Negara Menurut Sayyid Qutb

Bapak Munawir Sjadzali, dalam Islam dan Tata Negara (Hal-149-150), mengatakan: “Sayyid Qutb (1906-1966 M), menurutnya negara atau pemerintahan Islam itu suprarasional, meskipun dia menolak istilah imperium. Wilayah negara meliputi seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, yang dikelola atas prinsip persamaan, tanpa adanya fanatisme ras dan fanatisme keagamaan.”

Dilanjutkannya oleh Pak Munawir Sjadjali,Adanya persamaan hak antara para pemeluk berbagai agama. Ia berpendapat politik pemerintahan dalam Islam didasarkan atas tiga asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan rakyat dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat.”

Mari kita teliti ungkapan yang diuraikan tersebut. Meneliti maksudnya, berupaya untuk memahami tentang bagaimana Negara yang dimaksudkan oleh Kiai Sayyid Qutb itu: cara untuk memahaminya, baiklah mari digunakan cara pertama: dengan kata-kata, pemahaman tentang kata-kata, atau kata kunci yang ada.

Negara apa yang dikehendaki Sayyid Qutb ialah pemerintahan islam itu supranasional. Maksudnya supransional ialah selurnya. Wilayah Negara itu meliputi seluruh dunia islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintahan pusat (ya, pemerintahan pusat atas nama seluruh dunia islam; orang yang berstatuskan agama islam) yang dikelola (cara mengaturnya) atas prinsip persamaan (sesuatu yang sama: apa itu sama? Yakni semacam seimbang. Adil. Menyerupai. Kembar), tanpa adanya fantisme (Fanatik ialah teramat kuat kepercayaan (keyakinan) thd ajaran (politik, agama, dsb) jika ketambahan sufiks isme: maka menjadi paham tentang fanatic. Orang yang telralh kuat kepercayaannya terhadap ajaran) Ras (ra·si·al a 1 berdasarkan (bersifat) ciri-ciri fisik ras, bangsa, suku bangsa, dsb (spt warna kulit, rambut, dsb); 2 berdasarkan prasangka thd ras tertentu: kerusuhan --), dan fanatisme keagamaan.

Mengapa beliau menyampaikan begitu, sebab yang beliau lihat ialah pola pemerintahan era kanjeng nabi Muhammad. Yakni, ketika beliau memimpin maka hak pemerintahan di kuasa oleh islam, namun secara akidah hal itu tidak dipaksakan (Sebagaimana yang ada pada al-quran, surat al-baqarah: tidak ada paksaan) lalu setiap muslim terus menerus di upayakan (Didayakan; selain juga tertetapkan, bahwa bersamaan dengan itu, wahyu turun untuk meneguri kaum muslim di era kanjeng nabi Muhammad) pada naungan al-quran. Al-quran menjadi hukum utama bagi si penganut muslim; dan upaya kanjeng nabi berusaha memurnikan ajarannya yang itu tidak berbaur dengan ajaran-ajaran yang ada di masa itu, seperti pengetahuan cina, pengetahuan yunani, pengetahuan Persia (yang dimaksud pengetahuan; tidak sekedar pengetahuan, melainkan konsep kebudayaan dan ketotalitasan perilaku kemanusiaan), kemurniaan ajaran itu memutuskan tali-tali sejarah dari apa-pun kecuali terkosentrasi pada al-quran.

Alasan-alasan beliau, Kiai Sayyid Qutb, berdaya diri untuk mengonsentrasikan kemurniaan, karena beliau melihat kontekstual islam secara total, yang difokuskan pada kanjeng nabi, sehingga umat islam di waktu dulu, sekali pun tidak banyak, teramat kencang dan kokoh; sebab adanya focus kajian dan kebudayaan, yakni berlindung pada al-quran. Sebab tawaran al-quran ialah mengatur hak-hak kemanusiaan yang itu ukuran umum bagi manusia. Bahasa lainnya, memanusiakaan sama-sama manusia, yang mana fitrah manusia berkehendak untuk adil, untuk aman, untuk tentram, untuk tidka mau ditipu, tidak mau didustai, tidak mau dicurangi, tidak mau dipaksa, agama juga begitu. itu sebabnya, dikatakan dikelola tanpa fanatisme, bahkan berlebih-lebihan, intinya utamanya biasa saja. Sederhana saja.  semua itu milik-Nya, semua itu bakal kembali kepada-Nya. Namun syarat utamanya, tetap saja ‘manut’ atau taat kepada pemimpin utama, yakni kanjeng nabi Muhammad.  Karena beliau itu utusan-Nya.

Masalah utamanya, sejak awal ‘niatan’ awalnya tidak ada konsepi tentang Negara. Yang ada tentang penyampaian ajaran agama. Bahkan suatu ketika, dulu, kaum muslimin pernah berlindung pada kerjaan Habsy,  seorang raja yang beragama nasrani. Berlindung karena adanya sengketa antara ‘golongan’ dengan golongan yang lain.

Lebih uniknya, di mekah, waktu itu bukan tentang model kerajaan, yang ada model ‘kabilah’ demi kabilah; kekuasaan itu dipegang oleh kabilah demi kabilah. Maka saat kanjeng nabi Muhammad membawa agama yang universal dan menauhidkan satu Tuhan, dan menyebutkan diri agama islam; maka disanalah terjadi kontra di antara kabilah dengan kabilah, sebab kanjeng nabi Muhammad pada waktu itu, laksana menentang system yang ada. laksana menentang kemapanan yang ada.

Yakni laksana membongkar tatanan kemasyarakat yang ada di mekah. Kok bisa? Sebab, agama islam, manusia itu pada dasarnya sama derajatnya (ini juga yang dimaskud Kiai Sayyid Qutb tentang sama), perbedaan manusia ialah ketakwaan, sementara di Mekah, adanya budak, dan sayyid-sayyid (tuan-tuan). Di mekah, orang boleh menimbun harta-hartanya, sementara anjuran nabi Muhammad, adanya pembagiaan zakat yang itu kepada orang-orang yang telah ditunjukan orang-orangnya. Lebih parah lagi, saat orang mempercayai nabi Muhammad dengan ajarannya, maka secara otomatis orang-orang menjadi pengikut nabi Muhammad: sementara tradisi yang ada ialah kabilah-kabilah itu ada petingginya, mempunyai derajat demi derajat. Derajat nabi Muhammad secara historis tentu saja derajatnya Bani Hasyim, yang pada waktu itu dipimpin oleh pamannya Nabi, Abu Talib. Maka nabi Muhammad tidak boleh melampaui kekuasaan itu; bila pun beliau berkuasa, maka mengatas namakan Bani Hasyim. Namun kehadiran nabi Muhammad bukan tentang nama itu: melainkan ketotalan derajat-derajat itu, bahasa lainnya, berusaha ‘menghapus’  keberjalanannya system yang ada pada saat itu, yakni kumpulan bani demi bani menjadi kumpulan atas nama dasar ideology, yakni agama.

Lebih uniknya lagi, itu juga bukan kehendak Nabi Muhammad, melainkan kehendak Allah, Tuhan semesta Allah; dan Allah mengutus Muhammad untuk menjadi Rasul. Nah bersamaan dengan itu lagi, peninggian ‘pengakuan’ derajat Nabi Muhammad, menjadikan orang-orang (bani demi bani) mekah semakin marah. Bersamaan dengan kemarahan, perlahan-lahan, ajaran Nabi Muhammad diterima. Mulai diterima. Maka berjalannya waktu, sudah menjadi kumpulan yang banyak, semakin banyak. Dan saat semakin banyak, bani demi bani yang ada di mekah, semakin geram. Maka bersamaan dengan prosesnya kemarahan kaum-mekah, nabi Muhammad dan pengikutnya, pindah ke Yastrib. Nah di saat itulah, Nabi Muhammad mendirikan ‘aturan’; dan aturan-aturan yang ada di mekah, bersamaan dengan gejala sosial dan jalannya kehidupan yang ada di sana: itulah yang orang-orang sebut dengan dasar-dasar politik islam. dan kiai sayyid qutb berupaya untuk menjadikan umat seperti itu.

Yang dipimpin oleh satu kepemimpinan.

Sebab di madinah juga ada orang Nasrani ada juga Yahudi.  Berjalannya waktu, maka nabi Muhammad beserta rombongannya pergi ke mekah; tentu saja untuk ibadah, sebab rangkaian ibadah, dan keberadaan Nabi Muhammad mengatakan bahwa ia penyempurna agama-agama sebelumnya: maka beliau tetap saja melakukan haji. Bersamaan dengan itu, maka mulailah kembali tentang bentrok antara kelompok nabi dengan kelompok mekah.

Ringkas kata, bentrok itu selesai. Kemenangan berada pada kelompok nabi, maka di saat itulah mekah ditugaskan orang untuk mengurusnya, yang tentu saja, mengikuti perintah nabi. Mengikuti apa-apa yang diajarkan nabi; untuk menjalankan aktivitas sosial yang itu berada pada kekuasaan Nabi. Nabi Muhammad, bahasa lainnya juga, menguasai penuh tentang penguasa yang ada di mekah; sebab, nabi Muhammad itu ialah pemimpin utama dari gerakan agama ini.

Begitulah yang di harapkan oleh sayyid qutb untuk di zamannya. Sebabnya, tentang kemunduran umat islam. lebih-lebih, dirinya dibekali pengetahuan al-quran yang mendalam, artinya pengetahuan al-quran yang itu sarat dengan kesastraan. Selain itu juga, beliau lebih terjun pada arah politik, yang itu laksana bersentuhan dengan pemerintahan, maka bersamaan dengan itu (gaya pemikiran Kiai Sayyid Qutb) menginginkan keislaman sebagaimana era kanjeng nabi Muhammad, selain itu, pikirnya, itulah jalan cerlang untuk menuju islam kafah. Syarat utamanya, maka harus menyatunya umat islam di seluruh dunia.

Namun sayangnya fakta, umat islam di seluruh dunia, telah terasuki juga oleh system-sistem atau Tananan system yang itu kapitalisme dan materialism, tentu saja sulit sekali melepaskan ikatan tersebut. melepaskan system, maka menjadi kere dan miskin dan itu terkesan tidka umum. Melepaskan system berarti terkesan malah kembali ke era jahiliyah. 

Walau pun sesungguhnya maksud dari kiai sayyid qutb bukn seperti itu, maksudnya: supaya umat manusia itu terpimpin oleh pemimpin yang islam, dan islam menjadi totalitas penguasa, soal akidah itu urusan lain. yang pasti, penguasa-penguasannya.

Bapak Munawir sjadali, juga menyampaikan, “Ia berpendapat politik pemerintahan dalam Islam didasarkan atas tiga asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan rakyat dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat.”

Uraiiannya, keadilan penguasa. Pertanyaannya? Adil pada pada? Tentu berkaitan erat dengan keimanan, sebab pembicaran ini tentag dasar dari pemeriintahan islam. maka yang menjadi berkausa yang dikenal tentang pengetahuan agama dan harus dituntut untuk adil kepada rakyatnya.

Yang kedua, ketaan rakyat; kalau syarat utama itu gugur, maka untuk terlaksanannya rakyat yang taat, tentu saja harud dipermudahkan perihal keputusan dari keadilannya penguasa.

Selanjutnya, permusyawarahan antara penguasa dan rakyat.

Di zaman ini, telah banyak diselenggerakan itu, sayangnya rakyat di wakilkan. Artinya, bersamaan dengan ini; supaya tidak terjadi salah paham di antara penguasa dan rakyat.
Demikian.

Belum ada Komentar untuk "Negara Menurut Sayyid Qutb"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel