Menjaga Jamaah

Menjaga Jamaah-- Kau telah merasakan bahwa saat shalat sendirian itu terasa hampa dan kosong. Shalat sendirian menjadikan keseriusanmu berkurang. Menjadikan mahorijul-hurufmu kurang terpakai. Pemaknaan teks menjadi tiada. Rangkaian surat laksana kosong. Rangkaian gerak-gerik, sekedar gerak-gerik belaka, maka tidak ada solusi kongkrit kecuali menjalankan itu secara berjamaah. 

Bukankah kau menyadari bahwa tatkala jamaah, maka shalatmu itu diserahkan kepada si imam. Bersamaan dengan itu konsentrasimu benar-benar terkonsen bahwa kau menyerahkan dirimu kepada-Nya, pasrah kepada-Nya, walau sesaat dan itu lebih tenang dan mapan. Mahorijul-hurufmu terpakai. Pemaknaan teksmu, bekerja. Kontekstualmu terjadi. imajenasimu tentang orang-orang dulu terjalin. Interaksimu dengan gurumu, teradakan. Metode-metode ilmiahmu tergerakkan, dan pemikiranmu tentang manusia, bergerak. Pemikiranmu tentang sosial, bertambah. Pemikiranmu tentang individual, terjaga. Akhlakmu semakin tertata.

Selain itu, kau merasa tidak sendirian. Kau tidak berpikir sendirian. Kau tidak berjuang sendirian. Dan kau ingat tunaikan shalat sunah, kau tunaikan sunah-sunah yang lain, maka saranku:

Luangkanlah waktumu mejaga jamaahmu. Jagalah jamaahmu, yang tujuannya, tentu ditujukan utama lilahita’ala. Yang kemudian, tujuannya ialah dirimu. Dirimu yang lebih tenang tatkala beribadah kepada-Nya. Dirimu yang menghamba kepada-Nya.

Jika ada yang berkata, ‘kenapa harus jamaah, apakah kau tidak berani shalat sendirian?”

Jawabku, ini bukan soal berani dan tidak berani. Namun soal makna dan ketiada-maknaan. Sebab kalau shalat sendiri, shalatku kurang bermakna. Masih sering jengkelat-jengkelit. Masih sekedar menunaikan shalat. Sekedar menunaikan kewajiban. Laksana ‘keperlaksanaan’ belaka, yang kurang makna, yang kering makna.

Itulah tempatku. Itulah kedudukanku sekarang. Kedudukan pada hal ibadah. membutuhkan bantuan yang lain untuk ‘membakarkan’ gairahku pada hal beribadah. Membutuhkan bantuan yang lain untuk ‘memompa’ semangat untuk penyerahan kepada-Nya.

Sebabnya lagi, ketika shalat jamaah itu senantiasa dilakukan maka secara otomatis si pelaku (aku) mulai mengontrol waktu dan akan berkata: ini saatnya ibadah. maka pada saat itu, diupayakan untuk memberhentikan waktu untuk menuju kata: ini saatnya ibadah. jika hari ini ‘ketepatan’ waktu belum terlaksana, maka esok harinya, akan diupayakan lagi untuk menempati: ini saatnya ibadah. tentu control waktu ini akan sangat berpengaruh dengan apa yang akan dikerjakan.

Maksudnya saat hendak melaksanakan ibadah, maka sudah bersiap-siap untuk menjalankan ibadah. ini sebenarnya tentang pengendalian waktu, yang itu waktu diseting olehku. Artinya, bukan aku yang mengikuti waktu itu bekerja, namun si waktu itu telah terketahui dan aku menjalankan keperwaktuan itu.

Hal itu terjadi, jika tidak ada acara. Artinya pada hari-hari biasa terjadi. pada hari yang itu tidak mempunyai acara yang ‘berkepentingan’ pada acara kebersamaan; artinya tidak memaksakan diri untuk berjamaah. Syukur-syukur jika mengajak yang lain untuk berjamaah dengan alasan (karena ini memang sebuah alasan): aku belum mampu shalat sendirian, mari bareng.

Bersamaan dengan itu, maka saya berusaha mengingat tentang kejadian berjamaah di zaman kanjeng nabi Muhammad—apakah data ini adalah kevalidan data? Data yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya? Jawabku. Aku menggeleng. Ini ialah upayaku untuk:

Menjaga Jamaah

Dan ukuranku—berupaya mengukur—di era Kanjeng Nabi Muhammad. Peringkasanku begini:

Kanjeng nabi itu orang yang telah mapan kepada dirinya sendiri—ah ini mungkin anggapanku, atau sebenarnya memang begitu; dan orang-orang ahli agama pastilah mengetahui itu—sehingga beliau mampu mengontrol waktu, dan beliau sendiri, pastilah sangat rajin untuk menjalankan shalat yang itu ada pada keumuman. Yakni di masjid. selain itu, rumahnya pun dekat masjid. bahasa nusantaranya, persis seperti kiai-kiai yang ada di pondok pesantren. Kanjeng nabi Muhammad itu laksana si pemilik ndalem. Yang dekat dengan masjid, maka saatnya shalat, akan menunaikan shalat.

Selain itu, usia kanjeng nabi pun, telah mapan—ini pembicaraan, ketika kanjeng nabi Muhammad berada di madinah-- yang mana, aktivitas kesehariannya, besar kemungkinan: rumah dan masjid. rumah dan masjid. itulah besar kemungkinannya. Bila pun ada acara, maka itu ialah undangan dan pembicaraan demi pembicaraan. Sebab, kanjeng nabi juga, ialah seorang negarawan. Sebut saja dengan itu. artinya bermain strategi, bermain politik. Maka di sana ada pembicaraan dengan jajaran-jajaran yang lain: yakni jajaran shalat. Atau orang-orang jamaah. sebab, dengan keberlangsungan jamaah yang itu konsisten, terus menerus, bakal menghadirkan dialog. Bakal terciptanya pembicaraan satu sama itu. terlepas dari itu, jamaahlah, karena dirimu ‘belum mampu’ shalat sendiri. Arti belum mampu yakni, kau laksana kehilangan makna tatkala menunaikan shalat yang itu sendirian. Maka, jagalah.

Belum ada Komentar untuk "Menjaga Jamaah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel