Kitab Mabadi Fikih: Shalat Jamaah





Hari ini kita mengulang—ingat, mengulang—yakni, mengonfirmasi pengetahuan yang telah kita ketahui, atau jangan-jangan kita belum mengetahui, dan mengetahuinya secara acak tentang ‘pengertian’ shalat jamaah: kok bisa mengetahui secara acak? Jawabnya, ya tentu bisa, karena zaman sekarang adalah zaman yang berpengetahuan acak. Sebabnya sekarang itu, zamannya informasi dan zamanya percepatan. Tandanya, banyak buku terjemah, banyak ustad-ustad bergeyangan di dunia maya. Entah itu ustad yang ilmunya standar atau standar-standar saja tentang agama, atau jangan-jangan tidak begitu mengetahui agama, namun menyebarkan tentang agama. Dan itu bisa saja, sebab zamannya memang begitu. contohnya: orang yang kurang berpengetahuan, membagikan lewat internet, menulis blog, mereferensikan dari kitab ini ke kitab ini, maka membuat kesimpulan, bersamaan dengan data tersebut, maka terjadilah keacakan pemikiran. Begitulah yang terjadi pada makalah-makalah, dan itu memang zamannya, zaman ilmiah, zaman objektif. Namun, kita mengkaji lagi atau mengulang tentang hukum shalat jamaah.

Apa itu hukum shalat jamaah?


Hukumnya, fardu kifayah untuk orang laki-laki yang mukim, dan sedikitnya shalat jamaah itu imam dan makmum.


Begitulah hukumnya, fardu kifayah, jadi kita tidak bisa memaksakan atau mengharuskan umat atau orang-orang untuk menunaikan shalat jamaah: ya syukur, kalau mau ikut shalat jamaah. Lebih-lebih kita yang melakukan shalat jamaah, sebab kita telah mengetahui kebaikan atau manfaat dari shalat jamaah. Sekali pun begitu, tetap saja, shalat jamaah itu dikenai hukum sebagai fardu, namun fardu yang kifayah. Ayo dikenang lagi, tentang pengertian fardu kifayah? Yakni, yang pasti dikerjakan oleh sebagian muslim.

Jika memang banyak hadist yang menyatakan tentang ‘pentingnya’ shalat jamaah, maka penting dikabarkan: bahwa itu adalah hadist, yang status hukumnya adalah sunah. Dan sunah itu statusnya lagi, dibawah fardu. Namun, kita telah mengetahui bahwa shalat jamaah itu hukumnya fardu ya? Fardu yang kifayah.

Menyuruh orang melakukan boleh, tapi jangan dipaksakan. Sebab shalat jamaah itu, tidak semudah yang dipikirkan, tidak semudah kalau kita berkata: “Cuma meluangkan waktu 5 atau 10 menitnya saja, itu kok berat.”

Jawabku, sebenarnya bukan soal 5 atau 10 menitnya, namun soal ikatannya itu yang berat. Soal kedudukannya shalat jamaah itu, yang menjadikan kita berat. Sebabnya kita itu laksana di jiret waktu: inilah shalat jamaah. Yang memang kalau dipraktekkan sekali lagi lebih dipertahankan, bukanlah perkara yang ringan, melainkan berat: ini lho, untuk mendapatkan kemuliaan itu tidak gampang. Untuk mengistiqomahkan, itu tidak gampang. Yang jelas, kalau kita shalat jamaah, maka kita mengabarkan orang-orang untuk melakukan shalat jamaah. Cara mengabarkannya pun, tentu harus lembut: yang pasti, tidak memaksa. Karena ini hukumnya, fardu kifayah.

Setidaknya, karena kita mengetahui: ayo, berusaha untuk mempertahankan shalat jamaah. Saling mengingatkan tentang kefarduan. Sebab, sangat manusiawi kalau kita tergoda dengan penyakit, males. Sangat manusiawi kalau kita tergoda akan kemilaunya dunia. Maka hendaknya kita saling mengingatkan untuk menunaikan.

Selanjutnya,

Berapa syarat shalat jamaah?

Syaratnya tujuh, pertama, makmum meniatkan ikut dengan imam. Kedua, makmum mengetahui gerak-gerik imam walau pun berperantara. Ketiga, makmum tidak mendahului imam pada gerak-gerik ibadahnya. Keempat, makmum mendekatkan diri kepada imam pada saat jamaah biasa. Kelima, tidak ada yang menghalang-halangi antara makmum dan imam. Keenam, makmum ikut kepada imam. Ketujuh, makmum tidak ikut dengan orang lain alias mengulangi ibadahnya (tidak ganti imam).

Begini-begini, terjemahannya agak payah, maaf saja: tapi begini. pertama, makmum meniatkan ikut dengan imam. Maksudnya, kalau kita makmum, maka sudah harus niat mengikuti imam, jangan membantah tentang iman. Pokoknya, niat kepada imam.

Kedua, mengetahui gerak-gerik imam walau pun berperantara. Maksudnya, kita mengerti ‘tanda-tanda’ dari imam.

Ketiga, makmum tidak mendahului imam pada gerak-gerak ibadahnya. Maksudnya, jangan mendahului. Intinya begitu. jika pun saya menerjemahkannya, menggunakan teks gerak-gerik ibadahnya, itu hanya itu lebih memudahkan diketahui. Ringkasnya, makmum jangan mendahului imam.

Keempat, makmum mendekatkan diri kepada imam saat jamaah biasa. Maksudnya, jangan jauh-jauh dari imam, sebab imam itu juga manusia, yang penting mengetahui ‘kecepatan’ makmum dalam gerak-gerik ibadahnya. Soal ukurannya, disini belum dijelaskan. Yang pasti, dekat. Ada jarak antara imam dan makmum. Dan untuk ini, saya tidak begitu mempersoalkan. Kalau saya menggunakan begini, maka kedekatan saya adalah disamping kanannya, yang ketika saya sujud maka kepala saya berposisi pada lutut sang imam. Begitulah yang diajarkan oleh saya, soal rincinya, kurang tahu. Begitu ya.

Kelima, tidak ada yang menghalang-halangi antara makmum dan imam. Maksudnya, makmum mengetahui imam. Begitu saja ringkasnya.

Keenam, makmum ikut kepada imam. Bahasa sini, makmum manut kepada imam. Bahasa manut adalah ikut serta, yo saja. Begitu. artinya saat imam rukuk, maka makmum ikut rukuk. Begitu.

Ketujuh, makmum tidak ikut dengan orang lain alias mengulangi ibadahnya (tidak ganti imam). Maksudnya, jangan mendobel keimaman, jika memang telah menjadi makmum, maka ya harus mengikuti imam. Tidak bisa ganti dengan imam yang lain pada satu tempat. Begitu.

Begini: sebenarnya yang saya terangkan ini adalah sesuatu yang sebenarnya telah kita jalankan dan biasa kita jalankan, hanya saja, saat kita dihadapkan tekstual, maka seakan-akan terlalu ribet, padahal tujuan dari tekstual itu adalah untuk ‘memudahkan’ kenyataan. Maksud saya, jangan disalah-pahami tentang penjelasan saya, sebab saya menyakini, di zaman ini, di zaman informasi, zaman orang-orang yang banyak berpengetahuan, telah mengetahui apa yang telah saya paparkan. Tujuan saya ini adalah mengulangkan atau mengonfirmasi ulang tentang ‘pengetahuan’ yang telah kita dapatkan. Mengecek ulang ‘tentang’ perjalanan ibadah kita. Sebab, di zaman ini, zaman informasi ini: masalah yang sering itu, bukan tentang ‘pengetahuannya’ namun kita sering ‘menyangkal’ pengetahuan kita, karena kita sering kemasukan ‘pengetahuan’ yang lain, dan itu membuat ‘pemikiran’ kita secara acak-acakan.

Missal begini, kita belum paham benar tentang dasar-dasar madhab imam syafii, ealah kita telah ‘kemasukan’ madhab yang lain dan itu tidak ‘tersengaja’, padahal dasar-dasar kita belum kokoh benar. Sebab dasar-dasar kita seringkali diajarkan waktu kecil, yang itu, seringkali spontanitas, dan menjadi kebiasaan; tapi kita lalai untuk membuka kembali kitab yang sejak dulu kita gunakan.

Sesungguhnya, inilah alasan mengapa saya penting mengkaji tentang kitab mabadi fikih. Yakni, mengonfirmasi ulang, tentang ‘pengetahuan’ yang menyerap diri saya sejak kecil; sebab setelah saya mondok, pengetahuan saya bertambah, namun saya ‘seakan’ kehilangan kendali, dan ada masa tentang pencarian jati diri, sehingga saya bertanya: sebenarnya, kitab-kitab di kampung itu apa? Kitab-kitab yang membentuk karkater diriku? Karakter ibadahku? Ternyata, kitab-kitab dasar seperti mabadi, sulam taufik, safinatu najah dan takrim, serta taklimu taalim. Maka dengan itu, saya konfirmasi lagi, dengan mengingat-ingat; sebabnya, tawaran pengajian atau hadist-hadist yang bertambah dalam ‘pemikiran’ saya mulai banyak dan itu acak-acakan, maksudnya, mengkaji hadist-hadist, dan lepas kendali: akhirnya, untuk mempermudah, saya harus kembali ke hal dasar.

Selain itu, kareana kuliah saya pun berkaitan dengan hal-hal dasar, yakni aqidah filsafat: itu pun mempersoalkannya hal-hal yang dasar, semacam keimanan dan sejarah pemikiran, yang itu, tentu adalah hal yang sangat dasar. Lama saya berkutat pada hal dasar, dan kitab-kitab yang besar-besar, hingga kemudian, saya melihat-lihat ulang kitab-kitab yang mblarah di rumah, dan saya tersenyum:

Ealah ternyata, ‘agaknya’ pertanyaan yang memberatkan diriku, telah terjawab oleh kitab-kitab dasar yang ada di kampung. Saya tersenyum. Sambil membatin, “Jadi kuliah filsafat, ketemunya akhirnya, terdamaikan oleh kitab mabadi fikih. Aku manggut-manggut. Dan agaknya, saya penting untuk ‘mengonfirmasi’ pengetahuan dasar saya, yang dengan itu, maka akan mensistematiskan pengetahuan yang lain.’ Begitu.

Akhir kata, konfirmasi pengetahuan itu sangat penting, jangan sepelehkan hal yang dasar, karena semakin tinggi orang, dia akan berkutat lagi pada hal-hal dasar. Begitu ya…

Rabbi zidni ilma warzukni fahma. Amin.


Belum ada Komentar untuk " Kitab Mabadi Fikih: Shalat Jamaah "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel