Menerima Hidup



Menerima Hidup-- Apa kabar cintaku: kaukah telah menerima tentang hidup yang begini adanya. Tidak ada protes terhadap gerak-gerik manusia. Tidak protes terhadap kemajuan yang terjadi. tidak protes dengan ulah-ulah tangan nakal yang menakali. 

Apa kabar cintaku: kaukah telah menerima segala rupa dan tabrakan kemanusiaan yang mengarah kepadamu. yang mana kau harus menjalani putaran rasa, yang silih berganti. Lalu bola matamu mulai berkaca-kaca, itulah sedih. Sedih karena harus menjalani, karena sebelumnya merasakan sesuatu yang bukan tentang kesedihan. Bukankah begitu watak alami dari manusia?

Ya, apa kabar cintaku: sudahkah kau menerima dirimu menjadi manusia. Selayaknya manusia, yang punya marah, dendam, dengki, amuk, kesal, kecewa dan puspa ragam diksi lainnya, yang menyertai manusia. Mengeluh, mengadu, bercerita, mendengar, merasa, menyecap dan segala rasa yang terangkum pada diri manusia.

Hhhhmmm, ya, apa kabar cintaku: kaukah telah menerima, o diksi yang kuulang-ulang, menyampaikan padamu, tentang segala hal yang harus diterima secara total dan mutlak yang harus bersarang di dalam pikiran mau pun hati, yang itu berada pada diri manusia. Protes ialah kewajaran. Marah ialah hal yang wajar. Begitulah manusia: bukankah begitu, cintaku.

Cintaku, atau perkataanku ialah sekedaran penyampaian yang diindah-indahkan, laksana sajak cinta yang mungkin mellow atau sendu, atau membuatmu menertawakan deretan kata yang terkesan gombal dan merayu. Demikianlah kata: dan kau, tentu menyadari itu. bahwa kata mampu menjadi topeng sekaligus pembeda di antara keduanya. Dan sesungguhnya, kabarku, o cintaku:

Kabar yang berharap ingin bertemu dan abadi dalam pertemuan, tak ada perpisahan, tak ada kata yang menyakitkan, tak ada rasa-rasa yang berputar. Datar. Monoton. Biasa. Namun tidak bosan. Oh kabarku, cintaku, tentu laksana kebosanan dengan apa yang terjadi. kepadamu, aku kabarkan keakuanku.


Selain itu, kalaulah hidup tidak terima, bagaimana? Sementara, kedudukan kita, sekarang ini—fakta-fakta ini—telah menjadi atau bahkan merasakan proses hidup. Tentu saja, mau bagaimana pun, harusnya diterima.


Protes-protes yang terjadi, ialah tentang ketidak-terimaan akan realita yang menghampiri. Begitulah kedudukan manusia yang protes: bahwa ia melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi prinsipnya, itu sebabnya ia protes. Berharap membenarkan apa yang diproteskan, setidaknya harapan untuk ‘pembenahan’ terhadap apa yang dijalani. Pembenahan itu bertujuan sesuai dengan apa yang menjadi cita-citanya. Dan begitulah yang terjadi kepadaku, yang terjadi atas diriku, yang masih mengganjalkan tentang sesuatu yang berharap menjadi sesuatu yang dikehendaki—kehendak yang umum barangkali. Kehendak yang kadangkali tersebulung kehendak ingin mengusai—oh begitulah ungkapan yang sering dilontarkan oleh Filsuf Jerman itu, Nietzsche. Sebuah diksi yang mungkin mempengaruhi, atau memang begitulah watak dari kemanusiaan; berharap menguasai dan dengan kuasanya maka orang tersebut laksana menjadi diri yang diungguli dan disoroti. Mungkin itu juga yang terjadi kepadaku. Yang terjadi kepadaku, bersamaan dengan itu: aku laporkan tentang lintasan pemikiranku, kepadamu dengan harapan kau mengetahui, sekali lagi, lebih jelas tentang gerak-gerik pemikiranku.


2017







Belum ada Komentar untuk "Menerima Hidup"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel