Sayyid Qutb dan Keadaan Zaman Secara Total Tinjauan Filsafat Ontology


Tinjauan Filsafat Ontology

Saya berusaha melihat Kiai Sayyid Qutb dengan kacamata (perspektif; sudut pandang) ontology, yakni suatu keadaan yang berada di dunia pada umumnya—jika ditanya metodenya apa? Jawabku, metode historis. Yakni berusaha membaca Kiai Sayyid Qutb dengan sejarah yang ada. Dengan fakta-fakta yang ada pada zamannya beliau.

Seperti saya yang ketahui tentang pembacaan sejarah filsafat, bahwa keberadaan Sayyid Qutb sudah berada pada masa gerakan filsafat Postmodern, yang mana, orientasi pemikiran pada saat itu, ialah logosentris. Begitulah pemikiran barat yang terjadi, sibuk pada teks atau logo atau bahasa. Sebab Sayyid Qutb sendiri hidup di era abad 19, atau tepatnya 1900 Masehi. Bahkan orang-orang filsafat seringkali masuk pada masa filsafat analitik, yakni filsafat analisis. Apa yang di analisis, tentu tentang logo demi logo atau hal-hal yang menggejala. (Sekurang-kurangnya begitulah tangkapan pengetahuan yang saya dapatkan dari pembacaan.) Di saat itulah Kiai Sayyid Qutb hidup, Kiai Sayyid Qutb menjalani proses kehidupan.

Kehidupan yang didasari dengan pengetahuan islam, sebab beliau berada dikalangan orang-orang islam, artinya orang-orang timur, yang mana di sana berketat-kuat akan dasar agama. Sebagaimana diketahui, bahwa sejarah agama monoteisme itu berakar dari timur, dan tradisi-tradisi agama banyak dari ketimuran itu. Sepertinya halnya keberadaan para nabi, rasul. Seperti halnya Nabi Ibrahim. Yang kemudian mempunyai keturanan yang itu juga para nabi: Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Dan nabi Ishaq mempunyai anak yakni Nabi Yusuf. Dan keberadana Nabi-nabi itu secara tidak langsung laksana menjadi ‘orang-pembesar’ yang mempunyai cita-cita sebagaimana tugasnya para nabi, yakni menganjurkan orang untuk beriman kepada Allah. Sementara itu, di arah Nabi Ismail, menjadi anak demi anak, meneruskan dari apa yang ayahnya ajarkan, hingga sampailah kepada Nabi Muhammad, yang itu disebut dengan Rasullallah. Dan ajaran berserta fakta-fakta kanjeng nabi muhammad itu kuat dan teramat ‘mengerat’ para pemikiran (maksudnya pengetahuan islam yang ditawarkan berakar kuat pada ideology dan kehidupan praktis), sampai akhirnya, ajaran itu sampai sekarang, sampai di masa Kiai Sayyid Qutb. Artinya daerah Mesir, atau Jazirah arab tentu mendapatkan tempat spesial untuk ‘ajaran islam’ sebab di sana masih ada kesamaan, yakni arab. 

Apanya?

Bahasa. Dan sekurang-kurannya budaya, keadaan sosial, seting tempat.

Lebih-lebih, Mesir menjadi pusat pengetahuan, yakni dengan keberadaan universitas Al Azhar, maka keberadaan hal itu menjadikan mesir menjadi negara yang spesial bagi umat islam. Yang saya maksud pusat pengetahuan begini: sejarah telah mencatat bahwa pengetahuan yang kuat atau berakar-akar tentang pengethauan islam itu berada di mesir. Walau pun dulu, pernah disebutkan bahwa pusat perababan islam itu di Irak, Bagdad. Namun tetap saja, mesir masih berdekatan dengan Bagdad. Sebab, masih dalam satu kelompok manusia, yakni Jazirah arab. 

Di tempat itulah Kiai Sayyid Qutb hidup. Di tempat itulah beliau menjalani proses hidup, berlatih pengetahuan, maka, sering dikatakan, bahwa tatkala beliau muda sudah Hafal Al-Quran.—mungkin bagi orang-orang mesir, atau jazirah arab, orang hafal al-quran itu sudah biasa. Apalagi di zaman Sayyid Qutb. Yang mana, keislaman telah mengakar-akar. Telah berakar-akar maksudnya, telah turun termurun. Dan islam laksana mulai menyatu bersama realitas yang ada.—lalu ketika dewasa, saat mulai pengetahuannya mulai memikirkan banyak hal. Pemikirannya mulai aktif. Aktivitasnya mulai berkenalan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain—sebab di zaman 1900 Masehi; telah dikenal dengan zamannya kolonialisme, yakni zamannya orang-orang barat menyentuh seluruh dunia. Dengan kapal-kapalnya, yang menawarkan tentang barang-barangnya. Sebab sebelum itu, di eropa telah terjadi revolusi industri. Dengan keberadaan revolusi industri maka teradakanlah alat-alat teknology (transportasi) dan telekomunikasi.

Di saat itulah Kiai Sayyid Qutb hidup. Di saat itulah Kiai Sayyid Qutb menjalani proses kehidupan.

Bersamaan dengan itu, beliau berpengetahuan al-quran dan tentu berbackgrone keislaman: backgorne keislaman, pastinya mengarahkan pada realitas yang fakta, realitas yang penting kesadaran individu terhadap keimanannya, kesadaran individu akan keberadan Tuhan, kesadaran individu menunaikan tugas individu, yakni menjalin dengan manusia yang lain, yakni saudara muslim. Karena orang-orang mesir—mungkin, banyak yang muslim—maka satu sama lain harus menyatu, dan syarat utamanya, harus berinteraksi satu sama lain. Dengan gaya, menjalankan pengetahuan islam yang diterima. Tidak membangkan pengetahuan yang diterima. Tidak memberontak pengetahuan-islam yang dimiliki. Maka mau tidak mau, kaum muslim harus bersatu. Sebab, mau tidak mau: keberadaan shalat lima waktu menganjurkan muslim untuk berinteraksi dengan muslim lainnya. Konsistensi shalat lima waktu bakal menciptakan tradisi interaksi kepada jamaah yang lain. Itu sebabnya, Kiai Sayyid Qutb menjelaskan perihal keislaman ulang. 

Mungkin, karena hal yang dilakukan itu, berpengaruh bagi orang-orang mesir, atau jangan-jangan organisasi ikhawanul muslim itu banyak, dan orang-orang laksana berpikir seperti apa yang aku paparkan tersebut; maka organsisasi tersebut laksana menentang negara. Walau sebenarnya—mungkin ini yang dicita-citakan—kiai Sayyid Qutb berharap bahwa setiap muslim harusnya menjadi muslim yang benar-benar muslim. Maka secara otomatis, kalau menjadi seperti itu, bakal membentuk suatu aturan yang itu bakal terkontrol oleh pihak keislaman.

Namun yang jelas, keadaan atau status keberadaan Kiai Sayyid Qutb, berada pada Masa Filsafat Analitik, filsafat postmodern ; dan kesibukan orang-orang pada teks, sementara islam itu mengajurkan teks yang terlaksana. Demikian.

2017

Belum ada Komentar untuk " Sayyid Qutb dan Keadaan Zaman Secara Total Tinjauan Filsafat Ontology"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel