Cita-cita Kehidupan
Senin, 18 Desember 2017
Tambah Komentar
Hidup seperti apa yang kau cita-citakan? O betapa malangnya diriku, yang laksana tidak mempunyai cita-cita dalam kehidupan, atau belum menerima benar proses kehidupan. Yaitu menjalani tahap demi tahap tentang kehidupan. Menyelesaikan masalah yang ada di depan mata. Menyelesaikan masalah yang itu menjadi tanggung jawabku. O kehidupan seperti apa yang kau cita-citakan? Ingin kaya, lalu dengan kekayaannya bakal bekerja dan mempunyai kuasa.
O hidup seperti apa yang kau cita-citakan? Sekedar menjalani proses kehidupan, mempunyai istri, mempunyai anak-anak, lalu menyekolahkan anak-anak, dan berharap anak-anak menjadi hebat pada sistem keilmuan, lalu si anak menjadi dewasa: menikah, dan mempunyai anak-anak, lalu menyekolahkan lagi anak-anaknya, di suruhlah anak-anaknya untuk rajin belajar, supaya kelak menjadi ‘orang’. Artinya orang yang itu berguna bagi bangsa dan agama. Menjadi orang yang baik, yang itu bermanfaat buat manusia yang lainnya, yang itu menjalani kehidupan secara normal: dan segala hal yang membuat luka manusia ialah kewajaran.
O hidup seperti apa yang kau cita-citakan? Mencita-citakan bahwa seluruh rakyat sejahtera dan satu sama lain berkasih sayang, saling perduli, saling mengerti, saling menyaling yang lain. Dan setiap manusia bakal bekerja dan mempunyai pekerjaan: lalu dengan pekerjaannya itu, mampu mencukupi untuk proses kehidupan. Yang mana manusia membutuhkan makan, membutuhkan tempat tinggal, membutuhkan pakaian, membutuhkan manusia yang lainnya: sesrawungan, jalin menjalin, merayakan ulang tahun, merayakan acara sunatan, merayakan sunatan, dan merayakan, perayaan-perayaan yang lainnya.
O hidup seperti apa yang kau cita-citakan? Menjadi orang yang mengikuti sistem kehidupan, menjalani fakta demi fakta: dan menuruti nafsu-nafsu yang itu tabiat dari manusia, yang dibekali nafsu untuk mempertahankan diri. Nafsu ingin memiliki. Nafsu ingin mengusai. Nafsu ingin menjadi manusia yang dihormati. dan menjadi manusia yang berdiri di depan sendiri:
Menjadi pengkhotbah tentang kebaikan. Mengajak manusia untuk mengingat Tuhan. Menjadi manusia yang baik mengikuti hukum-hukum. Menjadi manusia seperti manusia-manusia yang lain, yang itu bekerja, serius dengan pekerjaannya, dan bersamaan dengan itu menjalani realitas yang ada: tentang era-era teknology, era informasi, era telekomunikasi; dan rumah-rumah di lengkapi dengan perlengkapan-perlengkapan canggih yang itu memudahkan manusia melakukan segala sesuatu. Yang pasti, cukup diri sendiri untuk menikmati realitas-realitas yang terjadi.
O hidup seperti apa yang kau cita-citakan?
Aku merasa bahwa aku ‘terpayahkan’ menetapkan tentang cita-cita yang ada di dalam diriku, tentu di dalam diriku: kadang berpikir, bahwa menikah ialah solusi alternatif untuk menyemplungi arus kehidupan, yang dengan itu, bakal mempunyai beban untuk memiliki rumah, untuk mempertahankan diri, bekerja, dan dengan itu mempunyai kesibukan dari apa yang dikerjakan itu. Yang bergaya serius dengan apa yang dikerjakan. Lalu berjalannya waktu, bakal mempunyai anak, yang dengan itu, maka bakal menabungkan diri untuk anak. Untuk biayanya. Untuk menyekolahkan. Untuk membayar apa-apa yang dibutuhkannya. Seperti gadget, sepeda motor, atau bahkan mobil, atau pakaiannya, atau yang lainnya yang itu kebutuhan anak.
Dan jangan lupa mendidik anak tentang agama, sambil berkata: yang pasti kau menjalankan agama, dan baik. Itu saja. Jangan serius-serius dengan agama. Yang pasti kau menjalankan apa-apa yang ditawarkan dari agama. Dari guru agamamu. Jangan muluk-muluk berpikir tentang agama. Apalagi di zaman yang maju ini, di zaman yang terang benderang berkaitan dengan pengetahuan. Yang dibutuhkan itu tentang kecerdasan intelektual dan kau mampu bekerja, yang dengan pekerjaannya itu kau mendapatkan bayaran yang besar. Sebab, kehidupan di era modern (di era kontemporer) sarat dengan keperuangan. Dan dengan uang, kau mampu berkeliling mengunjungi negara demi negara, yang dipamerkan di televisi atau media-media yang bisa kau cari dengan gadgetmu. Atau kau mengumpulkan uang dan lalu berkunjung ke mekah, melakukan Haji, sebagai rukun iman yang kelima. Lalu kalau kau terus saja bekerja, maka kau melakukan ziarah atau umroh. Dan itu nak, membutuhkan uang. Begitulah titik aman untuk kehidupan ini, Nak.
Jika kau bertanya kepadaku tentang apa yang dicita-citakan dari kehidupan ini? Jawabku, menjalani kehidupan yang semestinya. Semestinya tentu ukurannya zaman: keadaan zamanmu, itulah ukuranmu, Nak.
Yang pasti, kau, jangan berharap untuk dibanggakan, untuk dipuji, untuk hormati, untuk disegani: jika orang-orang membanggakanmu, maka terimalah itu dengan biasa, karena segala puji ialah milik-Nya. Jika kau dihormati, maka terimalah itu dengan biasa karena segala kehormatan kembali kepada-Nya. Jika kau disegani, maka terimalah itu dengan biasa karena segala keseganan itu kembali kepada-Nya.
Jika kau tidak dihormati, tidak dibanggakan, tidak dipuji, tidak dihormati. ingatlah, bahwa semua ini adalah milik-Nya, segala apa-apa yang dihormati, yang dibanggakan, yang dipuji ialah milik-Nya.
Belum ada Komentar untuk "Cita-cita Kehidupan"
Posting Komentar