca

Sejak kemunculan tulisannya di koran, sejak itulah tulisannya mulai ‘ramai’ di Surat Kabar. Tentu saja sebelum proses menulis yang tembus koran itu, banyak tulis menulis yang dilakoni. Dan semakin banyak menulis, maka disaat itu jugalah semakin banyak pembacaan yang dilakoni: membaca yang itu secara tekstual, atau pun secara kontekstual. Membaca tulisan maupun mendengarkan (Nyimak kuwi semacam pembacaan yang itu bersifat suara). Maka disaat itu dia mulai membeli buku-buku lagi, buku-buku pameran juga (buku pameran itu murah njuk kesane nek akeh buku kuwi ketoro pinter, ketoro inteleklah). Dan bersamaan itu juga saya mulai suka membaca buku, sebelum itu saya kurang suka membaca buku (Maksudnya kurang suka yaitu suatu keadaan yang itu dianjurkan untuk membaca. Membaca sebelumnya adalah karena tuntutan membaca. Saya lebih sering pembacaan buku ialah pembacaan kitab, sekedar kitab itulah pembacaan. Pembacaan yang terbatas pada kitab-kitab yang diajarkan di Pondok Pesantren.

Dan buku pun adalah buku yang ditawarkan dari pihak sekolah. Dari pihak sekolah pun dibaca kalau sedang dilaksanakan ‘waktu pelajaran’, selebihnya buku ngangkrak di lemari. Malahan buku tulis yang itu menyalin dari papan tulis, besar kemungkinan dibaca disaat ujian bakal dilangsungkan. Dan saya menjalani itu, saya pikir tidak jauh berbeda dengan teman-teman saya. Begitu juga pada susunan kekeluargaan saya: kakak-kakak saya tidak begitu sibuk pada pembacaan. Begitu juga yang terjadi di lingkungan desa saya, orang-orangnya tidak begitu sibuk atau konsen untuk pembacaan perbukuan ini: alasannya, ketika malam tiba di desa kami bakal mengaji. Membaca rangkaian huruf hijaiah, entah itu iqrak atau turutan atau al-quran. Setelah itu nonton tipi. Besok paginya sekolah. Setelah sekolah dolanan. Banyak sekali dolanannya. Ganepo, utat, eyek, hem-heman, egrang, lempung, duik-duikan, engklik, jaranan. Pokoke dunia pembacaan kuwi pembacaan al-quran dan rinciannya: iqra dan turutan.), walau pun membaca itu belum ‘menjadi’ kebutuhan yang pokok buat otakku.

Membaca belum menjadi ‘sesuatu’ untuk melengkapi ‘kekurangan data pada pemikiranku’. Menurutku, manusia yang membaca buku itu semacam ‘kekurangan data informasi’ untuk melengkapi kehidupan nyatanya, kehidupan praktis. Di saat itulah manusia membutuhkan bacaan. Namun manusia membaca buku itu bukan hanya tentang kekurangan, bahkan dari ‘teks’ tersebut, manusia berusaha mencari hiburan. Hiburan yang itu lewat teks, lewat tulisan.

Waktu itu saya membaca ‘buku’ karena saya konconya Bang Jun (yang dimaksud konco itu adalah suatu keadaan secara fakta. Secara fakta saya itu, dulu, sekamar dengan Bang Jun. Namanya juga teman, pasti tidak jauh-jauh berbeda, sekali pun sebenarnya berbeda. Apakah saya diajari Bang Jun untuk membaca? Tidak juga. Apalagi diajari membaca tulisan yang berbahasa indonesia? Tidak juga). Alasannya, masak konconya suka membaca saya tidak suka membaca: menurutku aneh. Di saat itulah saya suka membaca, membaca secara acak-acakan hingga kemudian saya menyukai pembacaan perihal ‘pengembangan diri’, itulah buku-buku yang sering saya baca. Buku yang mendominasi lebih dari pembacaan saya. Dilalahnya saya tertarik pada dua tema: sufistik dan spiritual. Dan saya sembunyi-sembunyi membacanya. Saya merasa tidak menampakan tentang pembacaan tersebut. Saya tidak menuangkan dan tidak mengungkapkan tentang pembacaan saya tersebut. Ya! Saya menyembunyikan tentang ‘kesukaan’ pembacaan tersebut.

Dengan kedua tema tersebut, untuk menyikapi obrolan apa-saja akan terasa ringan dan mudah, sebab dengan kedua kata kunci tersebut (sufistik dan spiritual) yang diutamakan ialah tentang kebahagiaan yang ada di dalam diri. Spiritual pastilah endingnya begitu, bahagia yang ada di dalam diri. Begitu juga dengan sufistik, bahagia yang ada di dalam diri yang kemudian memancar kepada yang lain.

Prinsip dasar dari sufistik dan spiritual adalah universal. hanya saja penekanan sufistik itu senantiasa diwadahi oleh agama. Sementara terma spiritual itu adalah keumuman. Namun keumuman apa-pun sejauh itu menyangkut-kehidupan bakal saja ada hubungan dengan agama. Agama dan filsafat itu memang dekat sekali, sebab keduanya berkaitan dengan ‘cara berpikir’.

Dan alasan saya menyembunyikan dari pembacaan karena kedua tema itu kalau ‘dinyatakan’ secara fakta terkesan ‘aneh.’ Terkesan, nggaya. kesane ‘Wuih gayane’. Selain itu, untuk apa juga diterang-terangkan tentang pembacaan, selain itu, saya sendiri sulit untuk ‘mengungkapkan’ apa yang sebenarnya hendak saya ungkapkan.

Karena mempunyai aliran yang begitu (gayane aliran. Hehe) maka saya bisa berhubungan –konconan—dengan Bang Jun. Sekali pun dia di dalam pemikirannya bertaut-taut tentang kesosialan modern, tentang pembacaan postmodern, tentang kesejarahan nusantara, tentang keperpolitikan, tentang karl Mark, dan tentang apa-pun, namun secara fakta, Bang jun itu kurang pandai berbicara.

Kurang pandai mengungkapkan suatu ‘teori’ menjadi fakta. Kurang pandai mengungkapkan kepada teman-teman yang dekat untuk menjadi ‘sesuatu’ yang dipikirkannya. Secara fakta, Bang Jun itu terkesan pendiam, dan tidak terkesan seperti orang yang suka membaca ‘sesuatu yang sosial dan pendidikan’. Gayane itu tidak sepersis intelektual. Gayane itu malah biasa-biasa saja. Nek ngaranku, gayane sik santri sing kerjanane mben dino sarungan karo slengean. Hal itu bisa jadi karena dia menyukai perihal dunia-seni (dilalah mbarang secara fakta yang ada, lingkungan yang ada, semodel kesenian itu yang muncul. Ada orang seperti sah ru khan dan saya juga termasuknya, maka mau tidak mau mesti mendongolkan sekali lagi keseniannya) sejak dulu. Namun dunia-seninya dulu ialah seni-tulis bukan seni-fakta.

Sebab secara fakta dia ‘terasingkan’ atau tersingkirkanlah. Dia dulu menyukai menulis. Menulis adalah mengalih fakta menuju fakta yang lainnya. Menulis itu mengenang kenangan sekaligus membuat dunia-fakta imajener. Dia pernah menulis tentang Badut. Badut, sekurang-kurangnya adalah dirinya yang lain yang direkontruksi ulang menjadi teks. Badut itu identik dengan sesuatu yang layak untuk ditertawakan, untuk menjadi penggembira atau hiburan buat fakta realistis. Di dalam kebadutannya ada sesuatu dirinya yang asli. Sesuatu dirinya karena memang ‘harus’ menjadi badut. Menjadi badut bukanlah pilihan, namun sebuah tuntutan kefaktaan.

Apakah saya membaca cerita tentang Badutnya Bang Jun? Tidak. Saya tidak level membaca teks-teks begituan. Hahaha saya itu level sesungguhnya membaca terma sufistik (syair-syair sufi, kutipan-kutipan) dan spiritual (spiritual bisa jadi filsafat cina, keputusan filsuf-filsuf cina, budhis, zen, hindu), itu dulu. Politik bagi pemikiranku, tidak penting. Sosial, tidak penting. Agama, tidak penting. Semua itu menjadi ala kadarnya untuk pembacaan. Ala kadarnya yang itu kesementaraan pembacaan. Itu dulu. Apalagi Badutnya Bang Jun, tidak penting. Tulisan-tulisan Bang Jun saja, bagiku tidak penting. Yang penting adalah tentang kebahagiaan Bang Jun, itulah yang penting. Tulisannya itu ialah ‘cuplikan’ dari kefaktaan dari Bang Jun. Kalau Bang Jun bahagia, saya akan turut bahagia, itulah saya. Haha gayane-gayane, itu dulu.

Namun semakin dia menulis, dia menjadi semakin fakta. Dia semakin banyak teman. Dia semakin banyak menjalin dengan yang lain. Dengan dasar, ‘ketidak-faktaannya’ itu. Seni-tulis itu perlahan-lahan menemui kefaktaan. Kefaktaannya dia ‘mulai’ terpakai dan ‘mandan’ di orangkan, pada suatu ketika dia melonjak bersama-sama. Antara fakta dan non-fakta (tulisan): tulisannya semakin mencuat di koran, kefaktaanya dia terpakai. Menjadi ketua. Haha menjadi BEM untuk Fakultas Agama Islam Unwahas, menjadi Lurah untuk pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang.

Di saat itulah pertemanan kami agak melenggang. Hal itu bisa jadi, saya juga mulai menemukan sesuatu yang baru, yakni dunia kepenulisan. Artinya mulai menuju ke dunia yang itu ‘teori’. Jika Bang Jun mulai belajar mejalani kefaktaan. Secara Signifikan (gayane Signifikan), saya mulai belajar di dunai teori, saya menulis.


MENULIS

Tujuan saya menulis berbeda dengan Bang jun. Walau mungkin agak sama juga. Haha jika bang jun awalnya menulis untuk fakta, ini ngaranku, maka saya menulis untuk mengetahui asal-usul fakta. Jika motivasi Bang Jun menulis karena secara fakta dia tidak mempunyai teman maka dengan menulis dia mempunyai teman. Sementara saya termotivasi untuk ‘mendeskripsikan’ kefaktaan yang saya tangkap untuk menguatkan kefaktaan. Terlebih lagi, saat saya bertemu dengan Bang Jun orientasi nilainya juga berbeda: Ia menulis dengan target di muat di koran lalu mendapatkan upah. Aye.. Sementara saya ‘masih belajar mengungkapkan’ apa yang kutangkap. Menulis memang kesannya mendeskripsikan dan terkesan mudah, namun sebenarnya tidak juga. Ada prosesnya.

Nah waktu itu, kesibukan arah tulisan saya, jadinya kepada sajak. Semacam untuk mengeluarkan keakuan, tangkapan sesuatu yang dituangkan kepada kata. Jika ditanya kenapa sajak atau seperti puisi? Jawabnya, karena bertujuan mengungkapkan apa yang hendak ‘saya’ ungkapkan. Dari perasan menuju sesuatu yang diungkapkan menjadi ‘kata’; dari pengalaman (empiris) dan juga pengukuran fakta dan rasio, maka jadilah ekspresi pengungkapan lewat kata.

Dia menulis karena telah lama menulis. Telah lama berproses di dunia kepenulisan. Yang tentu bertemu dengan racikan kata-kata. Yang telah bertemu dengan diksi demi diksi. Selain itu, menulis karena ‘terkurangkan’ terhadap kefaktaan, maka dibutuhkan menulis. Yang berjalannya waktu, menulis menjadi kebiasaan dirinya untuk ‘menyimpulkan’ data-data yang ditangkap sekaligus mengalihkan dari fakta menuju ide-ide.

Menulis itu sarat dengan ide-ide dan pertemuan antara diri dan dirinya yang lain. Menulis berinteraksi dengan kenangan, pemikiran dan juga fantasi. Di dalam cangkang para penulis ialah berdaya ‘mengkatakan’ fakta yang kompleks kemudian ditujukan pada satu arah (topik), yang sebenarnya juga menulis adalah ‘mengabstakkan’ sesuatu yang sebenarnya besar. Itulah mengapa pemikiran postmodern, seperti halnya Lyotard memetakan perihal keilmuan menjadi seperti itu (baca kondisi postmodern).

Bang Jun dengan tulisannya mulai ‘bergentayangan’ di dunia maya (di surat kabar, entah yang offline maupun yang online), bersamaan dengan itu maka perkenalan faktanya semakin banyak. Siapa temannya? Yaitu orang-orang yang menulis. Orang-orang yang ‘menyempitkan’ fakta menjadi kata. Bersamaan dengan itu, hubungan kami (gayane hubungan) mulai merenggang, itu juga terjadi karena saya mempunyai aktifitas yang lain, yakni menulis. Menulis yang itu pada dasarnya bukan untuk konsumsi publik.

Nafsu untuk dikonsumsi publik, bagiku sendiri, tentu saja ada. Sekurang-kurangnya terpajangkan di koran-koran. Namun menjadi penyair yang mempunyai karakaterk khas, waktu itu, belum menjadi tubuh pada pola penulisan saya. Pola penulisan saya sekedar mengungkapkan yang dangkal dan umum. Umum sekali. Artinya belum ada pendirian tentang kepenulisan. Belum ada kefokusan terhadap apa yang ditulis. Dengan ini saya katakan: bahwa belajar saya menulis adalah terus menerus melakukan ‘kepenulisan’ dengan segala rimba-rimba kata yang dijalani, dan hidup sarat dengan ide-ide sementara fakta tetap saja berjalan apa adanya. Fakta tetap saja berjalan biasa dan ala kadarnya. Namun dari kepenulisan itu membentuk ‘sikap’ di dalam pemikiranku, sekurang-kurangnya mengajakku untuk berani mengeluarkan pendapat. Begitu juga dengan Bang Jun.

Dengan menulis perlahan-lahan berani mengungkapkan ‘pendapat’, mulai berani bicara, sekurang-kurangnya begitu. Walau secara fakta, Bang Jun tidak terlihat seperi ‘Pelajar Intelek’. Kenapa? Karena dia tidak mempunyai tujuan jelas terhadap apa yang dipikirkan, terhadap apa yang ditujukan. Proses menulisnya adalah upaya untuk menjalani fakta. Untuk menjalani fakta yang itu sesuai dengan dirinya. Begitu juga denganku. Hanya saja, secara fakta Bang Jun, tentu ini menurutku, lidahnya beku untuk menyampaikan apa yang dituliskan.

Dia sulit menyampaikan apa yang sebenarnya dituliskan. Tulisannya bagi kefaktaannya adalah kontradiksi yang banget. Karena secara fakta dia bertemu dengan orang-orang yang tidak begitu intelek dan mempunyai ‘semangat’ yang sama terhadap apa yang dipikirkan Bang Jun. Maklum, Bang Jun bertinggal di Pondok Pesantren. Dan Pondok Pesantren itu mempunyai dasaran yang kuat, yakni akhlak Jeng Nabi menjadi ukuran orang-orang pondok.

