Mahasiswa Islam



Mahasiswa Islam-- Bisakah dibayangkan jika ketotalan semua mahasiswa yang berada di bawah naungan ‘mahasiswa islam’ itu menjalankan keislamannya secara penuh; yakni, menjalankan rukun iman dan rukun islamnya. Menjalankan teori-teori agama islam, yang tentu berpatokan pada akhlak kanjeng nabi, dan dia menjadi para peneliti ilmiah keislaman. Tentu, orang-orang islam akan maju yang itu bermoral tinggi. Sebab, tawaran kanjeng nabi muhammad itu berkaitan dengan aklak atau moral yang tinggi.

Namun realitas—fakta-fakta yang sering saya jumpai, bahkan saya sendiri—tidak seperti klaim ‘mahasiswa islam’ yang sesungguhnya. Realitas seringkali mengabaikan tentang aklak yang islami; mahasiswa islam sering melanggar tentang keislamannya; termasuk perihal shalatnya. 

Amatilah lebih seksama pada realitas mahasiswa-islam itu, secara global, dimana pun ada status ‘mahasiswa islam’: apakah mereka sibuk dengan atas nama keislaman. Seenggaknya mendirikan shalat. Dan orang-orang yang takut dengan Tuhan. Atau bahkan sibuk pada keilmuan-setiap harinya: yakni meneliti, membaca, mengamati, dan menjalankan keislamannya secara total. Yakni menjalankan apa yang semestinya dijalankan oleh manusia-islam dan itu menjadi manusia yang ilmiah.

Maksudku, manusia-muslim yang itu sarat dengan ilmiah. Artinya manusia-muslim yang menjalankan kemuslimannya, dan itu sarat dengan ilmiah; artinya memutuskan sesuatu yang sarat dengan pertimbangan dan teori demi teori. Bukankah itu tujuan dari manusia-ilmiah? Yakni, manusia yang menguasai teori demi teori dan memutuskan sesuatu tidak dengan mudah. Melainkan adanya proses penelitian. 

Lebih-lebih, kaum muslim itu, sangat-sangat diajari, bahwa setiap kejadian itu ada rekamanannya. Suatu contoh ialah pribadi kanjeng nabi sendiri: yang direkam oleh manusia-manusia sekitarnya. Yang direkam dan diamati seluruh rakyat muslim. 

Lebih lanjut, pikir saya, begini: bahwa setiap manusia-muslim yang ilmiah itu, juga menyadari bahwa setiap manusia-muslim itu direkam oleh keadaannya, yakni tingkah-lakunya. Dan untuk mendapatkan data-data tersebut, maka manusia-ilmiah-islam: sudah pasti, harus mengelupas benar tentang pengetahuan keislaman secara total dan menyeluruh. Sebab ia adalah mahasiswa islam. 

Yang anggapan orang-orang—khususnya di indonesia. Ah di desaku—mahasiswa itu aktivitas hariannya tentu belajar dan belajar. Sibuk dengan teks-teks belajar, dan pegangannya ialah pena dan buku, buku dan laptop, dan selain itu: menjalankan keislaman secara total dan bahkan lebih rajin daripada orang-orang yang bukan belajar islam. Artinya, mempunyai spesial tersendiri, karena ia mahasiswa-islam. Karena ia ialah manusia-pendidikan, manusia-ilmiah, yang berlabel keislaman.

Namun faktanya, realitas yang terjadi— realitas yang tentu pada jangkauan saya. Sekedar jangkauan saya melihat realitas; dan saya juga masuk pada ukuran realitas itu sendiri—manusia pendidikan, manusia-islam yang berlabel islam itu: malah kurang sibuk dengan aktivitas keislaman. Yakni penerapan akhlak dan penerapan ibadah sebagaimana tawaran pengetahuan keislaman (tentu ukuran pengetahuan islam, di mulai era kanjeng nabi sampai generasi kiai-kiai yang menjalankan keislamannya). Semestinya, mahasiswa-islam, menjalankan ibadahnya lebih mantap dan lebih getol: tidak bermalas-malasan, tidak ragu-ragu, sebab ia juga menyadari bahwa ibadah itu untuk dirinya sendiri: yakni, hubungan si aku dengan tuhan, selanjutnya ada juga ibadah yang berkaitan antara diri dengan diri yang lain. Wal-hasil ada perbedaan yang mencolok antara orang yang berpendidikan islam, dan orang yang bukan berpendidikan agama islam. Demikian.

**



Ah Taufik, sesungguhnya siapa yang kau bicarakan itu (maksudku, aku berusaha meneguhkan dirimu sendiri), jangan-jangan kau terlalu berpikir tentang kebanyakan orang, tapi kau sendiri tidak melihat dirimu sendiri. Sekarang, maka mengapa kau tidak menjalankan atau benar-benar menjadi mahasiswa-islam yang itu mahasiswa yang ilmiah, dan itu tidak melupakan tanggung jawab dirimu sebagai manusia muslim, yakni ibadah. Jika kau melihat orang-orang melanggar keislaman, yang pasti, kau jangan ikut-ikutan. Jika kau melihat orang-orang enggan menjalankan pengetahuan keislamannya. Ingatlah sekarang zaman apa: zaman postmodern, Taufik. Zaman praktis. Zaman penampilan. Zaman perpameran. Zaman penjelahan. Zaman keinginan untuk memiliki. Zaman untuk keberbanggaan. Maka saranku: jadilah dirimu menjadi mahasiswa-islam yang berilmiah, dan jangan lupakan statusmu menjadi manusia-muslim.

Belum ada Komentar untuk " Mahasiswa Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel