Negara Menurut Sayyid Qutb
Senin, 05 Februari 2018
Tambah Komentar
Bapak
Munawir Sjadzali, dalam Islam dan Tata Negara (Hal-149-150), mengatakan:
“Sayyid Qutb (1906-1966 M), menurutnya negara atau pemerintahan Islam itu
suprarasional, meskipun dia menolak istilah imperium. Wilayah negara meliputi
seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, yang
dikelola atas prinsip persamaan, tanpa adanya fanatisme ras dan fanatisme
keagamaan.”
Dilanjutkannya
oleh Pak Munawir Sjadjali,
“Adanya
persamaan hak antara para pemeluk berbagai agama. Ia berpendapat politik
pemerintahan dalam Islam didasarkan atas tiga asas, yakni keadilan penguasa,
ketaatan rakyat dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat.”
Mari
kita teliti ungkapan yang diuraikan tersebut. Meneliti maksudnya, berupaya
untuk memahami tentang bagaimana Negara yang dimaksudkan oleh Kiai Sayyid Qutb
itu: cara untuk memahaminya, baiklah mari digunakan cara pertama: dengan
kata-kata, pemahaman tentang kata-kata, atau kata kunci yang ada.
Negara
apa yang dikehendaki Sayyid Qutb ialah pemerintahan islam itu supranasional.
Maksudnya supransional ialah selurnya. Wilayah Negara itu meliputi seluruh
dunia islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintahan pusat (ya,
pemerintahan pusat atas nama seluruh dunia islam; orang yang berstatuskan agama
islam) yang dikelola (cara mengaturnya) atas prinsip persamaan (sesuatu yang
sama: apa itu sama? Yakni semacam seimbang. Adil. Menyerupai. Kembar), tanpa
adanya fantisme (Fanatik ialah teramat kuat kepercayaan (keyakinan) thd ajaran (politik,
agama, dsb) jika ketambahan sufiks isme: maka menjadi paham tentang fanatic.
Orang yang telralh kuat kepercayaannya terhadap ajaran) Ras (ra·si·al a
1
berdasarkan (bersifat) ciri-ciri fisik ras, bangsa, suku bangsa, dsb (spt warna
kulit, rambut, dsb); 2
berdasarkan prasangka thd ras tertentu: kerusuhan --), dan fanatisme keagamaan.
Mengapa
beliau menyampaikan begitu, sebab yang beliau lihat ialah pola pemerintahan era
kanjeng nabi Muhammad. Yakni, ketika beliau memimpin maka hak pemerintahan di
kuasa oleh islam, namun secara akidah hal itu tidak dipaksakan (Sebagaimana
yang ada pada al-quran, surat al-baqarah: tidak ada paksaan) lalu setiap muslim
terus menerus di upayakan (Didayakan; selain juga tertetapkan, bahwa bersamaan
dengan itu, wahyu turun untuk meneguri kaum muslim di era kanjeng nabi
Muhammad) pada naungan al-quran. Al-quran menjadi hukum utama bagi si penganut
muslim; dan upaya kanjeng nabi berusaha memurnikan ajarannya yang itu tidak
berbaur dengan ajaran-ajaran yang ada di masa itu, seperti pengetahuan cina,
pengetahuan yunani, pengetahuan Persia (yang dimaksud pengetahuan; tidak
sekedar pengetahuan, melainkan konsep kebudayaan dan ketotalitasan perilaku
kemanusiaan), kemurniaan ajaran itu memutuskan tali-tali sejarah dari apa-pun
kecuali terkosentrasi pada al-quran.
Alasan-alasan
beliau, Kiai Sayyid Qutb, berdaya diri untuk mengonsentrasikan kemurniaan,
karena beliau melihat kontekstual islam secara total, yang difokuskan pada
kanjeng nabi, sehingga umat islam di waktu dulu, sekali pun tidak banyak,
teramat kencang dan kokoh; sebab adanya focus kajian dan kebudayaan, yakni
berlindung pada al-quran. Sebab tawaran al-quran ialah mengatur hak-hak
kemanusiaan yang itu ukuran umum bagi manusia. Bahasa lainnya, memanusiakaan
sama-sama manusia, yang mana fitrah manusia berkehendak untuk adil, untuk aman,
untuk tentram, untuk tidka mau ditipu, tidak mau didustai, tidak mau dicurangi,
tidak mau dipaksa, agama juga begitu. itu sebabnya, dikatakan dikelola tanpa fanatisme,
bahkan berlebih-lebihan, intinya utamanya biasa saja. Sederhana saja. semua itu milik-Nya, semua itu bakal kembali
kepada-Nya. Namun syarat utamanya, tetap saja ‘manut’ atau taat kepada pemimpin
utama, yakni kanjeng nabi Muhammad.
Karena beliau itu utusan-Nya.
Masalah
utamanya, sejak awal ‘niatan’ awalnya tidak ada konsepi tentang Negara. Yang
ada tentang penyampaian ajaran agama. Bahkan suatu ketika, dulu, kaum muslimin
pernah berlindung pada kerjaan Habsy,
seorang raja yang beragama nasrani. Berlindung karena adanya sengketa
antara ‘golongan’ dengan golongan yang lain.
Lebih
uniknya, di mekah, waktu itu bukan tentang model kerajaan, yang ada model
‘kabilah’ demi kabilah; kekuasaan itu dipegang oleh kabilah demi kabilah. Maka
saat kanjeng nabi Muhammad membawa agama yang universal dan menauhidkan satu
Tuhan, dan menyebutkan diri agama islam; maka disanalah terjadi kontra di
antara kabilah dengan kabilah, sebab kanjeng nabi Muhammad pada waktu itu,
laksana menentang system yang ada. laksana menentang kemapanan yang ada.
Yakni
laksana membongkar tatanan kemasyarakat yang ada di mekah. Kok bisa? Sebab,
agama islam, manusia itu pada dasarnya sama derajatnya (ini juga yang dimaskud
Kiai Sayyid Qutb tentang sama), perbedaan manusia ialah ketakwaan, sementara di
Mekah, adanya budak, dan sayyid-sayyid (tuan-tuan). Di mekah, orang boleh
menimbun harta-hartanya, sementara anjuran nabi Muhammad, adanya pembagiaan
zakat yang itu kepada orang-orang yang telah ditunjukan orang-orangnya. Lebih
parah lagi, saat orang mempercayai nabi Muhammad dengan ajarannya, maka secara
otomatis orang-orang menjadi pengikut nabi Muhammad: sementara tradisi yang ada
ialah kabilah-kabilah itu ada petingginya, mempunyai derajat demi derajat.
Derajat nabi Muhammad secara historis tentu saja derajatnya Bani Hasyim, yang
pada waktu itu dipimpin oleh pamannya Nabi, Abu Talib. Maka nabi Muhammad tidak
boleh melampaui kekuasaan itu; bila pun beliau berkuasa, maka mengatas namakan
Bani Hasyim. Namun kehadiran nabi Muhammad bukan tentang nama itu: melainkan
ketotalan derajat-derajat itu, bahasa lainnya, berusaha ‘menghapus’ keberjalanannya system yang ada pada saat
itu, yakni kumpulan bani demi bani menjadi kumpulan atas nama dasar ideology,
yakni agama.
Lebih
uniknya lagi, itu juga bukan kehendak Nabi Muhammad, melainkan kehendak Allah,
Tuhan semesta Allah; dan Allah mengutus Muhammad untuk menjadi Rasul. Nah
bersamaan dengan itu lagi, peninggian ‘pengakuan’ derajat Nabi Muhammad,
menjadikan orang-orang (bani demi bani) mekah semakin marah. Bersamaan dengan
kemarahan, perlahan-lahan, ajaran Nabi Muhammad diterima. Mulai diterima. Maka
berjalannya waktu, sudah menjadi kumpulan yang banyak, semakin banyak. Dan saat
semakin banyak, bani demi bani yang ada di mekah, semakin geram. Maka bersamaan
dengan prosesnya kemarahan kaum-mekah, nabi Muhammad dan pengikutnya, pindah ke
Yastrib. Nah di saat itulah, Nabi Muhammad mendirikan ‘aturan’; dan
aturan-aturan yang ada di mekah, bersamaan dengan gejala sosial dan jalannya
kehidupan yang ada di sana: itulah yang orang-orang sebut dengan dasar-dasar
politik islam. dan kiai sayyid qutb berupaya untuk menjadikan umat seperti itu.
Yang
dipimpin oleh satu kepemimpinan.
Sebab
di madinah juga ada orang Nasrani ada juga Yahudi. Berjalannya waktu, maka nabi Muhammad beserta
rombongannya pergi ke mekah; tentu saja untuk ibadah, sebab rangkaian ibadah,
dan keberadaan Nabi Muhammad mengatakan bahwa ia penyempurna agama-agama
sebelumnya: maka beliau tetap saja melakukan haji. Bersamaan dengan itu, maka
mulailah kembali tentang bentrok antara kelompok nabi dengan kelompok mekah.
Ringkas
kata, bentrok itu selesai. Kemenangan berada pada kelompok nabi, maka di saat
itulah mekah ditugaskan orang untuk mengurusnya, yang tentu saja, mengikuti
perintah nabi. Mengikuti apa-apa yang diajarkan nabi; untuk menjalankan
aktivitas sosial yang itu berada pada kekuasaan Nabi. Nabi Muhammad, bahasa
lainnya juga, menguasai penuh tentang penguasa yang ada di mekah; sebab, nabi
Muhammad itu ialah pemimpin utama dari gerakan agama ini.
Begitulah
yang di harapkan oleh sayyid qutb untuk di zamannya. Sebabnya, tentang
kemunduran umat islam. lebih-lebih, dirinya dibekali pengetahuan al-quran yang
mendalam, artinya pengetahuan al-quran yang itu sarat dengan kesastraan. Selain
itu juga, beliau lebih terjun pada arah politik, yang itu laksana bersentuhan
dengan pemerintahan, maka bersamaan dengan itu (gaya pemikiran Kiai Sayyid
Qutb) menginginkan keislaman sebagaimana era kanjeng nabi Muhammad, selain itu,
pikirnya, itulah jalan cerlang untuk menuju islam kafah. Syarat utamanya, maka
harus menyatunya umat islam di seluruh dunia.
Namun
sayangnya fakta, umat islam di seluruh dunia, telah terasuki juga oleh
system-sistem atau Tananan system yang itu kapitalisme dan materialism, tentu
saja sulit sekali melepaskan ikatan tersebut. melepaskan system, maka menjadi
kere dan miskin dan itu terkesan tidka umum. Melepaskan system berarti terkesan
malah kembali ke era jahiliyah.
Walau
pun sesungguhnya maksud dari kiai sayyid qutb bukn seperti itu, maksudnya:
supaya umat manusia itu terpimpin oleh pemimpin yang islam, dan islam menjadi
totalitas penguasa, soal akidah itu urusan lain. yang pasti,
penguasa-penguasannya.
Bapak
Munawir sjadali, juga menyampaikan, “Ia berpendapat politik pemerintahan dalam
Islam didasarkan atas tiga asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan rakyat dan
permusyawaratan antara penguasa dan rakyat.”
Uraiiannya,
keadilan penguasa. Pertanyaannya? Adil pada pada? Tentu berkaitan erat dengan
keimanan, sebab pembicaran ini tentag dasar dari pemeriintahan islam. maka yang
menjadi berkausa yang dikenal tentang pengetahuan agama dan harus dituntut
untuk adil kepada rakyatnya.
Yang
kedua, ketaan rakyat; kalau syarat utama itu gugur, maka untuk terlaksanannya
rakyat yang taat, tentu saja harud dipermudahkan perihal keputusan dari
keadilannya penguasa.
Selanjutnya,
permusyawarahan antara penguasa dan rakyat.
Di
zaman ini, telah banyak diselenggerakan itu, sayangnya rakyat di wakilkan.
Artinya, bersamaan dengan ini; supaya tidak terjadi salah paham di antara
penguasa dan rakyat.
Demikian.
Belum ada Komentar untuk "Negara Menurut Sayyid Qutb"
Posting Komentar