Akhlak adalah ilmu tertinggi dari ‘teoritis’. Efeknya, sekalipun kau berdaya diri untuk membuat teoritis yang sangat, maka bakalan berujung pada akhlak. Ahlak yang seperti apa? Akhlak yang sebagaimana terjadi pada konsentrasi Pondok Pesantren. Akhlak itu tidak harus muluk-muluk teori. Sebab ukuran dari akhlak adalah ukurannya Kanjeng Nabi dengan keempat sifatnya. Keempat sifat yang ditawarkan itu menjadi pondasi yang kuat dan kokoh, ditambah lagi perihal keimanan.

Wal-hasil teori-teori yang ditawarkan Bang Jun bagi kehidupan fakta (lingkungan tubuhnya berada) adalah biasa. Saya bertanya: apa yang kejar dari tulisan-tulisan (artikel-artikel) Bang Jun? Yakni upaya untuk menjadi baik. Upaya mempertanyakan baik. Upaya mengabarkan tentang kebaikan. Sementara fakta itu: kalau baik tinggal baik. Jangan dipertanyakan tentang kebaikan, manusia itu adalah kewajaran kalau dirinya adanya baik dan buruk, untuk itu pilihlah yang baik, yakni mengacu kepada Kanjeng Nabi. Begitulah kira-kira pada khotib jumaat mengingatkan. Bahasanya ringkas. Dan teori-teori yang ditawarkan Bang Jun dengan artikelnya sekedar untuk itu.

Apalagi artikel yang itu kepentingan ‘pasar’. Artikel yang berkepentingan ‘koran’. Tentu saja, mau tidak mau berurusan dengan daya jual.

Sekali pun begitu, efek dari kepenulisan Bang Jun menuju pada fakta yang sebenarnya. Karena menulisnya (tentu saja karena pola pikirnya) dia diganjar menjadi Lurah Pondok Pesantren, menjadi BEM Fakultas, menjadi calon BEM universitas, menjadi yang lain-lain menjadikan dirinya sibuk (sekali pun sibuk seperti itu namun fakta bukanlah seperti rancangan teori-teori. Fakta lebih sangar dan lebih gradual dibanding teori-teori yang seringkali menyimpulkan fakta-fakta) dengan fakta.

Dia menjadi ‘budak’ fakta, selamat. Dia menjadi orang yang nyata, selamat. Tapi kenyataan tidak seperti teori demi teori. Apalagi langsung menjadi ketua, tentu ini sangat-sangat beban buatnya. Sesekali saya merasa kasihan ketika dia menjadi orang yang ‘dituakan’, yakni harus berlatih keras menjalani sesuatu yang itu menjadi orang yang ‘dituakan’. Menjadi pacuan bicara (walau bicaranya ya sekalas ‘ide-ide’ ala kadarnya), menjadi sudut pembicaraan, menjadi artis dadakan. Apa-apa serba dikomentari. Seperti halnya cara berpakaian, dikomentari. Ngomong, dikomentari. Gaya, dikomentari. Dia harus belajar menjadi seperti itu.

Dan saya, yang katanya temannya itu, malah ‘menabok’ dirinya dengan tulisan-tulisan yang polos apa adanya. Itu terjadi ketika dia menjadi Lurah di pondok Pesantren. Disaat itulah saya malah semakin kencang menulis. Menulis yang tujuan utama adalah untuk membantu Bang Jun, merasa kasihan dengan Bang Jun. Sayangnya pola tulisanku adalah malah menambahi beban untuk Bang Jun. Beban untuk menjadi ‘Lurah’ yang sebenarnya. Itu terjadi ketika awal saya menulis. Seluruh isi pondok putra, geger (Sekurang-kurangnya begitu). Termasuk juga Bang Jun, yang kemudian membalas tulisanku itu.

Tulisan yang tidak mempunyai dasar etika-jurnalistik itu lebih sangar. Apalagi tulisan dari orang yang agak ‘penyair’. Tulisannya adalah fakta yang sesungguhnya tanpa ada aling-aling, polos dan terang-terangan. Tulisan yang tidak mementingkan tentang uang. Tidak mempunyai tujuan kecuali menyampaikan kefaktaan yang terjadi. Tulisan yang tidak mengenal struktural, tidak mengenal teori teori yang ribet. Itulah pola tulisan saya, waktu itu dikala Bang Jun menjadi Lurah.

Tulisan itu pun terjadi karena dia bertanya tentang tulisan saya. ‘Mana? Mana? Mana?’ mungkin dia juga perhatian dengan saya, karena saya menulis tidak menghasilkan dari tulisan. Sekurang-kurangnya tembus media. Dia perhatian terhadap hal itu. Sayangnya, dia tidak melihat dengan sudut pandang yang luas, yakni tentang ‘keruwetan’ pemikiran saya terhadap tujuan menulis; tentang ambisi saya untuk menulis. Bisa jadi, waktu itu saya tidak mempunyai tujuan kecuali menyemangati Bang Jun untuk menulis. Menyemangati untuk lebih ‘eksis’. Akhirnya ‘semacam kekecewaan’ itu terjadi ketika ‘dia’ mulai menjauh dariku. Alasannya karena kami seakan tidak mempunyai ‘tema’ yang sama untuk dibicarakan. Dia semakin rajin membaca tentang kefaktaan, dan saya semakin rajin membaca tentang dasaran kefaktaan. Ini perbedaan tentu tidak bisa menyatu, pada saat itu. Malah-malah, keesokan harinya saya ‘datang’ dengan tulisan yang itu ‘menabok’ Bang Jun dengan tulisan-tulisanku.

“Itu tulisanku, Bang.” Batinku.

Sayangnya saya hanya bisa membatin. Semakin hari saya semakin menulis perihal Pondok Pesantren. Tidak pernah ada surutnya semangat untuk menulis. Menulis yang ditujukan untuk Bang Jun. Alasannya sebab dia sarat dengan kekurangan untuk menjadi fakta, untuk menjadi lurah. Memang secara teoritis dia membaca perihal sejarah-nusantara, tentang filsafat, tentang pendidikan, tapi fakta (Realitas) jauh berbeda dari teoritis itu. Sebab disana ada manusia, yang dari manusia itu ada nafsu di dalam dirinya. Itulah yang membedakannya.

Dia kewalahan menjalani fakta barunya itu, saya ‘menampar’ lewat tulisan. Dan tentu saja hubungan kami merenggang. Alasannya ‘saya mengkritik’ Bang Jun. Saya mengejek Bang Jun. Saya menjadi mandiri soal pemikiran. Disatu sisi saya persis hidup, namun disisi lain, kefaktaan saya mulai menurun. Begitu juga dengan Bang Jun, disisi lain faktanya mulai jadi namun teoritisnya mulai menurun.

Saya mulai tidak mengerti kehidupan Bang Jun kecuali melihat bekas-bekas faktanya, yang itu hanya sedikit. Jarang ngobrol. Maklum dia ketua-ketua yang ini-itu. Dia ‘semacam’ mengalihkan fakta menuju fakta lainnya, di BEM Fakultas, lebih lama ‘leleran’ di sana. Tentu saja berupaya menemukan teman yang lain tentang ‘pemikiran’ kefaktaannya. Dan tentu saja menemukan. Dia pulang di Kamar mulai ala kadarnya. Ala Kadarnya karena saya ada di Kamar, orang yang mengkritiknya ada di hadapan dirinya. Hahaha hidup-hidup. Sementara saya, saya lebih sibuk pada dunia ‘teori’, maka disaat itu saya mulai menjumpai pemikir-pemikir yang lain: walau lewat tulisan. Namun karena saya menulis, tentu saja disatu sisi saya ‘agak’ rajin membaca.

Perjalanan waktu (lagi-lagi waktu yang berjalan) dia habis masa aktifnya menjadi lurah pondok pesantren, di saat itulah dia mulai menjalani hidup barunya lagi. Begitu juga dengan saya, semangat menulis turun. Menulis memang masih eksis. Tapi menulis sekedar menulis. Menulis yang kehilangan tujuan terhadap kepenulisan. Lurah waktu itu diteruskan Mas Faiq (Sekarang Almarhum), namun daya kepenulisanku menurun drastis. Memang masih eksis, tapi eksis sekedaran mempertahankan tentang keeksisan. Karena dulu pernah ada, maka saya harus ada. Namun saya kehilangan tujuan.

Kehilangan tujuan untuk dikritik. Sebab mengkritik Mas Faiq, entah mengapa bagi otakku tidak begitu penting. Sekali pun begitu, tetap saja saya menulis. Menulis tanpa emosi. Menulis yang mengabarkan fakta. Menulis yang kehilangan kritik. Dan sejak saat itu, semakinlah saya kurang mengerti tentang Bang Jun. Dia semakin asing denganku. Dia menjalani fakta-fakta barunya, yakni dunia kepenulisan. Menjalani fakta-fakta yang baru dengan teman-teman yang agak baru. Saya pun begitu.

Hingga kemudian, pemikiranku samakin mengerucut dan lebih ‘galau’ yang dalam, disaat itulah saya berjumpa dengan Pak Haidar sebagai teman yang baru dan porsi yang berbeda jauh. Saya persis menemukan tujuan baru, yang itu jauh berbeda dengan keberadaan Bang Jun. Jauh berbeda. Bersama dengan Pak Haidar saya ditawari untuk berani berpikir sekali lagi. Sekali lagi untuk menyadari keakuan. Hingga kemudian, saya memutuskan untuk kuliah filsafat.

Kata Bang Jun, “Kamu hebat, bisa mengejar apa yang kamu kejar.” kira-kira begitu. Saya pun membalas yang kira-kira begini.

“Kamu tidak hebat, kamu tidak mau mengejar apa yang sebenarnya apa yang kamu kejar.”

Alasanku ini logis, karena dia memang suka membaca filsafat, tapi sering menutupinya. Dia membaca tentang kebebasan tapi tidak menjalankan kebebasan. Dia membaca tentang sosial, tapi tidak sosial. Dia membaca individual, tapi tidak individual. Hingga kemudian dia mengajakku untuk debat tentang Filsafat. Karena pikirnya saya menyukai filsafat, saya membaca banyak perihal filsafat.

Saya kira-kira menjawab begini, “Untuk saat ini saya tidak bisa debat filsafat. Dan saya kalah darimu. Namun suatu saat saya akan mengerti tentang filsafat saya sendiri.”

Dia mungkin berpikir bahwa saya banyak membaca perihal filsafat, padahal tidak begitu. Saya mungkin banyak membaca tentang bukunya, dan tema-tema filsafat yang mbalarah di lantai keramik itu. Tapi pembacaan saya selain membaca Nietszche adalah hampa, semuanya terkesan ‘alat’ untuk pemataan belaka. Tidak dipungkiri bahwa saya membaca Karl Mark, tapi itu sekedar pembacaan yang itu sekedar ‘perjalanan mata’ bukan untuk diterapkan secara fakta, karena dilalahnya juga saya juga tidak suka muluk-muluk terhadap ‘teori-teori’, sebagaimana awal yang terjadi: nilai utamaku ialah fakta bukan teori. Hal itu pernah terjadi tentang dialog kefaktaan yang begini.

“Apa pekerjaanmu secara fakta, Bang?”

Jawabnya, “Blog.”

“Berapa penghasilannya?” kataku.

Dia menjawab kewalahan. Karena dilalahnya, blognya tidak berorientasi uang. Blognya sekedar ada tapi tidak mempunyai tujuan uang. Memang sesaat, bisa jadi, cangkang pemikirannya bahwa dengan blog mampu menghasilkan uang dan itu disebut dengan pekerjaannya. Sayangnya, waktu itu dia tidak mampu menjawab hal-hal praktis berhubungan deengan pekerjaan itu. Jawabnya dia kira-kira begini, pertanyaanmu itu pragmatis dan bla.. bla.. bla.. pikirku sekarang, karena kamu belum mampu menghasilkan pendapatan secara fakta itulah mengapa kamu mengalihkan jawaban menuju teoritis yang belum kelaksana.

Dialah Bang Jun, teman yang mengajarkan tentang pembacaan dan efek-efeknya. Dia sekarang sudah menikah dan mempunyai anak. Nama anaknya Alina. haha Alina. Alina adalah perempuan karangan Seno Gumira Ajidarma di dunia fantasi yang kini menjadi fakta buat Bang Jun. Alina kini hidup di dunia fakta. Faktanya Bang Jun. Dan sekurang-kurangnya, apa yang Bang Jun baca saya pun membaca, seperti tulisan Seno Gumira Ajidarma, Sutardji Coloseum Bachri, dan lain-lainnya, tentang blarahnya buku dikamar ‘kami’ itu. Dan yang asik dari Seno Gumira Ajidarma ini adalah bahwa orientasi karangan darinya adalah menuju ‘non-fakta’, menuju dunia yang non-fakta, bacalah sepasang senja untuk pacarku, manusia kamar, negeri senja, dan banyak hal lainnya, sekali pun Pak Seno juga seringkali menulis yang realistis.

Dialah Bang Jun, yang sekarang menjalani fakta-faktanya juga masih berkutat di dunia tulis-menulis, dan dia ‘masih temanku’ (faktanya kami masih temanan secara facebook haha), yang dulu saat dia punya uang, gayane pol (kok bisa begitu? Lha saya ini kan teman sekamarnya. Haha jangan remehkan teman sekamar lho ya....)“Tuku... tuku... tuku...” katanya santai dan gembira. Seakan tidak punya masalah. Yang dengannya saya mengenal 2 temannya secara fakta, yakni Muhammad Yunus dan Ahmad Rifki Hidayat (bukan berarti temannya hanya itu, ada juga Muttaqin. Namun secara mendominasi, dia itu tidak punya banyak teman. Saya juga begitu. Haha). Teman-temannya ini adalah santri-santri. Bekas cah pondokan. Yang suka agak menulis ialah Ahmad Rifki Hidayat. Pertemuan ini terjadi karena mereka datang kepada Bang Jun yang itu ada di Pondok. Saat di Pondok tentu saja ngopi ya ngrerokok. Ah begitulah kenangan. Itu semua sekarang menjadi sesuatu yang terkenang.

Dan saya pun akhirnya berpisah dengannya, alasannya karena saya masih mengembara di dunia intelektual (haha gayane ngunu.); menuju mata-kuliah filsafat (gayane pancen ngunu.), menuju hidup yang seperti biasa. Dan faktaku atau kenyataanku, tentu saja tidak semulus apa yang pikirkan (memangnya fakta itu semulus yang dipikirkan. Kalau mengenali fakta, maka disana ada jalinan kefaktaan, yakni adanya manusia-manusia yang lain, yang berbeda kapasitas ilmu pengetahuannya.), yang masih mengenang tentang proses-proses yang terjadi, sekurang-kurangnya di ‘dunia-pembacaan’.

Dialah Bang Jun, sekurang-kurangnya yang mempengaruhi untuk pembacaan. Sejenak untuk membaca tekstual. Sejenak untuk melihat rangkaian kata. Sejenak untuk melihat susunan kata-kata.

*dan siapa pun boleh tidak percaya terhadap apa yang kusampaikan. Ini kenanganku, ini ngaranku: entah kenanganmu, entah sudut-pandangmu.

2018

Belum ada Komentar untuk " Junaidi Abdul Munif: Teman Sekamar Yang Memperkenalkan Pembacaan "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel