Agama dan Politik Di Desa Wargomulyo


Agama dan Politik Di Desa Wargomulyo -- Saya berusaha membaca hubungan agama dan politik di Desa Wargomulyo, yakni di desa saya tinggal (Setidaknya pembacaan ini ialah pembacaan untuk memermudah membaca tokoh-tokoh besar dalam islam, seperti halnya Kiai Sayyid Qutb –hal itu terjadi karena penelitian saya, memilih tokoh Sayyid Qutb—membaca dalam arti; saya akan mendeskripsikan tentang agama dan politik di desa saya) dan saya juga menjadi pelaksana secara otomatis di antara keduanya, yakni politik dan Agama. 

Yang dimaksud politik tentu tentang hal-hal keumuman, aturan yang berlaku umum di desa, dan itu atas nama aparatur desa atau kelurahan desa. Agama yakni agama saya sendiri, yakni islam. 

Seperti halnya yang sering saya ungkapkan bahwa desa wargomulyo dikategorikan mayoritas beragama islam, yang mana gerakan (pergerakan agama terkesan lebih kental) agama islam mendominasi. Hal itu ditandai dengan keberadaan mushola, dan pengajian demi pengajian. Yang mana kemudian, pada gilirannya akan menciptakan tradisi-tradisi islam, yakni pengajian alib-bak-tak, pengajian tahunan (hari-hari besar islam), dan bahkan tradisi zakat, bahkan acara tahunan, seperti halnya puasa dan lebaran. Saat puasa, maka sudah pasti setiap malam di isi dengan tadarusan demi taduran yang berada di mushola. Begitulah potret manusia-beragama di desa wargomulyo.

Lalu secara politik, secara aturan desa, secara aturan pemerintahan. Tentu di desa wargomulyo mengikuti gerakan-politik nasional, yang itu menjalin-jalin dengan desa-desa lain, dan bahkan kecamatan. 

Hanya saja, di Desa Wargomulyo, ada ikatan di antara agama dan politik, ada ikatan agama dan kekuasaan. Hal itu terjadi, sejak keberadaan desa wargomulyo. Sejak tempat itu dinamakan ‘desa wargomulyo’ maka disaat itulah ada ikatan antara agama dan kekuasaan. Maksudnya begini, di desa wargomulyo teradakan ‘Kiai Desa’, entah dianggap atau tidak di saat ini, begitulah statusnya, hingga terakhir yang disebutkan Kiai Desa, yang disahkan menjadi Kiai Desa adalah cucu dari ‘Kiai Desa’ pertama dan itu dibacakan langsung oleh Lurah (kepala desa). Ringkas kata, di desa wargomulyo ada ikatan antara agama dan politik. Soal keterkaitannya bagaimana; keduanya laksana beriringan. Dan saling melengkapi. 

Maksudnya begini: agama berperan sebagai agama, dan politik berperan sebagai politik. Namun lebih sering, acara keagamaan itu berperan kuat untuk agenda politik, maksudnya agenda politik tentu ‘agenda agama—atau acara agama’ dijadikan kesempatan untuk berbicara tentang kemaslahatan rakyat—jangan artikan lebih tentang ‘dijadikan kesempatan’. Begini ceritanya: tatkala lurah datang pada suatu acara keagamaan, maka secara otomatis, tradisi orang wargomulyo menghormati aparat desa, maka lurah diperkenankan untuk memberi sambutan. Begitulah kebiasaanya. Jika faktanya, Pak Lurah memberi sambutan lalu berkaitan tentang kerakyatan, atau tentang perdesaan, tentu wajar, karena beliau yang mengurus tentang desa, manalah mungkin akan menyampaikan yang itu bukan selain desa. Tentu saja, Pak Lurah bakal menyampaikan berkaitan dengan pedesaan— jika faktanya, sekarang, kurang terjalinnya agama dan politik kurang baik, tentu ada problem di antara keduanya. Yakni problem dari agama dan problem dari politik (desa) itu sendiri. 

Dengan dasar, kita telah mempunyai ikatan. Mempunyai kontrak yang terikat. Maka mengapa tidak menjalin komunikasi lebih lanjut. 

Dan ketika saya telusuri, ternyata ada problem pada pola keagamaan itu sendiri. Terjadi kendala pada tokoh-tokoh agama itu sendiri, artinya kurang adanya pembicaraan satu sama lain untuk membicarakan yang itu satu tujuan. 

Kekuasaan (Desa) sejauh ini telah merapat, dan mendekat, hanya saja, pada pihak agama, kurang terjadi lebih serius untuk hubungan ini. Penelusuran saya, tentu dengan cara melihat tokoh-tokoh agama di desa. Melihat bagaimana ia menyampaikan pemikiran; pemikiran dalam arti, keputusan bertindak dan keputusan untuk menyampaikan. Tentu saja, analisis saya melalui tidakan dan ucapan atau ujaran.

Dan pikir saya, di era Kiai Sayyid Qutb, orang mesir itu, orang yang pada akhirnya di hukum mati itu, beliau lebih menekankan pada organisasi agama—ikhawanul muslimin—namun kurang terjadi hubungan antara organisasi dengan pemerintahan. Artinya beliau menekankan kuat-kuat pada sektor agama, dan kelompok agama itu menjadi satu ikatan; dengan alasan, apakah kita akan mengikuti sistem-total yang berlaku, atau membuat sistem-sendiri. Itu tawaran Kiai Sayyid Qutb: dan beliau memilih membuat sistem-sendiri: dengan begitu, maka jalan agama ‘laksana’ berdiri sendiri. Dengan begitu, maka orientasi beliau tentu ‘laksana’ memisahkan diri dari ‘sistem yang berlaku’: begitulah yang terjadi pada era Kiai Sayyid Qutb. Sebenanrya, sekali pun itu yang dilakukan, kalau ditinjau secara lebih: maka tugas Kiai Sayyid Qutb, itu persis seorang penceramah atau kiai-kiai yang mulang pada organisasi. Begitulah status Kiai Sayyid. Atau jika di indonesia, maka organisasi itu milik NU atau Muhammadiyah, yang mempunyai gerakan. Gerakan untuk mengidealkan masyarakatnya. Begitulah kira-kira peran dari Kiai Sayyid Qutb.

Sementara di desa wargomulyo, telah terjadi ikatan antara agama dan kekuasaan, keterjalinan itulah yang menjadikan modal, ketidak-terpisahan. Hanya saja, sejauh analisis saya—tentu lewat penglihatan dan saya menjalin menjadi manusia-wargomulyo—keterjalinan itu kurang aktif dan kurang terjadi keterjalinan. Statusnya saja mempunyai hubungan, tapi secara ‘aktifitas’ kurang terjadi jalinan. Demikianlah.

**



Ah dirimu, Fik, gayamu, memikirkan tentang agama dan politik sekelas desa: memangnya, bagaimana agamamu, Fik? Bagaimana dengan urusan politikmu, Fik? Bagaimana caranya kau mempertahankan tentang kehidupanmu, Fik? Bagaimana kau mampu mempertahankan ‘keberadaanmu’ itu? Tentang kuliahmu, tentang kerja-faktamu. Maka bila pun, kau memikirkan tentang hal-hal sosial, jangan lalaikan bahwa kau punya tanggung jawab individual, yakni agamamu, tentang kehidupanmu. Begitu ya. Agama dan politik di desa wargomulyo, memangnya kau bukan bagiannya? Maka renungkanlah. Renungkanlah...

Belum ada Komentar untuk "Agama dan Politik Di Desa Wargomulyo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel