Kanjeng Nabi Muhammad



Kanjeng Nabi Muhammad-- Sejak dulu—oh bukan, kau belum lama mengidolakan kanjeng Nabi Muhammad, namun kau senantiasa berupaya menjaga apa yang disampaikan beliau. Menjaga dalam arti, karena kau berada disekitar orang-orang yang percaya dengan kanjeng nabi Muhammad. Orang-orang menjalankan agama islam. kau berada di suatu tempat yang sibuk dengan tokoh kanjeng nabi Muhammad, yakni desamu. Desamu yang ramai akan pengajian. Desamu yang mengajarkan anak-anaknya untuk membaca al-quran, yang itu mempunyai proses secara perlahan, yakni mengenal huruf hijaiah, membaca iqrok, kepungan, lalu membaca al-quran, yang itu bertahap: dari satu baris demi satu baris, lalu sampai pada kataman. Kataman al-quran. Dan kau didandani dan di arak. Selain itu, setiap tahunan kau turut serta memeriahkan hari besar islam: yang mana islam itu sejak ada ribuan tahun yang lalu, dan itu telah mengakar-akar sampai pada cangga bahkan cicitmu beragama islam. intinya beragama islam: bersamaan dengan itu, orang-orangmu itu, berupaya menjaga keislamannya, dan tidak melupakan tentang eksistensi kemanusiaan. disitulah kau ada. disitulah kau berada—kau berada pada gelombang yang itu berpengetahuan tentang kanjeng nabi Muhammad, dan kau dikenalkan tokoh itu pada ceramah-ceramah dan guru ngaji. Selanjutnya, kau berproses mencari ilmu, yang disana kau laksana membaca data-data tentang kanjeng nabi Muhammad: lalu, sekarang, apa yang kau dapatkan tentang kanjeng nabi Muhammad? Maksudku:


Ceritakan padaku, tentang kemenjadian dirimu yang mulai mengidolakan kanjeng nabi Muhammad:


Jawab, “Lewat data-data yang terbaca olehku, lewat buku-buku, kitab, dan bahkan ceramah-ceramah yang tidak terkumpulkan, namun laksana terkumpulkan tentang sosok yang disebut kanjeng Nabi Muhammad itu. sosok yang dikenal dengan Rasullallah. Lalu bersama dengan kajian filsafatku, akhirnya aku mulai mengidolakan Kanjeng Nabi Muhammad—walau belum penuh benar pengidolaannku. Tetap saja, bahasa gampangnya, mengidolakan kanjeng nabi Muhammad—: alasannya sederhana:


Beliau berkata yang itu sesuai dengan perkataannya. Beliau lebih banyak menjalankan dibanding perkataan. Beliau itu terekam jejaknya sebagai orang yang terpercaya. Beliau orang yang pendiam dan setiap kata-katanya mempunyai makna. Intinya, yang beliau tawarkan tentang gerak, aksi dari kata-kata. aksi dari pelaksanaan. 


Saat saya mulai menyelusuri tentang biografi beliau—membaca-baca tentang biografi beliau, dan di zaman yang terbuka lebar pengetahuan, dan data-data tekstual tersebar. Baik berupa terjemahan, kitab-kitab yang menyusun beliau, atau bahkan internet telah tersedia. Data terjemahan? Jawabku, yang menertejemahkan itu melalui proses pengetahuan dan disana ada saringan objektifitas-keilmiahan, bahkan mampu ditelusuri secara hermeunitik dan sibuk dengan linguistic: beginilah zaman logosentrisme, orang pun bekerja di antara penerjemah itu dan itu harus diterima-- wal-hasl saya semakin kagum dengan beliau. Saya semakin percaya bahwa beliau layak untuk dijadikan idola. Idola yang bukan hanya tembang kata, melainkan harus ditiru, dan diupayakan ditiru.


Dan saya pun, berdaya diri untuk meniru, meniru bukan berarti harus menjadi beliau. Sangat mustahil mampu menjadi dirinya, kecuali sekedar meniru. Dan ternyata, untuk meniru beliau tidak semudah yang dipikirkan, tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, meniru berarti harus membaca tentang beliau. Dan membaca beliau, tentu butuh proses. Proses yang panjang untuk meniru beliau. Wal-hasil, kepeniruanku ialah sekedaran kemampuan yang berdaya diri untuk meniru manusia yang diidolakan.

Lamat-lamat (setelah pembacaanku bertambah, dan usiaku menambah; waktu tetap berputar) aku melihat bahwa kiai-kiai orang nusantara, seakan berusaha untuk meniru beliau. Sikap-sikap kiai nusantara—yang saya bicarakan tentu kiai-kiai terdahulu. Kiai-kiai orang-orang dulu. Sebab pembacaannku seringkali berkaitan dengan sejarah—berdaya diri untuk meniru beliau, dan pikirku, maka mengapa aku tidak meniru kiai-kiai nusantara itu. 

Kiai yang tetap bekerja dan menjalankan keislaman. Kiai yang tidak begitu berharap untuk berceramah. Dan pakaian bukan sekedar pencitraan atas nama kiai. Melainkan upaya untuk meniru kanjeng nabi.

Jika ditanya, lho kok sampai kiai-kiai Nusantara?


Jawabku, karena terlalu sukar untuk membaca langsung kanjeng nabi Muhammad, dan terlalu sukar dan payah untuk membaca kiai-kiai timur-tengah, maka pembacaannya ialah kiai-kiai nusantara.


Hingga akhirnya, ternyata membaca kiai-kiai nusantara itu, untuk menjalankan keislaman sebagaimana model kanjeng nabi Muhammad pun tidak mudah, dan yang termudah ialah membaca kiai kelas kampung. Artinya. Bagaimana sikap kiai-kampung menyikapi keadaan yang ada. Bagaimana kiai kampung menyikapi seluruh hal yang ada. Sebab, dari kiai-kiai kampung itulah, pengetahuan tentang kanjeng nabi Muhammad itu ditularkan. Maka bersamaan dengan itu, saya mulai membaca tentang kiai kampung. 

Sekali pun prioritas utama untuk cerminan ialah kanjeng nabi Muhammad secara total, namun untuk mendapatkan itu sangat sukar, maka harus kembali kepada hal yang dasar. Yakni kiai kampung. Tujuannya tentu untuk mempermudah pembacaan sosok Kanjeng Nabi Muhammad dan menjalankan keislaman, yang mana tubuh-individu itulah pelakunya. 


Sebab pengetahuan islam itu, pengetahuan praktis dan mampu dijalankan secara langsung dan bakal berlaku dan terus berlaku: wudhu, shalat, azan, haid, iqomat, pertemuan: bersama guru, orang-tua, anak-anak, tetangga, pasar, dagang, pekerjaan. Itu semua ada pada agama islam, itu semua berlaku bagi orang muslim. 

Namun perlu diingat, mengapa aku sampai mengidolakan kanjeng nabi Muhammad (jangan terburu ‘menjustise’ tentang kata pengidolaan—karena untuk menjadi beliau itu mustahil, maka aku bersikap menjadi diri sendiri)? Jawabku, karena beliau sangat hebat menguasai diri, dan selaras antara kata dan laksana. Demikian dulu.



2017



Belum ada Komentar untuk " Kanjeng Nabi Muhammad"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel