Memikirkan Orang-orang
Kamis, 21 Desember 2017
Tambah Komentar
Memikirkan orang-orang, berarti memikirkan tentang sebagian orang. Atau bahkan tentang memikirkan ketotalan orang-orang yang ada, yang ada pada keseluruhan jangankauan pengetahuan di dalam diri. Semakin banyak pengetahuan tentang orang, maka semakin itulah yang kau pikirkan. Lalu, batasan apa yang kau pikirkan, Taufik?
Sebataskah Desa yang kau pikirkan? Atau sebatas RK, atau RT, atau kecamatan, atau kabupaten atau provinsi, atau bahkan sekelas nasional. Karena di sanalah ada orang-orang. Banyak orang-orang.
Lalu kataku, untuk apa kau:
Memikirkan Orang-orang
Bertujuan apa kau memikirkan orang-orang? Artinya, aku berusaha untuk meneguhkanmu tentang tujuanmu, karena kau harus jelas dengan tujuanmu, bahkan tujuan pemikiranmu. bukan sekedar tentang pemikiran yang asal-asalan, lebih-lebih asal tunjuk orang-orang. Kenalilah, orang-orang itu adalah sebutan yang banyak untuk perkumpulan manusia. Atau jangan-jangan kau terpengaruh dengan rangkaian sejarah pengetahuanmu, yakni sejarah pemikiran, yakni filsafat itu.
Yang itu kajiannya ialah ketotalan segala hal yang ada, bahkan mengutik-utik tentang sejarah keberadaan manusia. Sejarah peraban, mulai dari zaman klasik sampai zaman kontemporer. Mulai dari era pertanian sampai era informasi. Lalu pemikiranmu, seakan-akan mengajak dirimu untuk menjadi pahlawan. Pahlawan tanpa gelar. Pahlawan tanpa kedudukan. Dan kau berperan layaknya Socrates yang mendialogan diri tentang kebenaran yang ada.
Kau memicukan orang-orang untuk menjadi sesuatu, memikirkan tentang ketotatalan, tentang kesejarahan keberadaan, tentang sejarah nasional, bahkan tentang sejarah manusia itu sendiri.
Namun ingatlah, apa tujuanmu memikirkan orang-orang? Sebutlah itu di dalam dadamu, kau harus tahu alasan kuat kau memikirkan orang-orang. Dan kau harus juga menyadari, siapa dirimu sebenarnya? Berkedudukan apa? Berhak apa sehingga kau memikirkan orang-orang?
Saranku: kau boleh memikiran sesukamu. Ya, aku beri kau kebebasan berpikir—toh nyatanya, aku tidak mampu mengendalikan kau berpikir, karena itu ialah pemikiranmu—berpikirlah sesukamu, tapi ingatlah, bahwa dirimu itu penting dipikirkan, Taufik. dirimu itu penting untuk kau selamatkan, Taufik. dirimu itu penting untuk disejahterakan, Taufik.
Kau boleh menyejahterakan orang-orang lain, tapi dirimu juga penting kau sejahterakan. Bukankah kau belum mempunyai gelar yang nyata di antara orang-orang yang menunggulkan gelarnya? Bukankah keahlianmu belum benar terahlikan di antara orang-orang yang ahli terhadap keahliannya?
Kau mungkin mulai ‘menyerang’ orang-orang intelektual itu, tapi kau penting mengarahkan diri terhadap dirimu: sudahkah benar engkau membuktikan bahwa kau ialah orang yang intelektual. Dan kau tahu, syarat menjadi orang intelektual di zaman keterbukaan ini alah memasuki system yang kuat itu, lalu secara otomatis kau akan tersebut menjadi seorang yang intelektual. Dengan begitu, kau mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Sesuatu untuk diujarkan. Sesuatu untuk disampaikan.
Lha sekarang, kalau kau sibuk memikirkan orang-orang, bahkan sekelas desa, ingatlah, siapa dirimu di desa, apa yang menjadikanmu berpikir di desa: apakah karena kelayapanmu itu? apakah karena keaktivanmu itu? okelah, itu bisa menjadi alasan. Namun, tetap ingatlah tugasmu: tugas utamamu, sebagaimana sering aku sampaikan: selamatkanlah dirimu. Selamatkanlah pemikiran, Taufik. artinya, tentu: kau penting memikirkan dirimu. Sebab, secara otomatis, manusia itu memang mahluk sosial sekaligus mahluk individual. Dan kau, sejauh ini, lebih cenderung kea rah mahluk sosial dan kau lalai bahwa dirimu juga sebagai mahluk individual.
Belum ada Komentar untuk "Memikirkan Orang-orang "
Posting Komentar